Digitalisasi dalam Kebijakan Kesehatan: Antara Harapan, Resah, dan Jalan yang Belum Tuntas

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

READ.ID – Pagi itu, di ruang tunggu puskesmas, Ibu Siti kembali mencoba membuka aplikasi pendaftaran online. Sejak suaminya stroke tahun lalu, ia rajin mengecek jadwal kunjungan kontrol. Namun ponsel murahnya terus-menerus gagal memuat tampilan. Sinyal tak stabil, sistem sering keluar sendiri.

Sementara di sisi lain kota, perawat Rian menghela napas panjang—komputer ruang kerjanya baru menyala setelah 15 menit, dan ia harus kembali mengisi data ganda: di buku log, lalu di aplikasi nasional. “Digitalisasi” telah tiba, katanya, tapi justru memperlambat, bukan mempercepat.

Cerita mereka bukan sekadar anekdot, melainkan cerminan sistem yang belum matang.

Pemerintah memang telah meluncurkan sistem SATUSEHAT untuk mengintegrasikan layanan medis ke dalam platform digital nasional. Namun data di lapangan menunjukkan realitas lain: lebih dari 30% fasilitaslayanan kesehatan primer di luar Jawa belummemiliki konektivitas internet memadai(Transform Health, 2023; Kementerian Kesehatan RI, 2022). Bahkan di Jakarta sekalipun, gangguan akses masihsering terjadi, memperburuk kualitas layanan.

Apa arti modernisasi jika yang tertinggal justru mereka yang paling rentan?

Digitalisasi seharusnya menjanjikan efisiensi, kecepatan, dan akses setara. Namun, pada tahapimplementasi, justru muncul “kegagapan sistemik” yang memperdalam jurang ketimpangan pelayanan.

Harapan masyarakat yang ingin layanan praktisberbasis teknologi sering berbenturan denganinfrastruktur yang belum siap.

Ketika sistem gagal, yang disalahkan bukan teknologinya, tapi warga yang dianggap “gagap digital.” Padahal sekitar 40% populasi lansia di Indonesia belum memiliki keterampilan dasar literasi digital (BPS, 2022).

Tenaga kesehatan pun terdampak. Alih-alih fokuspada perawatan, mereka harus menanggung bebanadministratif yang meningkat.

“Digitalisasi itu bagus, tapi bukan berarti kerja kita dikurangi,” ujar

seorangbidan desa dalam laporan riset CSIS (2023). Iamengeluh harus mengisi data pasien di lima sistemberbeda untuk laporan yang sama. Hal inimenunjukkan bahwa belum ada integrasi yang nyata—satu data belum berarti satu sistem.

Ketika reformasi teknologi tidakdisertai reformasi birokrasi, maka teknologi hanyamenjadi tambalan di lubang lama.

Kebijakan top-down juga memperparah keadaan. Banyak regulasi digital dibuat jauh dari konteks lokal. Di kantor Dinas Kesehatan pusat, asumsi teknologinya adalah “semua sudah punya akses.” Namun di banyak desa, listrik masih padam tiap sore. Jaringan selulermasih mengandalkan satu menara. Di beberapa puskesmas, komputer harus berbagi tiga shift karenajumlahnya tak cukup. Bahkan beberapa rumah sakit masih merekam rekam medis dengan tulisan tangan.

Sementara itu, narasi “digitalisasi = kemajuan” terus dikampanyekan. Tetapi kita perlu bertanya: kemajuanbagi siapa? Jika kebijakan digital justru menyulitkantenaga kesehatan dan mengabaikan pengguna layanan, maka ia gagal menjawab misi awalnya: memberikanpelayanan kesehatan yang adil dan bermartabat.

Untuk keluar dari kebuntuan ini, empat hal mestidiperhatikan secara serius:

1. Infrastruktur dasar: Pemerataan koneksiinternet dan listrik sebagai syarat utamakeberhasilan kebijakan digitalisasi(TransformHealth, 2023).

2. Literasi digital masyarakat: Pelatihan berbasiskomunitas, khususnya untuk lansia, masyarakatdesa, dan pasien kronis.

3. Pelatihan tenaga kesehatan: Tak hanyapelatihan teknis, tapi juga dukungan teknis on-call dan pelibatan mereka dalam evaluasi sistem.

4. Integrasi sistem digital nasional: SATUSEHAT dan sistem lokal (seperti SIRANAP, P-Care BPJS, dll.) harus berbicara dalam bahasa yang sama, bukan saling bertabrakan.

Namun lebih dari itu, kita memerlukan refleksi etik: Digitalisasi bukan hanya tentang teknologi, tapitentang relasi kuasa, tentang siapa yang punya akses, dan siapa yang diabaikan. Kita harus memanusiakanteknologi.

Dalam setiap sistem yang kitabangun, harus ada ruang untuk suara ibu Siti dan keluhan perawat Rian. Suara-suara itu bukan keluhan, tapi peringatan.

Bayangkan jika suatu hari nanti, ibu Siti tak perlutakut salah klik saat daftar online, karena aplikasinyaramah lansia.

Bayangkan jika Rian tak perlu lemburdemi laporan ganda, karena sistem sudah terintegrasipenuh. Bayangkan jika puskesmas di perbatasanpunya jaringan setara dengan rumah sakit di ibu kota.

Kebijakan kesehatan digital harus berpihak. Ia harus mendengar. Ia harus cinta pada rakyatnya, bukanhanya bangga pada perangkatnya. Karena kesehatanbukan hadiah dari sistem, tapi hak dari setiap warga.

•  Badan Pusat Statistik. (2022). Statistik LiterasiDigital Indonesia. https://bps.go.id

•  Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2022). SATUSEHAT: Integrasi Sistem Layanan Kesehatan Digital. https://kemkes.go.id

•  Putri, F. A., & Mahfud, C. (2023). Equity in Digital Health: Gaps and Ethical Challenges. Kesmas: National Public Health Journal, 18(1), 12–22. https://scholarhub.ui.ac.id/kesmas

Ditulis Oleh :
Dr Hartati Inaku SKM MKES (Pakar Kebijakkan dan Informasi Kesehatan Gorontalo)

Baca berita kami lainnya di