READ.ID – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mendesak, Presiden Joko Widodo (Jokowi) perlu segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk tunda Pilkada 2020.
Perppu tunda Pilkada ini penting bagi KPU untuk menjadi landasan hukum yang kuat dalam menerbitkan keputusan untuk menunda seluruh tahapan Pilkada 2020.
“Penundaan Pilkada 2020 mesti menjadi prioritas, karena wabah Covid-19 semakin meluas, dan terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia,” Kata Titi Anggraini, Direktur Eksekutif (Perludem).
Kondisi ini juga beririsan dengan sebaran daerah yang akan melaksanakan Pilkada 2020. Dari 270 daerah yang akan melaksanakan pilkada tersebut tersebar di 32 provinsi di Indonesia.
Hanya DKI Jakarta dan Aceh yang tidak terdapat pelaksanaan Pilkada 2020.
Sejak pekan lalu, melalui Keputusan dan Surat Edaran, KPU sudah memutuskan untuk menunda pelaksanaan beberapa tahapan pilkada.
Aktivitas tahapan yang sudah diputuskan untuk ditunda antara lain: pelantikan anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi faktual dukungan bakal pasangan calon perseorangan, pembentukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP), dan tahapan pencocokan dan penelitian data pemilih.
Tentu implikasi teknis dari penundaan ini akan berdampak pada kontinuitas tahapan pilkada lainnya.
Serta bisa menggeser hari pemungutan suara, karena itu aktivitas inti pilkada. Sebut saja misalnya ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang menyebut
“PPS dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota 6 (enam) bulan sebelum pemungutan suara dan dibubarkan paling lambat 2 (dua) bulan setelah pemungutan suara”.
“Tentu kalau pelantikan PPS bergeser, maka akan menggeser pula hari pemungutan suara sesuai Pasal itu,” Jelasnya.
Menurutnya, mengingat Pilkada kita serentak, maka mestinya dampak penundaan ini tidak hanya dihitung daerah per daerah tapi juga harus dilihat dalam skala keserentakan pilkada.
Maka kebijakan penerbitan Perppu tunda Pilkada, yang dibuat harus dengan pendekatan nasional, tidak secara parsial daerah per daerah.
Sementara itu, ketentuan penundaan pilkada yang diatur dalam UU Pilkada, berupa Pemilihan Lanjutan dan Pemilihan Susulan sebagaimana diatur dalam Pasal 120 dan Pasal 121 UU No. 1 Tahun 2015, tidak mampu memberikan landasan hukum bagi penundaan pilkada secara nasional, melainkan parsial daerah per daerah terbatas pada wilayah yang mengalami kondisi luar biasa (force majeur), serta harus dilakukan secara bottom up process, berjenjang dari bawah ke atas.
Dengan sudah ditundanya empat tahapan pilkada ini, yang dalam pandangan kami memiliki implikasi langsung terhadap tahapan lainnya, terutama hari pemungutan suara Pilkada 2020 yang dijadwalkan pada 23 September 2020 (merujuk Peraturan KPU No.15/2019, 16/2019, dan 2/2020).
KPU sebagai penanggungjawab akhir pelaksanaan Pilkada 2020, perlu untuk menyesuaikan kembali tahapan pelaksanaan pilkada, agar tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip pemilu yang demokratis dan konstitusional.
Hanya saja, untuk mengubah hari pemungutan suara, terutama bulan dan tahun pemungutan suara Pilkada 2020, KPU tidak bisa menentukan sendiri.
Sebab UU Pilkada, khususnya Pasal 201 ayat (6) UU No. 10 Tahun 2016, menyebutkan secara eksplisit bahwa “Pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada bulan September tahun 2020.”
Artinya, jika hendak mengubah bulan dan tahun pemungutan suara, mesti dilaksanakan dengan mengubah Pasal 201 ayat (6) UU No. 10 Tahun 2016. Untuk melakukan perubahan undang-undang ditengah wabah Covid-19 yang semakin meluas ini tentu tidak gampang.
Apalagi DPR juga sudah memutuskan untuk memperpanjang masa resesnya.
Kondisinya semakin mendesak, karena tahapan Pilkada 2020 sudah berjalan cukup signifikan. Penyelenggara pemilu ad hoc di level kecamatan dan sebagian kelurahan sudah terbentuk.
Bahkan, bakal pasangan calon perseorangan sudah mendaftar dan sudah pula diteliti berkas admininstrasinya oleh KPU di daerah.
Maka, atas dasar itu, Perludem mendorong beberapa hal sebagai berikut:
1. KPU segera membuat simulasi komprehensif dampak penundaan tahapan pilkada terhadap keberlanjutan agenda demokrasi lokal di 270 daerah yang ada. Simulasi diharapkan bisa menghasilkan skenario atau alternatif jadwal pilkada baru yang bisa jadi pilihan Pembuat UU guna memastikan terselenggaranya pilkada di masa mendatang secara demokratis tanpa membahayakan keselamatan warga negara.
2. KPU segera berkoordinasi dengan Pemerintah dan DPR untuk menjelaskan simulasi penundaan Pilkada 2020, dengan segala implikasinya, mulai dari teknis pengelolaan tahapan, anggaran, status penyelenggara ad hoc, sampai akhir masa jabatan kepala daerah di 270 daerah.
3. Mendorong Presiden Jokowi untuk segera menerbitkan Perpu untuk mengubah UU Pilkada, terutama yang berkaitan dengan jadwal pelaksanaan Pilkada yang dilaksanakan pada September 2020 vide Pasal 201 ayat (6) UU No. 10 Tahun 2016, dengan memperhatikan dan menyesuaikan skala penanganan Covid-19 terhadap penataan jadwal pelaksanaan pilkada dan pemilu dalam bingkai keserentakan pemilu yang lebih komprehensif sebagaimana telah diatur Putusan MK No.55/PUU-XVII/2019.
4. Penerbitan Perpu Pilkada diharap mengatur subtansi implikasi teknis pengelolaan tahapan, jadwal pilkada, anggaran penyelenggaraan, keberlanjutan status penyelenggara ad hoc, serta pengisian masa jabatan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya sebelum terpilih kepala daerah definitif.
5. KPU dengan dukungan Pemerintah melakukan sosialisasi secara komprehensif dan massif kepada publik terkait penundaan pilkada, agar informasi penundaan pilkada bisa tersampaikan dengan baik kepada masyarakat. Selain itu adanya penundaan pilkada tentu berdampak pada pemenuhan hak politik masyarakat untuk memilih kepala daerah setiap lima tahun sekali, namun perlu menjadi pertimbangan jika tetap melaksanakan pilkada justeru bisa berdampak pada berkurangnya partisipasi publik di pilkada.