Oleh : Muhammad Makmun Rasyid
Semuanya telah melakukan ibadah puasa Ramadan dengan penuh sukacita dan kegembiraan. Memang, ini anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa yang diberikan kepada umat Islam dan sekitarnya, khususnya di Indonesia. Kelelahan demi kelelahan dan tetesan air mata bercucuran akibat ratusan nyawa hilang membuat energi jasadiyah kita terkuras habis. Sampai-sampai lupa mengasah sisi spiritual yang menjadi penopang kehidupan. Seseorang yang kehilangan dan kekosongan energi spiritual dalam dirinya, maka nafsu akan mengambil alih komando.
Kekosongan membuat bangsa kita saat ini mengalami darurat berpikir yang kritis tapi santun, berkualitas tapi bertanggungjawab, berkreasi tapi tidak kehilangan etika, berinovasi tapi tetap kokoh berpegang pada tali agama, berkiprah tapi tidak kehilangan kompas kehidupan, bergerak tapi tidak kehilangan identitas dan bersosial tapi tidak kehilangan jati diri. Lebih jauh lagi, kondisi kemarin-kemarin hanya menampilkan banyak sosok manusia yang benar tapi tidak pintar dan orang pintar yang tidak benar. Seakan-akan cermin langit diturunkan ke muka bumi guna membuka jenis jenis manusia-manusia beriman penuh kedustaan.
Lalu, untuk apakah kita menjalankan ibadah puasa Ramadan sekarang? Jika jawabannya adalah agar Allah memberikan pahala, terhapusnya dosa, dimasukkan ke dalam surga, terhindar dari azab api neraka, mendapatkan maghfirah dan ampunan, itu sama artinya kita masih berjarak dengan Allah SWT. Seharusnya, kekeringan alam batiniyah kemarin membuat kita beranjak ke posisi terbaik, yakni berpuasa karena “mahabah” (mencintai Allah sepenuhnya). Berpindah dari tingkatan “takut dan khawatir” (khauf) dan “berharap” (raja’) pada tingkatan “hubb” (mencintai tanpa syarat).
Perpindahan dari puasa penuh ketakutan pada kegembiraan, dari puasa penuh kekhawatiran pada kesenangan dan dari puasa berharap pada pasrah bisa mengembalikan sisi spiritual kita yang telah luruh dan rontok akibat ketegangan politik yang berketegangan tinggi. Ketegangan tinggi itu membuat segala spektrum kehidupan manusia berubah. Apa-apa yang tampak merupakan kepalsuan-kepalsuan berlapis. Kebenaran tertimbun di dasar laut dan menjadi berkeping-keping yang membutuhkan rajutan dan anyaman baru lagi. Untuk mencarinya (kebenaran itu) membutuhkan kebersihan hati dan tentunya jarang yang memilikinya. Kebersihan hati dibutuhkan saat dunia memutarkan film berupa berita-berita layakanya sabda Allah yang tak mengandung unsur kesalahan. Perkataan masing-masing tokoh di kelompoknya bagaikan hadis sahih yang tidak membutuhkan perangkat analisis “al-Jarh wa al-‘Ta’dil” (ilmu yang membahas hal ihwal para pemberita dari segi diterima atau ditolaknya informasinya).
Di bulan inilah, aura permusuhan sesama manusia beriman dan tak beriman kita ganti menjadi aura perdamaian, persaudaraan dan kasih sayang. Meminjam gagasan Haedar Nashir, bulan ini seperti “recovery untuk mengisi ulang energi spiritual keruhaniaan yang sempat lowbatt hampir setahun”. Bulan ini tempat nge-“charger” masing-masing diri agar menjadi manusia suci, beradab dan meraih fitrahnya kembali.
Fitrahnya manusia adalah menebar kasih sayang. Oleh karena itu, saat umat Muslim membuka lembaran pertama kitab sucinya, maka akan disapa oleh al-Qur’an dengan redaksi “rahman” dan “rahim” yang menjadi sifat Tuhan. Yang kasing sayang itu, di muka bumi ini disemburkan dan diberikan pada orang baik dan jahat. Artinya, potensi menggapai kasih sayang di dunia ini tidak terbatas, terus dilimpahi oleh Allah yang sampai-sampai murka-Nya tertunda.
Kata-kata itu bukanlah pajangan semata yang bisa menjadi jimat “pongko” (bahasa Gorontalo) atau setan. Tidak!. Itu kata-kata yang mencerminkan bahwa kerahmatan itu menjadi sebab Nabi Muhammad diutus Allah. “Aku tidak mengutusmu (hai Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi semesta” (Qs. Al-Anbiyâ’ [21]: 107) dan menjadi kewajiban setiap Muslim untuk menirukannya. Nabi telah membuktikan ajaran itu. Nabi tidak mengutuk orang-orang yang menolak ajarannya walaupun Nabi bisa melakukan itu dengan bantuan Allah. Sampai-sampai ada sahabat bertanya pada Nabi, Nabi hanya menjawab: “Aku tidak diutus untuk mengutuk orang, melainkan pemberi rahmat”.
Pesan itu bisa menjadi spirit kita untuk mengejawantahkan keadaban takwa sebagai capaian bagi mereka yang telah lulus berpuasa di bulan Ramadan. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Sebagaimana dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya, keadaban sosial sebagai operasionalisasi keadaban takwa menjadi kebutuhan utama dalam mewujudkan manusia yang “welas asih” dan kasih mengasihi satu sama lain. Di bulan Ramadan ini, bahwa argumentasi tentang adanya “rahmah, maghfirah dan pembebasan api neraka” tidak sekedar kita cari, melainkan membangun dan menciptakan nilai-nilai kasih sayang itu sesama umat Islam dan sesama anak bangsa.
Selain itu, selama Ramadan amal yang kita kerjakan akan dilipatgandakan oleh Allah. Banyak para penceramah sebelum dan sesudah Tarawih menyuruh kita untuk saling berlomba-lomba dalam meraih itu, semaksimal dan sekuat tenaga, tapi jarang kita mendengar untuk berlomba-lomba dalam mempraktikkan nilai-nilai yang kita gapai selama Ramadan. Agar puasa Ramadan tidak sekedar urusan privat, manusia dengan Tuhan. Melainkan pula harus tembus sampai hubungan sesama manusia dan alam. Hal ini pernah disampaikan alm. Syaikh Wahbah Zuhaili (pakar tafsir terkemuka dari Damaskus) bahwa puasa juga merupakan bentuk sarana membangun interaksi sosial yang efektif.
Cukuplah, kiranya untuk menjadi manusia yang bisa berkasih sayang. Tidak saja berkasih sayang dan tolong menolong sesama kelompoknya, tapi juga kepada yang berbeda dengan kita. Sungguh sedikit melihat orang demikian. Yang tampil hanyalah mereka-mereka yang mengerti al-Qur’an, mahir membaca kitab, rajin membaca buku dan bertitel tinggi, tapi mereka-mereka pun masih belum bisa berlaku adil dalam berbuat kasih sayang dengan yang berbeda. Alih-alih menuju kesana, justru bagaimana membuat yang berbeda hancur lebur tak berbekas dan berjejak.
Disinilah, transformasi dari mengerti dan memahami menuju pelaksanaan dibutuhkan kebersihan hati yang sebersih-bersihnya. Saya ambil contoh ayat populer, yaitu: “…Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar…” (Qs. Al-Ankabût [29]: 45).
Ayat di atas menjelaskan bahwa “shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar” itu adalah shalatnya orang-orang tidak sekedar menunaikan formalitas saja. Begitu pula puasa Ramadan, mereka-mereka yang menjadi “muttaqîn” adalah mereka-mereka yang tidak sekedar menjalankan puasa: menahan lapar dan haus semata. Predikat itu diperuntukkan untuk mereka yang berupaya sungguh-sungguh. Jangan sampai, setiap tahun kualitas puasa kita hanya diposisi sama, tidak ada peningkatan sama sekali. Lalu, kita berharap lebih sama Allah Swt?
Berkenaan dengan bulan kasih sayang ini, sampai-sampai Nabi Muhammad dalam sebuah hadis menganjurkan jika salah satu di antara kita memasak sayur, maka perbanyaklah airnya. Hadis ini terkesan remeh, padahal memiliki makna sosial tinggi, yaitu kepedulian pada tetangga. “Berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu…” (Qs. Al-Qasas [28]: 77).
Hemat penulis, sebenarnya bukan tidak bisanya kita menjadi manusia pemberi kasih sebagaimana yang dtitetesin oleh Allah ke dalam diri setiap manusia. Melainkan, penyebab utamanya adalah kesombongan dan ego yang masih mendominasi dalam diri. Memiliki hati yang penuh kasih sayang memang tidak mudah. Walaupun menjadi pemilik hati “kasih dan sayang” tidak akan merugi, tapi tetap mencari orang di bulan puasa dalam suasana berpolitik yang belum tuntas ini terasa sulit. Padahal Nabi Muhammad sudah bersabda, “rahmatilah yang ada di bumi, niscaya kalian akan ditahmati oleh zat yang ada di langit”. Yang dalam perspektif Ushul Fikih, kalimat itu bersifat umum, yang sama artinya berlaku umum. Maksudnya, kewajiban menebar kasih dan sayang tidak terbatas pada siapa dan jenis apa. Semua mahluk Allah wajib saling berkasih sayang satu sama lain.
Dan bisakah kita dalam suasana bulan Ramadan ini mengunci mulut kita yang kerap mengumbar perkataan kotor dan caci maki kepada yang berbeda? Mengunci tangan kita agar tidak menyebarkan fitnah dan hoax? Jika bisa, maka mulailah beranjak menjadi pribadi yang berkualitas dan berguna. Bulan ini kita jadikan bulan merajut kepingan asa yang pernah retak karena persoalan pemilu raya kemarin, dan kita jadikan bulan penuh kasih sayang. Semoga Allah selalu menjaga diri kita dan bangsa kita dari pemecah belah. Dan selamat berbuka puasa!