READ.ID,- Di tengah upaya pemerintah daerah mendorong pertumbuhan ekonomi pasca pandemi, Provinsi Gorontalo mulai menemukan peluang baru lewat sektor yang tak biasa: olahraga lari. Sejumlah event maraton dan fun run yang digelar dalam beberapa tahun terakhir ternyata mampu menciptakan efek ekonomi yang signifikan khususnya bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Salah satunya adalah Air Fun Run, event lari yang akan digelar pada Juli 2025 dan diproyeksikan menghasilkan perputaran uang hampir Rp900 juta hanya dalam dua hari pelaksanaan. Simulasi ini diungkapkan oleh akademisi Universitas Negeri Gorontalo, Funco Tanipu, yang meneliti dampak ekonomi dari berbagai event lari di wilayah tersebut.
“Ini bukan angka spekulatif. Dari total 3.459 peserta, termasuk sekitar 500 dari luar daerah, pengeluaran untuk konsumsi, akomodasi, dan belanja oleh-oleh berpotensi menciptakan sirkulasi ekonomi lokal yang luar biasa,” kata Funco saat diwawancarai Read.ID
Funco menyebutkan, sekitar 150 pelaku UMKM diperkirakan akan terlibat langsung dalam event Air Fun Run. Dengan estimasi pendapatan Rp2 juta per UMKM selama dua hari, nilai transaksi langsung dari sektor ini bisa menembus angka Rp300 juta.
“Selama ini event-event besar cenderung didominasi vendor luar. Tapi jika kita memberi ruang pada pelaku usaha lokal, maka event ini bisa menjadi motor penggerak ekonomi mikro yang riil,” jelasnya.
Ia menegaskan pentingnya kurasi UMKM lokal untuk ditempatkan di area strategis event, bukan hanya sebagai pelengkap. “Makanan khas, kerajinan, sampai produk kreatif harus tampil di depan. Ini adalah cara memperkenalkan identitas ekonomi Gorontalo kepada ribuan peserta yang hadir,” tambahnya.
Menurut Funco, agar event lari benar-benar berdampak terhadap pembangunan ekonomi daerah, dibutuhkan desain dan kebijakan yang lebih holistik. Ia mendorong pemerintah daerah membentuk koordinasi lintas sektor antara Dinas Pariwisata, Dinas UMKM, Pemuda dan Olahraga, hingga Bappeda untuk menyusun roadmap event berbasis ekonomi rakyat.
“Event olahraga tidak bisa hanya dikelola secara seremonial. Harus ada pra-event seperti pelatihan UMKM, pasar rakyat tematik, serta pasca-event yang terukur dan dilaporkan secara transparan,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya transparansi dampak, termasuk laporan resmi jumlah pelaku ekonomi yang terlibat, volume transaksi, tenaga kerja terserap, serta sebaran wilayah yang menerima manfaat.
Funco juga mendorong agar rute event lari tidak terpusat di pusat kota saja. Ia menyarankan adanya desentralisasi lokasi, termasuk menyasar wilayah pesisir, desa-desa hinterland, dan kawasan historis seperti Benteng Otanaha, Danau Limboto, hingga Botubarani.
“Kalau event digilir ke wilayah-wilayah pinggiran, maka warung desa, rumah warga, dan komunitas pemuda bisa terlibat langsung. Ini akan membuka akses ekonomi ke tempat yang selama ini tertinggal dari pembangunan,” katanya.
Bagi Gorontalo, salah satu dari sepuluh provinsi termiskin di Indonesia, model pembangunan berbasis partisipasi ini menjadi sangat relevan. Dengan lebih dari 62% penduduk bekerja di sektor informal, event olahraga seperti fun run bisa menjadi sarana transisi menuju ekonomi yang lebih terstruktur dan merata.
“Lari memang tidak serta-merta menyelesaikan kemiskinan, tapi ia bisa menjadi percikan awal perubahan. Kalau pemerintah serius mendesainnya, dampaknya bisa sangat luas dan jangka panjang,” pungkas Funco.*****