Opini  

Penetapan Tersangka Dalam Kerangka Hukum Dan HAM

FOTO: Dokumen Dahlan Pido
banner 468x60

Penulis: Dahlan Pido, SH.,MH

Wakil Ketua ACTA (Advokat Cinta Tanah Air)


banner 468x60

Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM), sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi pengakuan kita bersama, selain Negara telah menuangkan itu kedalam Konstitusi (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap Hukum dan HAM, serta harus terwujud dalam kehidupan  berbangsa  dan bernegara, termasuk dalam proses penegakan hukum. Jika ada hal yang kemudian menyampingkan Hukum dan HAM, maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikannya.

Selanjutnya menurut Pasal 28D UUD 1945, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Ketentuan kedua pasal UUD ini bermakna bahwa hak asasi manusia untuk mempertahankan harkat, martabat, dan kedudukannya sebagai manusia di hadapan hukum melalui proses hukum yang berkeadilan dan bermartabat.

Tindakan upaya paksa seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan  melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia, menurut Prof. Andi Hamzah, Praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai Tersangka/Terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan.

Di samping itu, Praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar  lebih  mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

Bahwa menjadi pengetahuan umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu tujuan hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum sejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri.

Dari keteraturan itu akan menyebabkan seseorang hidup secara pasti dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo, kepastian hukum merupakan sebuah jaminan, bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian, bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

Oemar Seno Adji menentukan prinsip legality, merupakan karakteristik yang esensi, baik itu dari faham Rule of Law maupun Rechtstaat serta konsep Socialist Legality. Larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas nullum delictum dalam Hukum Pidana, itu semua merupakan suatu refleksi dari prinsip legality. Demikian pula dalam hukum administrasi negara, Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang, yang di maksud melampaui wewenang, yang mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu, sedangkan mencampuradukkan kewenangan, yaitu memberikan petunjuk bahwa pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain.

Menurut  Sjachran  Basah,   abus   de   droit   (tindakan   sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan ketentuan perundang- undangan. Pendapat ini mengandung pengertian, bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian, bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).

Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan, sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang- Undangan. Penyalahgunaan wewenang telah diatur dalam Pasal 17 UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan Pasal 52 disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :

– ditetapkan oleh pejabat yang berwenang

 – dibuat sesuai prosedur; dan

 – substansi yang sesuai dengan objek Keputusan

Bahwa sebagaiman Penulis sebutkan diatas, bahwa penetapan menjadi seorang Tersangka yang dilakukan oleh Penyidik dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, maka yang orang di Tersangkakan/Terdakwa, oleh keluarga atau Kuasa Hukumnya dapat menguji penetapan Tersangka/Terdakwa tersebut dalam Lembaga Praperadilan, sebagai upaya pengawasan terhadap penggunaan wewenang oleh penyidik untuk menjamin agar Hak Asasi Manusia tidak dilanggar oleh aparat penegak hukum atas nama penegakan hukum. Oleh karena itu, permohonan Praperadilan dianggap sah karena untuk menilai sah atau tidaknya penyidikan dan penetapan Tersangka adalah wewenang Lembaga Praperadilan dan oleh karenannya Praperadilan yang diajukan oleh Tersangka sah menurut hukum.

Sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  • Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Dalam perkembangannya, pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan Pelanggaran Hak Azasi Seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu, mengenai sah tidaknya penetapan Tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan Praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum.

Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia.

Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum”   (legal-breakthrough) atau   hukum   yang   pro-rakyat (hukum progresif), dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik, karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian, hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya, melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian aspirasi masyarakat yang berkembang terkini, yang bertujuan bisa bermanfaat untuk setiap warga negara.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

  • Mengadili,
  • Menyatakan :

Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :

Pasal 77 huruf a UU No. 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, No. 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan; Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

  • Mengadili,
  • Menyatakan :
  • Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
  • [dst]
    • [dst]
    • Pasal 77 huruf a UU No. 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, No. 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

Berdasarkan uraian di atas penulis menghimbau kepada masyarakat, bahwa sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Penyidik dengan menetapkan menjadi Tersangka/Terdakwa yang tidak prosedural dan tidak benar, maka masyarakat dapat mengajukan dan mengujinya ke Lembaga Praperadilan, dan Hakim Pengadilan wajib memeriksa dan mengadili perkara tersebut, jika tidak prosedural Hakim dapat menjatuhkan putusan untuk membatalkannya, karena penetapan menjadi Tersangka/Terdakwa merupakan Keputusan yang TIDAK SAH DAN BATAL MENURUT HUKUM.

Semoga bermaanfaat, salam.

Baca berita kami lainnya di


banner 468x60
banner 728x90

Leave a Reply