Oleh: Muhammad Makmun Rasyid
Puasa Ramadan, mutiara indah yang dihidangkan, akan segera pergi meninggalkan kita semua. Hati dan jiwa akan gundah gulana, galau berkepanjangan sebab melepas meniscayakan kerinduan dan deraian air mata. Kemesraan bersamanya begitu terasa sebentar. Siapa yang mencumbui dan bergumul dengannya akan berkata: sungguh kenikmatan tiada tara. Dekapannya penuh rahmat dan ampunan, sedangkan sajiaannya penuh pelipatgandaan.
Berat rasanya melepaskan kepergian para malaikat suruhan-Nya itu. Betapa tidak, kedatangannya baru saja kita sapa dengan riang gembira, tetiba kita dilambaikan tangan pertanda akan segera berpisah. Satu persatu untaian air mata membasahi pipi para pesalik dan pencari kebenaran, yang sebulan penuh hanya bermunajat kepada Allah semata.
Tidak salah, Nabi Muhammad bersabda, “seandainya umatku tahu apa yang terkandung dalam bulan Ramadan, niscaya mereka akan berharap sepanjang tahun adalah Ramadan”. Tersirat di dalam teks itu, di tengah isak tangis para pesalik akan kecintaan pada Ramadan, ada segelintir hamba yang acuh tak acuh, yang penting Idul Fitri terpakai olehnya kemegahan baju, keindahan sajadah, dan sederet kendaraan mewah. Hamba itu benar-benar fokus pada perbaikan strata sosial semata.
Salahkah itu? bisa jadi “tidak”. Kembali ke niat masing-masing untuk apa itu semua diadakan. Tapi membiarkan kepergian hidangan sepotong surga tanpa getaran jiwa sama sekali, sama artinya menyia-nyiakan suguhan dari-Nya. Sesekali perlu mengecek iman kita. Salah satu caranya sesuai firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal” (Qs. Al-Anfâl [8]: 2).
Kita tidak tahu, juga tak bisa bersandiwara padanya, kapan maut menyergap kita, yang kapan saja dipersilahkan Tuhan mengepakkan sayapnya pada hamba yang telah ditentukan tanpa penawaran dan perundingan sedikitpun. Begitulah Ramadan, entah masih dipertemukan lagi ataukah ini akhir dari sebuah perjumpaan. Adakah keyakinan dalam lubuk kita, bahwa sejatinya kali ini, perjumpaan kita bukan karena kita memanggilnya, bisa jadi karena pertemuan tak di sengaja dan berkat kemurahan-Nya kita bisa menikmati dengan penuh tebar pesona. Begitu murahnya memperjumpakan kita, di sudut kuburan sana dan jendela rumah sakit, banyak hamba yang ingin mencumbui Ramadan, tapi tak berdaya bahkan ada yang tak bisa mencicipinya. Masihkah kita acuh tak acuh atas kepergiannya?
Jutaan bahkan ribuan setan terbelenggu di lembah neraka sana. Pintu dan jendelanya yang tertutup rapat tanpa udara selama Ramadan. Tapi baru mau kepergiannya saja, kita mulai menampakkan diri kita yang nista. Lambaian pamitan penuh untaian itu tak kita gubris sedikitpun. Murkanya kita menjadi hamba-Nya!
Sebulan penuh kita menebar pesona dengan berselfi ria di media sosial. Menggambarkan masing-masing kita para pesalik yang menghiasi lidah dengan ayat-ayat-Nya dan menutup setiap berbuka dengan segudang aktivitas sosial, namun selepas kepergiannya, kita semakin berulah kembali dengan berpacaran sama setan terkutuk. Mutiara kudus yang telah digumuli sirna tak berbekas dan berjejak dalam diri.
Setan-setan terkutuk, kembali bersiap-siap menerjang hamba-hamba-Nya yang tak kuat menahan godaan di babak akhir dan selepas Ramadan. Setan-setan sudah di depan pintu. Satu sama lain saling berbisik dan menlist buruannya. Setan akan memburu sesuai kapasitas dan golongannya. Kadang-kadang ia hanya memantik sedikit, manusia sudah berbuat angkara murka. Kadang-kadang ia hanya mengencingkan mata kita, dan kadang-kadang ia mengarahkan sampai kita kembali terjerumus ke lubang kemaksiatan pada-Nya.
Rangkaian demi rangkain terus kita lakukan, waktu yang terus bergulir dan rambut yang kian beruban, tapi Tuhan tetap tidak bosan selalu memfitrikan dan mensucikan diri kita, menerima taubat dan mengabulkan permintaan kita. Tuhan Maha Pengampun, maka maafkanlah sesamamu tanpa syarat. Tuhan Sang Penguasa meneteskan kasih sayang ke kedalaman diri kita, pergunakanlah! Pakai untuk mengaktifkan kepekaan sesama manusia.
Marilah kita semua menuju arus cinta samudera-Nya. Sebuah arah yang akan selalu membuat kita merasakan dahaga hidangan-Nya. Sampai-sampai ada yang larut dalam samudera cinta-Nya, dan ia lahir menjadi manusia baru selepas Ramadan dengan menjadi pelayan kemanusiaan. Ia sudah menjadi manusia “muttaqîn”, yang oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib dikatakan, “mereka yang peka hati nuraninya, sehingga menggerakkan tangannya untuk peduli kepada sesama, berbagi rezeki, berbagi kebahagiaan, berbagi senyuman yang hangat, sebab kita semua sudah merasakan, bahwa lapar dan dahaga itu sesuatu yang berat.”
Kini hanya dalam hitungan jam kita akan melepaskan Ramadan. Para malaikat akan tidak sesering sekarang menyapa kita. Bahkan dalam sehari-hari, di tengah malam ba’da Tarawih, tak ada karib kerabat yang menemani kita mengaji, beri’tikaf dan khataman Qur’an. Lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an tak lagi didengungkan oleh anak-anak muda penuh gairah lagi taat beribadah. Panggilan di waktu sahur pun tak terdengar sama sekali. Akankah tetap berpegang pada spirit Ramadan ataukah tidak?
Di hari yang fitri ini, tak ada ekspresi paling tepat selain teriakan, “Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar wa-lillâhi al-Hamd”. Rebahkanlah tubuh kita dan letakkan kening kita di atas sajadah dan menyatakan akan kealfaan pada Tuhan dan sesama manusia. Dengan penuh kesadaran, mulailah membangun dan merajut kebersamaan, menyingkirkan ego pribadi, memupuk kasih sayang, menanam perdamaian dan akhirnya menjadi duta-duta rahmat semesta Sang Khalik. “Taqabbalallâhu minna wa minkum, Taqabbal ya Karîm”. Selamat Idul Fitri 1440 H. Mohon Maaf Lahir-Batin. []