READ.ID – Tulisan Dewan Ahli Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Provinsi Gorontalo, Makmun Rasyid (MR) dengan judul “Kebijakan Yang Bener dan Pener” sangat jelas pro kebijakan Rektor Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Pandangan MR dalam tulisan tersebut banyak titik lemahnya bahkan perlu diuji dengan segudang pertanyaan. Dan saya kira, hanya dengan pertanyaan-pertanyaanlah akan kelihatan dengan jelas titik lemahnya.
MR bagi saya hanya sekedar ‘meraba’ atau ‘belajar’ memahami persoalan ini. Secara ke Ilmu-an, ia tidak atau sedang fokus pada isu-isu keberagaman apalagi turun kelapangan, merasakan apa dan bagaimana kaum minoritas diperlakukan tidak adil melalui produk-produk kebijakan yang ada. Jika ditanya berapa banyak kelompok minoritas di Gorontalo yang retan diskriminasi, berhadapan dan merasakan dampak dari kebijakan yang tidak adil? Jawabanya, banyak. GUSDURian Gorontalo punya resource dan konsen diberbagai isue. Isue apa saja. Bahkan kami punya data-data tentang itu.
Mestinya MR menyodorkan pertanyaan fundamental bahwa sejauh mana dampak dari kebijakan Rektor itu? Saya belum tertantang dan puas dengan tanggapan MR. Apalagi MR tidak sedang “dilatih’ bahkan “ditempa” dengan berbagai cara yang tengah dilakukan GUSDURian. Maka MR terlihat ‘sembarang’ menyimpulkan posisi dan sikap GUSDURian Gorontalo. MR sedang mengikuti nalar KH Hasyim Muzadi (Abah Hasyim) dan itu perlu diapresiasi. Tapi tidak bisa mengesampingkan fakta bahwa tidak semua nalar KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur diamini Abah Hasyim. MR mengesampingkan fakta itu.
MR dalam istilah saya adalah seorang Muzadisme. Muzadisme adalah pengikut dan pengagum KH. Hasim Muzadi. Seperti hal saya, seorang GUSDURian yang meneladani karakter dan pemikiran-pemikiran Gus Dur. Bahkan, MR pernah menulis tentang pemikiran Abah Hasyim dengan jernih. Namun saya belum melihat sejauh mana pemikiran-pemikiran Abah Hasyim MR aplikasikan. Baiknya MR juga membentuk wadah yang sangat rapi dan masif seperti Jaringan GUSDURian. Sehingga internalisasi nilai-nilai Abah Hasyim membumi dan banyak dibicarakan.
MR tengah meminjam nalar Abah Hasyim bahwa ‘Jangan sampai anda lebih Gus Dur dari Gus Dur’ . Nalar Abah Hasyim tidak bisa ‘comot’ begitu saja, harus di tafsir lagi. Apakah Abah Hasyim sedang konsen dan tidak satupun abai dengan nalar Gus Dur? Faktanya Abah Hasyim berbeda padangan dengan Gus Dur dalam hal-hal tetentu. Kami punya catatan-catatan tentang siapa saja Tokoh-tokoh NU yang punya cara padang berbeda dengan Gus Dur. Saya kira disni jelas melihat posisi dan sikap GUSDURian dalam melihat persoalan. Karena tidak semua orang NU itu mengamini pemikiran Gus Dur, termasuk MR.
Mari kita uji padangan-pandang MR yang pro kebijakan Rektor itu. MR perlu clear dengan; apa relevansi kampus berbasis agama dengan kampus umum seperti UNG, tentu tidak relevan. Sebab MR memberi nilai yang sama antara kampus berbasis agama dan umum. Di kampus umum, ada semua agama di dalammya. Setiap kebijakan yang lahir harus mengakomodir semua agama di dalammya. Beda halnya dengan kampus berbasis agama karena di dalamnya hanya ada mahasiswa beragama tertentu. Mestinya kebijakan Rektor tersebut diarahkan pada organisasi lintas agama di dalam Kampus. Bukan kepada Mahasiswa yang beragama tertentu atau Mayoritas.
Soal data seberapa banyak yang seperti MR hafal 30 juz. Pertanyaan saya balik, seberapa banyak orang memahami agama dan hafal kitab, di perguruan tinggi agama dimana MR adalah alumni disana, lalu sejauh mana alumni perguruan tinggi tersebut menyikapi atau paling tidak menengahi persolan intolerasi yang kian menjadi-jadi di Negeri ini? Ada dimana Alumni-alumni dan atau pemikiran-pemikiran mereka menyoal konflik agraria, oligarki yang tengah mengakar di Negeri ini?
Ada dimana orang-orang seperti MR yang tengah memperjuangkan HAM?.
Ada banyak kasus pelanggaran HAM yang harus dibantu dengan perspektif ke agamaan yang moderat dan inklusif. Ada banyak kasus-kasus Korupsi, pelecehan seksual, penyalagunan wewenang serta perang sumber daya alam tengah terjadi di Negeri ini. Ada dimana gagasan-gagasan para penghapal atau ahli qur’an jebolan kampus agama dalam menyikapi itu semua? GUSDURian menggarap bahkan memberikan padangan soal ini.
Kembali lagi terkait kebijakan Rektor UNG, MR sepertinya terjebak melihat kebijakan itu. Tidak hanya MR yang terjebak, tapi juga para ‘peluncur-peluncur’ Rektor UNG. MR dan ‘peluncur-peluncur’, sepertinya sengaja memilih isue tertentu saja. Padahal ada banyak isue dan praktik-praktik yang tak memihak masyarakat luas di Gorontalo. Termasuk isue bahwa ada banyak ‘predator’ di dalam kampus baik yang berbasis Agama maupun Umum. MR dan ‘peluncur-peluncur’ itu sepertinya kurang konsep dengan berbagai hal tadi. Selain itu Posisi MR sebagai Dewan Ahli di ISNU Gorontalo perlu dipertanyakan, apakah MR layak pada posisi itu? Jawabannya adalah belum layak. Sebab belum ada gagasan-gagasan ISNU yang sangat fundamental yang lahir dari pandangan MR.
Sekali lagi, dalam tulisan ini saya hanya menyodorkan pertanyaan-pertanyaan kritis saja terkait tulisan MR. Saya sengaja tidak akan memberikan padangan yang sangat detail terkait kebijakan Rektor UNG. Alasannya jelas, bahwa MR bukan bagian dari Institusi UNG, jadi saya tidak perlu menanggapinya lugas.
Kita uji lagi, apakah kebijakan Rektor itu memenuhi standar kesamaan hak dan keadilan? Tidak menurut saya. Jika pendekatan mayoritas yang dipakai MR dalam melihat persolaan ini, maka itu tidak adil bahhkan diskriminatif. MR melihat persolan ini harus wajib kaya perspektif. Biar fair dan adil melihatnya.
Di kebijakan Rektor ini ada pola dan trend saling mempengaruhi. Tidak bisa MR hanya melihat produk kebijakan saja. Tapi juga harus khatam melihat apa pola dan trend sehingga kebijakan itu lahir. Saya amati dalam tulisan itu, MR lepas dari pendekatan ini. GUSDURian atau organisasi yang berafiliasi dan nilai-nilai dan prinsip KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur telah menguji dan mempraktekkan metode ini.
Apakah metode ini ada dalam Qur’an? Jawabnya, ada. Namun saya tidak akan mengulasnya disni. Akan panjang tulisannya. MR atau ‘peluncur-peluncur Rektor UNG hanya melihat melihat produk yang ‘samar’ tidak nampak. MR dan para ‘peluncur’ terjebak pada Surat Keputusan Rektor UNG itu yang dikritik habis-habisan. Mestinya yang harus dilihat, setelah ada pola dan trend, adakah struktur dan elemen-elemn yang mempengaruhi? Tentu ada.
Saya ambil contoh : Merebaknya perda-perda berbau syariah banyak yang tidak memenuhi rasa keadilan. Perda itu banyak yang bermasalah dan tidak mempertimbangakan aspek kemanusiaan disana. Jika perda-perda syariah itu dipertahankan akan mengakibatkan konflik, rasa cemburu yang berlebihan.
Menurut Saya, tidak semua orang memahami secara fundamental pemikiran dan laku Gus Dur. Bahkan orang NU sekalipun. Karena saya adalah orang pertama, atau satu-satunya orang Gorontalo yang tepilih dan layak mengikuti Akademisi Kepemimpinan Gus Dur (AKG). AKG adalah jenjang kaderisasi tingkat tinggi.
Selain itu, MR juga lebih apik dan clear melihat peristiwa atau kebijakan bahwa dampak apa saja yang timbul dari kebijakan itu. Bagaimana struktur atau sistem terjadinya pola dan kecendurungan tersebut? Seperti apa hubungan antar bagian-bagian sistem yang mempengaruhi perilaku secara keseluruhan?.
MR juga harus melihat model dan mental yang membuat sistem bertahan di status quo? Apa asumsi-asumsi, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip yang dipegang teguh oleh para pelaku dalam sistem?.
Selain itu, MR juga harus menguji asumsi-asumsi, keyakinan, dan kebiasaan yang menjadi dasar lahirnya kebijakan. Sepertinya MR tidak pernah bersua dengan pendekatan-pendekatan seperti ini. MR cenderung ekslusif dan hal itu dikuatkan oleh teman-teman saya di seberang sana. Maka tak heran, MR ‘jarang’ dapat panggung yang merespon berbagai isue nasional dan lokal. Dia hanya fokus ‘menelanjangi’ HTI. Padahal, ada banyak isue yang merusak di Negeri ini. Saya tidak perlu menanggapi yang lain dari tulisan MR. Karena para kader saya sedang antri untuk menyanggah pemikirannya yang wah itu.
Jika ditanya, MR mestinya berduet dengan siapa? Saya menyarankan duetnya dengan Tarmizi Abbas atau Arief Abbas. Dia Alumni Kelas Pemikiran Gus Dur. Jenjang kaderisasi awal di GUSDURian. Dan jika ditanya lagi, siapa orang ‘kaliber’ yang layak saya akan tanggapi pemikiran-pemikirannya? Adalah Samsi Pomalingo, Senior di PMII Gorontalo dan Funco Tanipu Senior HMI di Gorontalo. Karena mereka juga jelas beririsan langsung dengan Institusi UNG.
Penulis : Djemi Radji Koordinator GUSDURian Gorontalo