READ.ID – Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Komarudin mengatakan rencana penyeragaman kemasan rokok perlu didalami lebih lanjut dengan menimbang kerugian sosial ekonomi yang akan terjadi.
Puteri dalam keterangannya di Jakarta, Kamis mengkhawatirkan kondisi di mana akan semakin sulit membedakan antara rokok legal atau rokok yang membayar cukai, dengan rokok ilegal.
Akibatnya, peredaran rokok ilegal bisa semakin meningkat. Tumbuh suburnya rokok ilegal di pasaran pun akan membuat pengawasan semakin kompleks.
“Hal ini tentu berisiko terhadap peredaran rokok ilegal yang sulit dikendalikan dan diawasi. Makanya, rencana ini perlu ditinjau kembali secara komprehensif,” ujarnya.
Selain itu, Pemerintah Indonesia juga dinilai akan mengalami kerugian ekonomi yang besar atas peredaran rokok ilegal. Pasalnya, cukai dari industri hasil tembakau (IHT) mencapai Rp216,9 triliun atau menyumbang lebih dari 95 persen dari total penerimaan cukai pada 2024.
Puteri juga memaparkan pada 2023, jumlah rokok ilegal yang berhasil ditindak sebesar 253,7 juta batang. Sementara 2024, jumlahnya meningkat menjadi 710 juta batang.
Oleh karena itu, ia meminta agar Pemerintah melakukan evaluasi efektivitas kebijakan untuk rancangan Permenkes yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan itu.
“Bersamaan dengan hal tersebut, pemerintah juga perlu menggencarkan upaya penindakan dan penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal,” ungkapnya.
Selain itu, ia juga mendesak agar dibuatnya roadmap atau peta jalan pengembangan IHT. Permintaan itu sebelumnya sudah didorong kepada Pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan pada 2022.
Menurutnya, peta jalan tersebut penting untuk memberikan kejelasan bagi industri, petani, dan pekerja di sektor tembakau terkait kemana arah pengembangan IHT ke depan.
Puteri mengaku banyak aspirasi seputar nasib IHT dari daerah pemilihannya, Jawa Barat VII, terutama dari pekerja di pabrik rokok yang berada di sektor sigaret kretek tangan (SKT), yang mayoritas pekerjanya adalah perempuan.
Diketahui, IHT merupakan salah satu industri yang menyerap sekitar 6 juta tenaga kerja, mulai dari petani tembakau, pekerja pabrik hingga pedagang. Bahkan, di sektor SKT yang padat karya, secara nasional, 90 persen tenaga kerjanya adalah perempuan yang merupakan tulang punggung keluarga.
Untuk itu, Puteri mengatakan perlu dicari titik temu yang menyeimbangkan antara alasan kesehatan untuk pengendalian konsumsi rokok dengan dampak negatif secara ekonomi.
“Saya berpesan agar kementerian/lembaga bisa saling koordinasi dalam merumuskan rencana ini dengan melibatkan aspirasi dari masyarakat, pekerja, petani, dan pelaku industri,” katanya.