Oleh: Rully Lamusu, warga asli Kwandang, CEO Read.id
Pada Pemungutan Suara Ulang (PSU) Kabupaten Gorontalo Utara tanggal 19 April 2025, Thariq Modanggu berhasil meraih suara terbanyak, dengan selisih sekitar 2.000 suara dibandingkan Roni Imran.
Padahal sebelumnya, pada 27 November 2024, Thariq kalah telak dengan selisih lebih dari 12 ribu suara. Namun, Mahkamah Konstitusi pada 24 Februari 2025 memerintahkan KPU Gorontalo Utara untuk menggelar PSU, yang akhirnya terlaksana pada 19 April 2025.
Mengapa Thariq kalah telak sebelumnya?
Untuk menjawab pertanyaan itu, saya akan mengulas perjalanan politik Thariq Modanggu.
Pertama, pada tahun 2008, saat masih menjabat Ketua Komite Pembentukan Kabupaten Gorontalo Utara, Thariq maju sebagai calon Bupati dan kalah tragis dengan selisih puluhan suara melawan Rusli Habibie.
Kedua, dia kembali kalah pada Pilkada 2013. Ketiga, baru setelah menurunkan egonya dan bersedia maju sebagai wakil bupati mendampingi Indra Yasin, ia akhirnya terpilih.
Keempat, saat mencalonkan diri sebagai bupati pada Pilkada 27 November 2024, ia kembali kalah. Kelima, baru setelah mendapat dukungan luar biasa dari seorang tokoh yang benar-benar mendedikasikan diri untuk membantunya, Thariq akhirnya menang—itu pun hanya dengan selisih tipis sekitar 2.000 suara.
Dari rangkaian ini tampak bahwa Thariq, jika maju sendiri dengan kepercayaan diri yang tinggi sebagai calon bupati, selalu kalah. Ia baru berhasil menang ketika digandeng oleh Indra Yasin (incumbent) atau saat mendapat sokongan kuat dari pihak lain. Maka, bisa disimpulkan: Thariq akan sulit menang jika tidak dibantu oleh orang lain.
Karena itu, berkaca pada periode 2018–2023—saat ia menjabat sebagai incumbent tapi justru kalah—hasil PSU pada 19 April 2025 ini (jika tak digugat ke MK), harus dihormati dan dijadikan bahan renungan.
Jika tidak, sanksi sosial dari masyarakat bisa saja datang. Jangan sampai, amanah dan kesempatan kedua ini disia-siakan.
Podaha Boli’o Lo Huta. Mebalata to huta, didu mo pu’o.
Tolong, jangan berubah.
Kemenangan ini bukan sekadar angka di kotak suara, tapi janji yang lahir dari harapan rakyat. Dan harapan itu kini bertengger di pundakmu. Sebagai kawan, kami cuma ingin mengingatkan: kekuasaan itu tak pernah abadi. Tapi sikap baik akan selalu dikenang.
Japoboli’a. Moboli’a.
Dalam bahasa Gorontalo, dua kata ini jadi pengingat yang kuat.
Japoboli’a — jangan berubah.
Moboli’a — tetaplah seperti dulu.
Saat belum jadi siapa-siapa. Saat kita masih duduk bersama tanpa sekat. Saat ide-ide besar lahir dari obrolan kecil di bawah pohon atau di warung kopi.
Kekuasaan bisa membuat orang lupa dari mana ia berasal. Tapi semoga engkau tetap ingat jalan pulang. Tetap ramah. Tetap rendah hati. Tetap membuka telinga untuk suara-suara kecil yang dulu ikut mendorongmu ke puncak.
Ini bukan sindiran, bukan pula pujian berlebihan.
Hanya pengingat dari seorang kawan:
Jangan berubah. Jangan jadi asing. Jangan menjauh.
Kita tak butuh pemimpin yang sempurna.
Kita cuma butuh yang manusiawi—yang tetap jadi manusia meski duduk di kursi kekuasaan.