Penulis: Makmun Rasyid
READ.ID – Bulan puasa akan terus berputar sampai bumi tiada. Satu persatu dari kita meninggalkannya, tapi dia tetap ada. Setiap kedatangannya, kita jeda dari kerutinan duniawi. Menghentikan gerak langkah sementara waktu untuk memberikan separuh waktu untuk menengadah kepada Sang Khaliq.
Laksana musim gugur, manusia harus merontokkan dan melepaskan bintik-bintik hitam dalam diri. Bintik-bintik itu kerap menyusahkan manusia menerima pengisian; hakikat dan makrifat. Bejana yang telah (atau merasa) terisi dan penuh jemu susah menerima objek masuk. Upaya pembuangan racun menjadi keniscayaan.
Dalam meniti kehidupan, selama setahu penuh, perut-perut dan tempat mengalirnya darah, merekam asupan yang halal, haram dan subhat. Perut-perut yang terus dipenuhi akan menjadi biang penyakit. Imam Ghazali berucap, siapa yang menjadikan antara hati dan dadanya tempat penampung makanan, dia akan terhijab dari-Nya. Sesiapa yang mengosongkan perutnya, demikian itu belum cukup untuk mengangkatkan hijab-Nya sebelum dirinya kosong dari selain-Nya. Dan pangkal semuanya, menyedikitkan makanan.
Sebab itu, manusia membutuhkan jeda, pemberhentian sementara, pengosongan dan pengasoan. Ramadan ingin mendidik manusia bahwa puasa yang terjadi antara manusia dan Tuhan menjadi momen hibernasi; memulihkan dan mensterilisasikan keadaan jasami-rohani. Kewajiban pencucian total itu, sebab perut menjadi tambang yang darinya kebaikan dan keburukan menjalar ke seluruh tubuh dan mengalir di setiap aliran darah.
Sterilisasi secara total inilah yang saya sebut akan menghantarkan seseorang mencicipi ‘sepotong taman surga’. Ia semacam kado terindah dari-Nya, yang tiada kuasa manusia merayu-Nya—untuk menguranginya, kecuali ketundukan penuh tanpa instruksi; hanya ada harapan dan munajat serta pengakuan diri. Manusia diajak sadar kembali; mengelupas ego yang terlalu membara.
Hati yang tidak terkendali akan diambil alih oleh nafsu dan ego. Maka kepintaran dan kecerdasan tidak lagi berfungsi kala hati tidak aktif sempurna. Segala kepemilikan akan dikontrol oleh nafsu. Asbab inilah, di negeri kita, banyak orang pintar dan cerdas tapi tidak bertanggung jawab; terlepas ikatan dirinya dengan Tuhan. Puasa mengajaknya untuk sadarkan diri.
Kesadaran itu mula-mula akan dirasakan kala mengurangi kepenuhan perut. Ada hak yang harus dipenuhi agar tercipta stabilisasi jiwa. Pengurangan konsumsi ke dalam perut pun akan meremajakan sel-sel otak, akal-pikiran dan menyenangkan hati. Di samping itu, mengelupas kelarutan manusia dalam perlombaan pengumpulan harta, kedudukan dan memperbanyak followers hingga melengahkannya (Qs. al-Takâtsur [102]: 1-2).
Pengelupasan itu bukan menghilangkan daya juang dan ketidaksenangan pada duniawi. Dalam kehidupan, materi dan uang sangat penting, yang dengannya Allah menjadikannya sumber kehidupan. Tapi dia bukan segala-galanya. Setinggi dan sehebat apa pun juga, itu semua tak bisa membeli kebahagiaan. Sebab itu, banyak orang bertutur, “Anda bisa beli kasur, tapi tidak tidur; Anda bisa beli makanan, tapi tidak selera; Anda bisa membeli komputer, tapi tidak akal; dan Anda bisa kawin (atau menikah), tapi tidak kenikmatan”.
Ramadan akan menjelma semuanya—dengan syarat mengelupas secara total. Menjelma dari kerendahan dan kehinaan menjadi ketinggian dan kemuliaan. Pengelupasan itu diiringi dengan upaya menghiasai dengan nilai Ilahi. Jangan menunggu waktu lagi.
“Sejak dahulu, lebih-lebih kini, dunia bergerak dengan cepat. Pasangannya, yakni akhirat, juga dari saat ke saat semakin mendekat. Keduanya mempunyai putra-putri. Jadilah putra akhirat, karena seorang anak selalu ingin melekat bersama ibunya, lebih-lebih pada saat bahaya yang mencekam dan tiada bahaya sebesar bahaya ukhrawi. Jangan menjadi putra dunia, karena dunia akan binasa sehingga bila Anda menjadi putranya, Anda tidak akan menemukan ibu yang merangkul Anda.” Demikian kurang lebih Sayyidina Ali berpesan.
Begitu pun manusia. Dia akan mencari pelindung yang tanpa pamrih. Dia adalah Tuhan seru sekalian alam. Betapa tidak! Kita bermalas-malasan dalam beribadah, bermaksiat setiap hari, membusungkan dada setiap saat, mencemooh sesama ciptaan-Nya dan lainnya, tapi Allah terus memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya.
Orang yang tidak tersadar dari keadaan itu akan segera masuk ke lubang penuh kesengsaraan. Nabi bersabda, “Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” Maksud dari “istidraj” adalah Anda diberikan sesuatu tanpa ridha-Nya, yang dengannya itu Anda akan sengsara.
Dengan mengelupas diri dari gravitasi syahwat duniawi, maka cita-cita kita akan tergapai. Apa cita-cita tertinggi orang Mukmin dalam Ramadan ini? “rohnya mikraj ke langit tertinggi”. Sebuah pencapaian yang membutuhkan latihan ekstra. Setelah menggapainya, minimal percikannya, kita secara tidak sadar akan bergeser dari kesadaran personal menjadi trans-personal; dari kebaikan biasa menjadi kebaikan tertinggi; dari kesadaran pribadi menjadi kesadaran sosial; dan dari kesalihan pribadi menjadi kesalihan sosial.
Sebagaimana tulisan sebelumnya—yang berjudul “Detoksifikasi Spiritual”—puasa menjadi sarana meninggikan derajat kita masing-masing. Mengelupas kemelakatan dari kepemilikan duniawi, yang disebabkan oleh terisi penuhnya perut, menuju pendakian tertinggi. Yang akan melampaui segala nilai kebendaan di sekeliling kita.
Dalam setahun, kiranya cukup sebulan, kita membakar keakuan, menginsafi kealfaan dan mengelupas kotoran. Kita perlu memberikan sebagian waktu dalam setahun. Agar ada ruang untuk menyerap energi kebaikan dan memancarkannya ke kehidupan setelah Ramadan berlalu. Kita perlu belajar filosofi musim gugur; “dedaunan yang jatuh menjadi pupuk untuk rerumputan”.**