Opini  

Keadilan Terbalik? Laporan Mahar ASN Diproses Kilat, Laporan Asusila Terhadap Anaknya Lambat

Kekerasan Seksual
IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

Sebuah drama hukum yang penuh ironi tengah dipertontonkan di Gorontalo. Di satu sisi, kita memiliki seorang korban anak di bawah umur (17 tahun) yang diduga hancur masa depannya oleh tindak kekerasan seksual brutal, yang diduga dilakukan oleh seorang ASN berinisial MR dan dua rekannya.

Di sisi lain, kita menyaksikan kecepatan luar biasa aparat dalam memproses laporan “penggelapan uang mahar” yang dilayangkan oleh oknum ASN tersebut.

Hasilnya? Orang tua korban, yang seharusnya berfokus memulihkan trauma anak dan mencari keadilan, kini justru menyandang status tersangka.

Mari kita urutkan logika yang tampak terbalik ini. Laporan dugaan kekerasan seksual terhadap MR yang mencakup tuduhan pemerkosaan, perekaman video, hingga ancaman akan menjadikan korban “pelayan” teman-temannya telah masuk ke Polda Gorontalo sejak 26 Mei 2025. Hampir enam bulan berlalu, dan status MR, sang terlapor, masih “dalam penyidikan”.

Sekarang, bandingkan dengan laporan MR terhadap orang tua korban dimana laporan dugaan penggelapan mahar Rp100 juta itu masuk ke Polresta Gorontalo Kota pada 8 Oktober 2025. Belum genap sebulan, seperti yang diungkapkan kuasa hukum korban, status orang tua korban langsung dinaikkan menjadi tersangka.

Kecepatan penanganan ini bukan hanya janggal, tapi juga mengirimkan pesan yang menakutkan bagi para pencari keadilan, khususnya korban kekerasan seksual.

Patut diingat, uang mahar itu ada karena ada keinginan pelaku untuk menikahi korban,  kemudian gagal karena korban menolak menikahi orang yang telah menghancurkannya. Kini, “mahar” yang berakar dari dugaan kejahatan itu, ironisnya, menjadi senjata hukum yang lebih ampuh untuk menyerang balik keluarga korban.

Laporan balik  adalah hak setiap warga negara, namun, ketika laporan finansial (penggelapan) diproses secepat kilat sementara laporan kejahatan seksual terhadap anak yang notabene kejahatan luar biasa berjalan lambat, publik berhak bertanya, di mana prioritas aparat penegak hukum?

Kita tidak sedang membicarakan sengketa bisnis. Kita bicara soal dugaan perkosaan brutal terhadap anak di bawah umur yang melibatkan aparatur negara.

Namun, sistem hukum kita saat ini seolah lebih sibuk mengurus sengketa uang persiapan nikah yang batal, ketimbang mengusut tuntas siapa yang bertanggung jawab atas trauma dan kehamilan korban.

Pernyataan Kabid Humas Polda Gorontalo bahwa kasus asusila “sudah di tahap penyidikan” memang normatif, namun tidak cukup menenangkan. Tanpa penetapan tersangka atas MR, sementara orang tua korban sudah dikriminalisasi, keadilan terasa semakin jauh.

Kasus ini adalah cermin dari bagaimana sistem kita bisa gagal melindungi yang paling rentan. Alih-alih mendapat perlindungan, korban dan keluarganya justru mengalami viktimisasi berlapis, dihancurkan oleh pelaku, dan kini dikejar oleh sistem hukum yang seharusnya melindunginya.

Baca berita kami lainnya di