READ.ID – Politisi senior yang juga ekonom di Komisi XI DPR RI, Dr Hj Anis Byarwati mengatakan, Pemerintah pimpinan Preisden Joko Widodo (Jokowi) gagal membelanjakan utang.
Hal tersebut dapat terlihat dari adanya pelebaran defisit fiskal Indonesia tiga tahun terakhir. Pada 2019, defisit fiskal Pemerintahan Jokowi tercatat 2,2 persen, naik menjadi 6,3 persen tahun berikutnya. Dan, tahun ini juga diperkirakan bakal defisit 5,7 persen.
Hal itu dikatakan Anis, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bidang Ekonomi dan Keuangan menjawab Read.id, Sabtu (1/5) malam menanggapi pernyataan ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J Rachbini dalam diskusi dengan Faisal Akbar dan Muhammad Misbhakun yang ditayangkan melalui youtube beberapa waktu lalu.
Pada kesempatan itu, Didik yang juga politisi tersebut mengatakan, utang luar negeri Indonesia bisa mencapai 10.000 dolar AS sampai 2024 atau berakhirnya periode kedua Pemerintahan Jokowi. “Saya tidak khawatir dengan utang sebesar itu dengan catatan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan di atas tujuh persen.
Namun, sejak dari awal Jokowi berkuasa, tak pernah melebihi 5,5 persen. Dan, itu terjadi pada kondisi normal. Artinya, itu terjadi sebelum wabah pandemi virus Corona (Covid-19) melanda dunia, termasuk Indonesia awal Maret 2020. Pada masa pandemi sampai saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu negatif.
Sedangkan politisi Golkar di Komisi XI DPR RI yang membidangi Keuangan, Perbangkan dan Pembangunan, Muhammad Misbhakun mengaku khawatir dengan semakin besarnya utang luar negeri Pemerintah.
Namun, dengan nada bercanda, wakil rakyat dari Dapil Provinsi Jawa Timur ini yakin Menteri Keuangan mampu mengatasinya. “Kita punya menteri keuangan terbaik di dunia,” kata dia.
Lebih jauh, Anis mengatakan, memang defisit langkah normal pada saat resesi. Tetapi diperlukan kehati-hatian dalam melaksanakan kebijakan defisit ini. Karena, sebagian besar defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dibiayai utang. Artinya, semakin lebar defisit utang juga bertambah besar.
Untuk memaksimalkan pertumbuhan, lanjut wakil rakyat Dapil Jakarta Timur tersebut, utang harus digunakan. Namun, yang sering terjadi pada era Pemerintahan Jokowi, justru Pemerintah gagal membelanjakan utang.
Ini tercermin dari besarnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran lima tahun terakhir yang mencapai Rp 10-30 triliun setiap tahunnya.
Dikatakan Anis, pelebaran defisit tersebut disebabkan tingginya anggaran Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN). Bahkan data terakhir menunjukkan bahwa realisasi anggaran PEN sempat tersendat diawal, lalu digesa di akhir tahun.
Realisasi anggaran PEN sampai dengan akhir 2020 tercatat Rp 579,78 triliun atau 83,4 persen dari pagu Rp695,2 triliun. Hal ini tentu akan merugikan, karena utang yang sudah ditarik tidak maksimal dimanfaatkan untuk PEN.
Lebih jauh dikatakan, beberapa tahun terakhir primary balance Indonesia juga selalu tercatat negatif. Ketika primary balance negatif, itu artinya Pemerintah sedang menjalankan kebijakan gali lubang tutup lubang utang. Pemerintah menerbitkan utang baru untuk membayar utang lama.
Hal ini tentu bukan pertanda baik untuk keberlangsungan fiskal Indonesia.
Dan, penting menjadi catatan bagi pemerintah khususnya Menkeu, ketika masa pra-pandemi, debt to Gross Domestic Produc (GDP) ratio Indonesia terus meningkat, dari awalnya 24 persen (2014) menjadi 30,2% (2019).
Meningkatnya debt to GDP ratio menunjukkan, selama periode tersebut penambahan utang lebih tinggi dibandingkan penambahan PDB. “Artinya, utang Pemerintah selama ini belum cukup produktif untuk mendorong PDB nasional. Hal ini tentu perlu menjadi catatan penting.”
Pada 2020, debt to GDP ratio diperkirakan mencapai 37 persen dan terus meningkat menjadi 41 persen% pada tahun 2021. “Ini merupakan sinyal kurang bagus, yang artinya Pemerintah akan kesulitan mengendalikan laju utang di masa yang akan datang.” demikian Dr Hj Anis Byarwati. ( AT )