READ.ID – Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Muhammad Anis Matta meminta pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera merumuskan sistem dan strategi pertahanan baru di era digital.
Hal ini menyangkut keamanan nasional pasca bobolnya 279 juta data Warga Negara Indonesia (WNI) di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. “Sekarang baru kebobolan data BPJS, kita belum kebayang kalau data militer, kepolisian dan seterusnya itu semua bobol. Ini yang kita belum kebayang,” kata Anis.
Hal tersebut dikatakan politisi senior 52 tahun kelahiran Welado, Bone, Sulawesi Selatan, 7 Desember 1968 dalam Gelora Talk ‘Sistem Keamanan Nasional di Era Digital di Gelora Media Centre, Jakarta, akhir pekan ini.
Dalam diskusi yang juga dihadiri Menkominfo 2014-2019, Rudiantara serta pakar intelijen dan keamanan, Andi Wijayanto itu, Anis mengatakan, dengan sistem pertahanan baru tersebut, bakal cepat diketahui kelemahannya dimana, bila keamanan digital berhasil dibobol.
“Kalau kita bicara keamanan digital, ini hulu masalahnya di mana, kita tidak tahu sehingga di sisi pertahanan, kita perlu rumuskan sistem dan strategi pertahanan yang baru, serta independen dalam teknologi seperti,” kata Anis.
Menurut Wakil Ketua DPR RI 2009-2014 Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Kesra) tersebut, dalam sistem pertahanan dan keamanan nasional, Indonesia bisa mencontoh China dan Rusia yang paling jarang mengalami kebobolan, karena independen dalam teknologi.
“Mungkin karena nggak punya negara yang jadi musuh secara spesifik, kita menjadi abai. Musuh kita di era digital, bukan negara, tapi korporasi kecil-kecil. Yang kerjaannya memang ngehack, mencuri data,” tegas Anis.
Rudiantara mengungkapkan, Indonesia memang kerap menjadi sasaran serangan siber. Indonesia menjadi negara ketiga yang paling banyak mendapat serangan siber.
“Hari ini Indonesia masuk nomor tiga negara yang menjadi target attack, setelah Mongolia dan Nepal. Sampai jam hari ini sudah ada delapan juta attack di dunia, Jadi setiap detik ada malware, bukan hacking, bukan phising,” kata Rudiantara.
Malware adalah perangkat lunak yang ditujukan untuk memanipulasi hingga mencuri data digital. Hacking merupakan aktivitas penyusupan ke dalam sebuah sistem komputer ataupun jaringan dengan tujuan untuk menyalahgunakan ataupun merusak sistem. Phising adalah sebuah upaya menjebak korban untuk mencuri informasi pribadi, seperti nomor rekening bank, kata sandi, dan nomor kartu kredit.
Aksi phising bisa dilancarkan melalui berbagai media seperti e-mail, media sosial, panggilan telepon, dan SMS, atau teknik rekayasa sosial dengan memanipulasi psikologis korban. “Ini terjadi ini dunia nyata kita, ini bukan menakut-nakuti. Ini memberi awarenesses betapa attack itu secara global terus menerus terjadi,” jelas dia.
Karena itu, anggota Kabinet Jokowi-Jusuf Kalla ini meminta masyarakat rajin mengganti pin atau password secara rutin dalam menjaga kemananan data sehari-hari di era digital. Ia menganalogikan menjaga keamanan data seperti menjaga dompet.
“Siapa yang berani simpan dompet di restoran tanpa diawasi? Semua kan disimpan di kantong baik-baik. Nah sama seperti di keamanan digital kita harus selalu ikhtiar. Ikhtiarnya apa? Dengan disiplin, dengan konsisten, menjaga kerahasiaan pin, password,” ujarnya.
Sedangkan Andi mengatakan, sudah saatnya negeri ini memperkuat teknologi di era digital untuk keamanan nasionalnya. “Untuk amankan siber, untuk memperkuat keamanan nasional kita, kuncinya adalah teknologi,” kata Andi.
Namun, penguatan teknologi digital Indonesia terhambat, karena pandemi Covid-19. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang terbentuk 2017, tidak dalam kondisi ideal untuk membangun infrastruktur, karena keterbasan pengalokasian anggaran.
“Kepalanya sedang berupaya transformasi BSSN. Tiba-tiba ‘boom’, Covid-19. Jadi tertunda yang direncanakan. Karena harus prioritaskan Covid-19. Moga-moga pandemi segera berakhir,” demikian Andi Wijayanto.