oleh Abdi Satria
Wartawan Senior Sepakbola Makassar
Senin, 2 Maret 2020, jadi momentum baik buat perkembangan sepakbola di Sulawesi Selatan, khususnya di Makassar sebagai salah satu kota besar di Indonesia. Dimana pada hari itu, Yayasan Olahraga Sulawesi Selatan (YOSS) secara resmi menyerahkan Stadion Andi Mattalatta, Mattoanging, Makassar ke Pemprov Sulsel. Penyerahan ini mengakhiri polemik YOSS dengan Pemprov Sulsel terkait kepemilikan Mattoanging.
Sebagai warga Makassar yang juga pecinta sepakbola, saya berharap momentum ini jadi titik balik kebangkitan sepakbola Sulawesi Selatan yang dulu dikenal sebagai penghasil pemain tim nasional Indonesia. Dari Ramang di era Perserikatan, Ronny Pattinasarani (Galatama) sampai Syamsul Chaeruddin di masa Liga Indonesia. Mereka menjadi ikon pesepakbola asal Sulsel yang secara reguler masuk skuat timnas dalam waktu yang lama.
Ketika masih duduk di bangku sekolah, saya sering bermain sepakbola di lapangan depan pintu utama Stadion Mattoangin pada 1980-an. Ironisnya sejak 1957 sampai sekarang bangunan stadion tak mengalami perubahan berarti. Termasuk atap stadion, tempat saya ‘bersembunyi’ bersama penjual asongan yang ingin menonton PSM atau Makassar Utama secara gratis.
Bagi saya, Stadion Mattoanging adalah kenangan, kebanggaan dan inspirasi. Meski tak menjadi pesepakbola, saya akhirnya bisa menjadi bagian dari berbagai event nasional dan bahkan dunia sebagai jurnalis pada sebuah tabloid olahraga. Menjadi peliput event besar seperti Piala Dunia, Piala Eropa, Liga Champions, Piala UEFA dan Olimpiade membuat wawasan saya semakin terbuka. Diantaranya membuat kesimpulan bahwa Stadion Mattoanging memang tak layak menggelar partai internasional meski pernah jadi tuan rumah babak 8 Besar Liga Champions Asia pada 2001.
Apalagi sejak 2011, FIFA sebagai otoritas sepakbola mengeluarkan panduan pembangunan stadion dengan kelayakan inernasional yaitu “Football Stadiums Technical Recommendations and Requirements” yang memuat 10 panduan di mulai dengan pra konstruksi, keamanan, perparkiran, lapangan, area pemain dan official, penonton, fasilitas pendukung, media pencahayaan dan sumber energy, serta area komunikasi. FIFA juga memiliki aturan ketat mengenai kapasitas tempat duduk stadion, 40.000 dengan kursi tunggal (Single Seat) serta memperhatikan kebutuhan penonton difabel.
Kalau dirinci ada 22 tahapan perencanaan yang harus dilakukan sebelum memulai pembangunan. Diantaranya perencanaan arsitektur, Fasad, struktur atas, struktur bawah, Atap, MEP, Akses Kontrol, Building Automation System (BAS), Professional Sound System Stadion, Lighting Stadion, Special Lighting, Sistem Akustik, Interior, Signage & Wayfindings Bangunan, Pengelolaan Sampah, Perencanaan Green Building (GBCI Platinum), Akses Disabilitas, Evakuasi Gedung, Lapangan Sepakbola (field of Play), Bangunan Pendukung, Infrastruktur dan Landskape Kawasan serta Utilitas Kawasan.
Tentu dibutuhkan tenaga ahli yang berpengalaman dan bersertifikat FIFA untuk merancang desain sekaligus mengontrol pembangunan stadion. Indonesia punya tenaga ahli yang memenuhi standar itu yakni Timmy Setiawan, arsitek yang pernah menjadi security officer FIFA yang bertugas menguji kelayakan sebuah standar FIFA. Kiprah internasionalnya diawali ketika Indonesia menjadi tuan rumah Piala Asia 2007. Timmy menjadi arsitek perancang renovasi Stadion Gelora Bung Karno Senayan.
Selain tenaga ahli, juga dibutuhkan kawasan yang luas dan tentunya dana yang besar untuk menyulap Stadion Mattoanging menjadi stadion bertaraf internasional. Misalnya, untuk lahannya minimal dibutuhkan tanah seluas 11 Ha (saat ini masih sekitar 7 Ha). Artinya, tanah atau bangunan di sekitar stadion harus dibebaskan.
Saya tidak berkompeten menghitung anggaran yang dibutuhkan untuk membuat stadion berstandar internasional. Tapi, kalau mengacu pada pembangunan Alianz Stadium mlik Juventus, anggaran yang mereka keluarkan sekitar Rp7 T.
Tekad, kebersamaan yang kuat dan tentu saja kejujuran jadi kunci agar pembangunan stadion Mattoangin berjalan lancar. Pembangunan Stadion Barombong yang juga diklaim sebagai stadion internasional cukup jadi pengalaman. Sejak peletakan batu pertama pada 31 Januari 2011, pembangunan stadion di kawasan pantai ini tak kunjung selesai dan malah berpotensi mangkrak. Kalau pun pembangunannya bisa diselesaikan, spesifikasinya tak lagi berstatus internasional.
Diakhir tulisan ini, saya sebagai warga Makassar dan jurnalis olahraga sangat berharap bisa melihat Stadion Mattoangin bisa berubah wujud dalam waktu dekat atau miminal dua tahun dari sekarang sesuai standar minimal waktu pembangunan.
Terkhusus sebagai peliput, saya ingin mengulang kenikmatan menikmati jamuan panpel duel Juventus vs Ajax pada final Liga Champions di Stadion Olimpico Roma, 1996 silam. Saat jeda kami menikmati suguhan kopi dan berbagai variasi menu kue di cafe stadion. Akses dan faslitas yang oke. Itu pada 1996. Saya berharap pada 2022 nanti, andai berjalan lancar, fasilitas dan pelayanan di Stadion Mattoangin seharusnya jauh lebih baik. Semoga.