READ.ID – AJI Gorontalo dan SIEJ Ajak Warga Pesisir Bone Bolango Nobar Film Angin Timur Karya Ekpedisi Indonesia Baru Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Gorontalo bersama SIEJ nonton bareng (nobar) film Angin Timur bersama warga pesisir Desa Botubarani, Rabu (19/10/2022) malam.
Angin Timur adalah film kedua Ekspedisi Indonesia Baru (EIB), terdiri dari empat jurnalis, Dandhy Dwi Laksono, Farid Gaban, Yusuf Priambodo, dan Benaya Ryamizard Harobu.
Film ini berdurasi nyaris 2 jam. Memotret kisah pilu nelayan di pesisir Pulau Jawa, mulai dari Kulon Progo, Jogja; Karimun Jawa, Jawa Tengah; Trenggalek dan Banyuwangi, Jawa Timur.
“Film ini kami pikir relevan juga dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat pesisir Bone Bolango, terutama warga Desa Botubarani,” ungkap Fraco Bravo Dengo, Sekretaris AJI Gorontalo.
Film dibuka dengan adegan nelayan Gunung Kidul Jogja menimba ikan layang dan tuna dari dalam perut perahu. Adegan lalu berpindah ke Pantai Baru. Di lokasi ini, IED memotret kisah nelayan yang tak melaut dalam sebulan terakhir.
Menit awal hingga pertengahan film, penonton disuguhkan gambar dan kisah nelayan yang kesulitan ekonomi. Mulai dari sulitnya mendapatkan pasokan solar untuk melaut, hingga jumlah tangkapan yang makin sulit.
Ada pula potret nelayan yang menangkap ikan menggunakan pukat raksasa yang disebut cantrang. Klimaksnya, pada akhir film tim EID mulai menyajikan bagaimana nelayan juga harus berjuang mempertahankan wilayah tangkapnya.
Sejumlah kerusakan lingkungan mengancam para nelayan, mulai dari pertambanangan hingga kerusakan karang akibat kapal-kapal tongkang.
Narasi yang dibangun oleh dua sutradara film; Dandhy Dwi Laksono dan Yusuf Priambodo memantik diskusi yang cukup panjang usai pemutaran film.
Gusnar Ismail, perwakilan nelayan Botubarani mengaku, apa yang disuguhkan di dalam film juga sebetulnya dialami oleh nelayan Botubarani.
Misalnya soal nelayan kecil Botubarani yang disebut sulit keluar dari mulut Teluk Tomini. Nelayan kecil ini kata Gusnar, hanya mampu berlayar beberapa km dari bibir pantai.
“Tangkapannya juga tetap kecil. Berbeda dengan perahu yang besar-besar. Selain itu, nelayan di wilayah ini juga mengalami hal yang sama terkait sulitnya mengakses BBM jenis solar.” ungkap Gusnar.
Kata pria yang berkecimpung di dunia perikanan itu, hampir 70 persen warga Botubarani adalah nelayan. Karena itu, laut adalah tempat pencaharian mereka dan bergantung dari hasil laut.
“Jadi meski film ini dibuat di Pulau Jawa, namun tentu kondisinya sama dengan Sulawesi, dalam hal ini Gorontalo,” tukas Gusnar