Penulis : Funco Tanipu
READ.ID – Apa dan dimana batas “senang”?. Apakah senang itu harus ditafsirkan ketika mendapat jabatan, harta, momentum tertentu atau hal-hal materiil lainnya? Ataukah senang bagi manusia adalah sesuatu tanpa batas?.
Sejauh dan selama kita hidup, senang selalu ada batas. Hanya dengan ada batas, “sesuatu” menjadi lebih seimbang. Sebab, jika senang tidak dibatasi, maka akan memasuki atau mengambil porsi senang orang lain.
Kadar “senang” untuk setiap orang memang berbeda, namun setiap manusia selalu butuh senang, kesenangan, disenangkan, menyenangkan, disenangi. Itu garis manusiawi secara lahiriah. Senang membuat dunia ini lebih semarak dan lebih tentram.
Interupsi Kesenangan
Di hari-hari belakangan ini, kecemasan akan kehilangan kesenangan semakin naik frekuensinya. Bukan saja cemas, tapi merasa terancam terenggut dari perasaan yang selalu senang. Situasi dan kondisi yang tidak seimbang membuat alam dengan sendirinya akan menetralkan kondisinya. Bagi yang berlebih senangnya, akan coba ditarik ke kutub yang kurang senangnya, sudah menjadi hukum alam untuk selalu menjaga keseimbangannya.
Hukum alam kini sedang bekerja untuk menjaga batas tidak dilampaui. Hukum alam sedang mengitari kita untuk senantiasa patuh pada aturan keseimbangan. Jika melawan atau melampaui batas, keseimbangan pasti berkurang atau mungkin hilang.
Maka, pada beberapa kalangan terbatas, kesenangan itu diukur sekaligus dibatasi. Bahwa senang harus ada batasnya, senang tidak boleh berlebihan. Bahkan, dalam kondisi tertentu, senang haruslah dikekang, diikat dan bahkan harus dipendam.
Dalam kaidah teologis, puasa adalah salah satu cara untuk mengekang senang. Pilihan kata “kekang” untuk senang diibaratkan seperti liarnya kuda yang harus dibatasi dengan kekang. Puasa bukan saja dilakukan dalam waktu tertentu, tapi sepanjang masa dan keadaan dengan praktik dan kadar yang sesuai.
Puasa kesenangan adalah bagian dari metode untuk menyeimbangkan diri, menetralkan kondisi, dan mengembalikan ke titik normal. Puasa kesenangan bisa saja terwujud dalam mengurangi kesenangan berkuasa, kesenangan memimpin, kesenangan berharta, kesenangan menjabat, kesenangan dihormati, kesenangan dipuji, kesenangan dilayani dan ragam kesenangan sementara lainnya.
Kesenangan diatas adalah ragam dari banyaknya tipe kesenangan. Puasa kesenangan bukan untuk menghilangkan, tapi mengurangi, menahan, mengekang dan mengerem. Puasa kesenangan ini agar diri bisa lebih tahu diri jika bukan pada kondisi yang senang bisa tetap “senang”. Sehingga, kesenangan ini hanya menjadi semacam “kondisi” yang bisa hinggap maupun lewat.
Ramadan banyak disebut orang sebagai bulan pengekangan. Tapi bagi sebagian kalangan, Ramadan adalah juga bulan kesenangan. Ada libur yang panjang, ada pesta yang gelimang, ada makanan yang tumpah ruah, ada parade baju baru, ada perabot rumah yang mengkilap, ada pesta kembang api, ada pesta diskon, ada pesta THR, dan banyak kesenangan lainnya. Beberapa kalangan yang memandang Ramadan secara lahiriah ingin menjadikan Ramadan lalu kemudian Lebaran sebagai momentum yang menyenangkan, yang penuh kesenangan.
Ironisnya, disisi lain, ada juga kaum miskin yang melongo tanpa tahu bagaimana membelikan anak-anaknya baju baru seperti teman-teman anaknya, belum pernah merasakan bagaimana senangnya bukber di restoran, bagaimana mengecat rumah, bagaimana menyediakan kue lebaran. Banyak diantara kita yang sudah lama tidak tahu bagaimana bentuk kesenangan itu, seperti apa kesenangan itu, bagaimana menghadirkan kesenangan tanpa memiliki apa-apa.
Hingga datanglah Covid-19 yang menginterupsi semua kesenangan itu. Covid-19 telah mendudukkan kembali Ramadan yang barusan lewat hingga Idul Fitri yang baru kita rayakan secara sederhana dan apa adanya. Covid-19 telah memuluskan Ramadan dan Idul Fitri sebagai momentum perayaan pengekangan akan kesenangan, yang juga pengingat soal adanya batas. Bahwa dalam kesenangan yang kita rayakan, ada kalangan yang sudah lupa apa itu senang.
Penderitaan, Sebuah Refleksi
Covid-19 selain menginterupsi kesenangan, juga menghadirkan derita jika kesenangan itu “dicabut”. Hingga pada ujungnya, ada rasa yang sama. Bagi yang sudah lama “menderita”, hal ini sudah biasa dialami, namun bagi yang kesenangannya barusan dicabut, maka ada kondisi baru : penderitaan.
Penderitaan bagi yang selama ini “senang” adalah reaksi terhadap hilangnya kebebasan akan perayaan kesenangan. Dalam berbagai catatan, pranata baru atau mungkin kita sebut peradaban, selalu hadir dari penderitaan. Tatanan baru hingga peradaban yang baru adalah bentuk koreksi terhadap tatanan lama yang telah bercokol sekian lama. Penderitaan adalah basis refleksi manusia hingga bisa melahirkan kesadaran yang baru, yang lebih bisa menyeimbangkan kutub-kutub yang selama ini tidak stabil.
Sebagai penutup, Ramadan dan Idul Fitri pasti berakhir, bulan pasti berlalu, hari pasti berganti. Itulah maknanya batas. Ada batas waktu. Menghargai waktu adalah mendudukannya sesuai porsi dan batas, khususnya soal senang. Kehadiran penderitaan kolektif, seluruh umat manusia, pasti akan melahirkan hikmah yang menjadi bagian dari proses refleksi semua orang, tanpa terkecuali.