Opini  

Bendera One Piece dan Merah Putih: Prabowo, Luffy dan Nasionalisme yang Luka

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

READ.ID – Di hari-hari menjelang 17 Agustus, ketika seharusnya suasana khidmat menyelimuti tanah air, muncul sesuatu yang mengejutkan: bendera bergambar tengkorak dengan topi jerami—Jolly Roger dari One Piece—dikibarkan di sejumlah tempat, bahkan berdampingan dengan Sang Saka Merah Putih. Bukan bendera negara asing, bukan simbol pemberontakan bersenjata, tapi justru dari dunia fiksi.

Reaksi pun bermunculan: kecaman, keheranan, bahkan wacana hukuman. Tapi di balik semua itu, ada pertanyaan yang lebih dalam: mengapa bendera dari serial anime bisa muncul di ruang kebangsaan kita?

Kenapa Merah Putih Memudar dan One Piece Bisa Menyentuh Hati Anak Muda

Bendera Merah Putih bukan sekadar kain merah dan putih yang dijahit rapi. Ia adalah perwujudan dari perjuangan panjang, dari darah para pahlawan, dari mimpi yang tak pernah menyerah. Namun seiring waktu, makna itu perlahan pudar di mata sebagian generasi muda. Upacara bendera menjadi rutinitas mekanis. Lagu kebangsaan dinyanyikan tanpa suara dari hati. Pancasila dihafal, tapi tidak selalu dihayati. Simbol nasional yang dulunya menggetarkan, kini berisiko menjadi ritual kosong—hadir secara fisik, tetapi hilang dari kesadaran emosional.

Ketika simbol-simbol kebangsaan kehilangan daya sentuhnya, ruang batin generasi muda tak pernah benar-benar kosong. Kosongnya diisi oleh cerita-cerita lain—bukan dari lembar sejarah, melainkan dari halaman-halaman fiksi. Bukan dari dokumen kenegaraan, tetapi dari petualangan imajinatif yang justru terasa lebih jujur dan lebih dekat. Dan di situlah One Piece mengambil tempat.

Dalam semesta itu, Luffy bukan keturunan bangsawan. Ia bukan anak jenderal atau cucu pahlawan. Ia hanya anak biasa dari pelosok desa yang membawa mimpi besar: menjadi Raja Bajak Laut. Yang membuatnya diperhitungkan bukan karena silsilahnya, tapi karena tekadnya yang tak bisa dibeli, keberaniannya yang tak bisa dibungkam, dan kesetiaan kru yang tetap tinggal bahkan ketika dunia memusuhinya.

Bendera Topi Jerami yang mereka kibarkan bukanlah warisan resmi dari masa lalu. Ia adalah simbol yang lahir dari pilihan sadar—simbol dari pertemanan, dari keberanian menentang ketidakadilan, dari ikatan yang tak dibentuk oleh darah, tapi oleh kesetiaan di tengah badai.

Di saat generasi muda merasa narasi kebangsaan tak lagi menggambarkan diri mereka, mereka menemukan tempat dalam kapal Luffy. Mereka mendengar suara mereka sendiri dalam teriakan, tawa, dan luka para bajak laut itu. Dalam konteks seperti itu, bendera bajak laut bukan sekadar ekspresi fandom. Ia adalah simbol dari kerinduan akan rasa memiliki, pengakuan, dan ruang untuk bermimpi. Dan dalam mengibarkan bendera One Piece bukanlah bentuk pengkhianatan terhadap Merah Putih, malah mereka seakan berkata: “Kami masih ingin bermimpi. Tapi izinkan kami memilih layar yang bisa membawa kami ke arah yang kami percaya.”

Eksil, Kesetiaan, dan Kapal yang Tak Pernah Karam

Ada satu sosok yang tanpa sengaja menjadi bayangan paling dekat dari narasi One Piece di dunia nyata: Prabowo Subianto.

Seperti Luffy, Prabowo tidak lahir dalam kemewahan politik yang aman dan teratur. Ayahnya, Prof. Soemitro Djojohadikusumo, seorang ekonom terkemuka, dipaksa hidup dalam eksil sejak 1957 karena dituduh terlibat dalam gerakan perlawanan daerah. Dari Singapura, keluarga ini berpindah ke Malaysia, lalu ke Hongkong, Swiss, dan London. Selama sepuluh tahun, mereka hidup tanpa status kewarganegaraan yang jelas. Tidak punya tanah air, tapi tidak kehilangan cintanya pada Indonesia.

Namun akar eksil dan perlawanan dalam keluarga ini jauh lebih tua. Leluhur mereka dari Banyumas, Raden Tumenggung Kertanegara IV alias Banyakwide, adalah seorang bangsawan lokal yang mendukung pasukan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825–1830). Karena menolak tunduk pada Belanda, ia diasingkan ke Maluku. Dalam narasi keluarga, Banyakwide bukan sekadar leluhur, tapi simbol abadi bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan bukan pilihan, melainkan warisan.

Dan di balik garis keras itu, ada kelembutan disiplin yang menjalar dari ibunya: Dora Marie Sigar, perempuan Minahasa yang selama masa pengasingan (1957–1967) menjadi jangkar keluarga. Dialah yang menjaga nilai-nilai di tengah keterasingan. Ia tanamkan tanggung jawab, kesetiaan, dan kebanggaan. Ia ajarkan bahwa mencintai Indonesia bukan soal di mana kamu berada, tapi bagaimana kamu bertahan saat negeri sendiri membuangmu.

Pengalaman ini mirip dengan Luffy. Ia bukan anak raja, bukan keturunan elite. Tapi ia mengumpulkan kru bukan dengan uang atau pangkat, melainkan dengan mimpi dan kesetiaan. Dan saat kapal mereka dihantam badai, kru seperti Zoro, Sanji, dan Nami tidak pernah pergi. Justru di masa-masa sulit itulah, mereka menguatkan tekad untuk tetap bersama.

Begitu juga dengan Prabowo. Setelah karier militernya melejit dan ia menjabat sebagai Komandan Jenderal Kopassus, badai datang. Ia dijatuhkan dan kembali tersingkir. Ia pergi ke Yordania dan Jerman—bukan sebagai pejabat, tapi sebagai seseorang yang didepak dari sistem. Namun ia tidak tenggelam. Ia membangun Partai Gerindra, meski kalah tiga kali dalam Pilpres (2009, 2014, dan 2019) dan gagal lolos dalam Konvensi Partai Golkar 2004.

Tapi seperti Luffy yang menolak menyerah setelah kalah dari Admiral, Prabowo tetap bertahan. Dan yang membuatnya bertahan adalah para “kru”-nya—Sufmi Dasco, Sugiono, dan Prasetyo Hadi—yang tetap bersamanya saat angin tidak berpihak. Mereka bukan sekadar pembantu politik. Mereka seperti Zoro, Sanji, dan Nami: orang-orang yang tidak meninggalkan kaptennya ketika kompas moral diuji.

Inilah yang menjadikan Prabowo bukan sekadar politisi, tapi metafora hidup dari dunia yang diciptakan Eiichiro Oda, kreator One Piece: seorang kapten kapal yang berkali-kali tenggelam, tapi tidak pernah karam. Seorang kapten yang kehilangan banyak hal, tapi tidak kehilangan kru. Dan di dalam itu, terdapat kekuatan yang tidak bisa direbut oleh siapa pun—yaitu kesetiaan dalam pengasingan dan mimpi yang tak pernah padam.

Merah Putih, Jolly Roger, dan Anak-anak yang Merindukan Tanah Air

Ketika anak muda di berbagai sudut kota mengibarkan bendera One Piece, banyak yang buru-buru menyebut mereka kurang nasionalis. Tapi mungkin yang sedang mereka lakukan bukan perlawanan, melainkan pengakuan: bahwa mereka masih ingin percaya. Masih ingin merasa menjadi bagian dari Indonesia. Masih ingin berjuang—tapi mereka juga ingin merasa didengar.

Di sinilah muncul paradoks: mereka lahir di tanah air ini, tetapi tidak merasa memiliki tempat. Mereka ingin berkontribusi, tapi jarang dilibatkan. Mereka ingin bermimpi besar, tapi sering kali dituduh terlalu naif. Dalam diam, mereka menjahit sendiri simbol keberanian, solidaritas, dan kebebasan—dan lahirlah bendera Jolly Roger, bukan dari pengkhianatan, tetapi dari kekosongan ruang representasi.

Bendera One Piece bukan ancaman. Ia adalah teriakan sunyi dari hati yang ingin diakui. Dalam anime itu, Luffy bukan warga negara hebat. Ia justru melawan kekuasaan global yang otoriter. Tapi ia tak pernah kehilangan kompas moral. Ia bertarung bukan untuk menjajah, tapi untuk membebaskan. Ia mengibarkan bendera bukan untuk menaklukkan, tapi untuk menyatukan mereka yang terusir.

Bukankah itu juga kisah Prabowo? Ia tak selalu diterima oleh sistem. Ia dibuang oleh tanah airnya, dua kali. Tapi ia tetap pulang. Ia membangun partai sendiri, memperjuangkan gagasannya sendiri. Dan di sekelilingnya tetap ada mereka yang tidak pernah pergi: orang-orang yang percaya, bukan karena kekuasaan, tapi karena nilai yang dibawa bersama.

Jolly Roger dan Merah Putih seharusnya tidak saling meniadakan. Karena dalam keduanya ada semangat yang sama: semangat untuk tidak menyerah meski dunia membuangmu.

Maka respons terhadap fenomena ini tidak cukup hanya berupa larangan atau sanksi. Yang lebih dibutuhkan adalah keberanian untuk bertanya: masihkah Merah Putih hidup di dada anak-anak muda kita? Atau ia hanya tinggal sehelai kain di tiang yang sunyi?

Bagaimana Semestinya Prabowo Menanggapi

Prabowo yang menanggung luka selama puluhan tahun, sejak tahun 1957 hingga tahun 2024, sangatlah paham bahwa nasionalisme tidak bisa dipaksa. Ia harus tumbuh dari rasa memiliki, rasa dipercaya, rasa diikutsertakan. Merah Putih tidak akan kehilangan makna jika kita mampu menghidupkannya kembali dalam bahasa dan semangat generasi hari ini. Ia harus menjadi simbol perjuangan baru, bukan sekadar monumen dari masa lalu.

Seseorang seperti Prabowo—yang pernah dibuang, pernah kalah, pernah ditinggalkan—jika mampu melihat ini bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai cermin, maka barangkali ia akan tahu: bahwa bendera paling suci bukan yang hanya dikibarkan di tiang, tapi yang berkibar diam-diam di dalam dada mereka yang meski kecewa, tetap memilih untuk tinggal.

Prabowo Subianto bukan hanya Presiden. Ia adalah simbol sejarah yang panjang, penuh luka dan eksil, namun juga penuh rekonsiliasi. Ia pernah hidup di luar tanah air, tanpa negara, tanpa tanah tempat berpijak, namun tak pernah kehilangan cinta pada Indonesia. Maka ketika simbol imajiner seperti One Piece dikibarkan oleh anak-anak bangsa di momen kemerdekaan, Prabowo justru orang yang paling mungkin memahami.

Ia tahu, simbol bukan hanya gambar. Ia adalah wadah dari rasa, luka, dan harapan. Dan bendera bajak laut yang dikibarkan bukanlah tanda makar, melainkan jeritan rindu untuk merasa dimiliki oleh negeri sendiri. Justru dari pengalaman eksil dan keterasingan itulah, Prabowo punya modal historis dan emosional untuk menanggapi ini dengan lebih bijak: bukan dengan larangan, tetapi dengan pelibatan.

Prabowo tentu saja paham bahwa nasionalisme hari ini bukanlah nasionalisme yang berbicara lewat podium, tetapi lewat ruang imajinasi, kesetiaan kultural, dan simbol yang menyentuh batin. Setelah menanggung luka eksil dan pelbagai pengkhianatan, dirinya menjadi Presiden, dan dirinya pun tahu bahwa ini bukan sekadar soal memimpin negara, tapi juga membangun kembali ikatan batin dengan generasi yang merasa asing di rumah sendiri.

Alih-alih bersikap keras atau diam, Prabowo bisa membuka ruang dialog. Ia bisa hadir di tengah generasi muda bukan untuk memberi ceramah, tapi untuk mendengar. Karena siapa yang lebih tahu rasanya tidak dianggap oleh bangsanya sendiri selain dia?

Jika ia bisa menyambut momen ini bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai kesempatan untuk menjahit ulang kebersamaan nasional, maka ia tidak hanya akan menjadi pemimpin administratif, tetapi pemimpin batiniah bangsa. Ia akan membuktikan bahwa nasionalisme bukan hanya diwariskan, tetapi terus-menerus diciptakan ulang bersama seluruh anak bangsa.

Karena pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan sekadar bendera yang berkibar tinggi di tiang besi, tapi bendera yang berkibar dalam dada—dan Presiden yang mampu menjaganya tetap hidup di sana.

 

Oleh : Dr. Funco Tanipu., ST., M.A
(Sosiolog Universitas Negeri Gorontalo)

Baca berita kami lainnya di