Oleh : Hersubeno Arief
Apa yang paling diingat publik dari debat antar-cawapres mempertemukan Kiyai Ma’ruf Amin dengan Sandiaga S Uno, Ahad (17/3) malam?
Sebagian besar pemirsa ketika ditanya akan menjawab soal kartu. Ma’ruf Amin menunjukkan tiga kartu andalan Jokowi : Kartu Pra Kerja, Kartu Kuliah dan Kartu Sembako.
Sandiaga Uno mengeluarkan e-KTP dari dompetnya. Tindakannya diikuti secara beramai-ramai oleh para pendukungnya. Menurut Sandi tidak perlu banyak kartu. Cukup satu kartu canggih bernama e-KTP. Simple. Tidak ruwet dan tidak bikin dompet jadi tebal mengganggu.
Begitulah perilaku penonton televisi. Sesuai karakternya, televisi bersifat visual. Apa yang dilihat, jauh lebih membekas dalam ingatan dibanding apa yang didengar. Apalagi di era medsos. Sangat jarang ada penonton yang benar-benar sepenuhnya memperhatikan jalannya debat.
Coba perhatikan. Sebagian besar sibuk dengan gadget. Share alias mengirim meme, potongan video, berdebat, bahkan berperang di berbagai group pertemanan sepanjang perdebatan. Sangat jarang ada yang benar-benar memperhatikan sepenuhnya jalannya debat.
Tak berlebihan bila banyak praktisi komunikasi menyatakan penampilan (performance) jauh lebih penting dari penguasaan materi. Kurang lebih porsinya 70%-30%. Karena itu perdebatan di televisi disebut sebagai talkshow. Kalau kita terjemahkan secara bebas, berarti “pertunjukan omong-omong, pertunjukan cakap-cakap.” Bukan kuliah, atau ceramah.
Rumusnya, jangan hanya terfokus pada konten, tapi juga jangan sama sekali tidak menguasai konten. Yang harus lebih diutamakan adalah penampilan. Mulai dari penampilan fisik, cara berpakaian, dan bagaimana bersikap sepanjang jalannya debat. Terlalu fokus pada konten dan abai penampilan, dampaknya bisa fatal.
Secara singkat rumus untuk memenangkan ajang sebuah debat di televisi adalah tiga P. Performance, performance, and performance. Penampilan, penampilan, dan penampilan.
Rumus ini penting untuk menguji klaim dua kubu pendukung, terutama pendukung Ma’ruf Amin, bahwa jagoannya memenangkan debat.
Rujukan klasik untuk melihat dampak perdebatan di televisi dan pengaruhnya terhadap preferensi pemilih adalah debat antara capres Richard Nixon melawan John F Kennedy. Pertemuan keduanya terjadi pada tanggal 26 September 1960. 59 tahun lalu.
Inilah untuk pertamakalinya publik di AS bisa mengikuti debat secara langsung di televisi. Biasanya mereka mengikuti debat melalui radio. Televisinya juga masih hitam putih, dengan teknologi yang sederhana.
Nixon adalah wapres incumbent saat itu berusia 47 tahun. Sementara Kennedy sang penantang berusia 4 tahun lebih muda.
Sebagai incumbent Nixon jelas jauh lebih matang dan berpengalaman. Mungkin karena beban pekerjaan membuatnya tampak lebih tua dan lelah. Dia juga digambarkan hadir dengan pakaian yang tidak pas. Badannya kelihatan kurus karena harus dirawat di rumah sakit selama dua pekan . Dia mengalami cidera lutut.
Sebaliknya Kennedy dikenal sebagai seorang senator flamboyan. Dia digilai banyak wanita. Penampilannya sangat percaya diri. Berpakaian serasi, tubuh bugar dengan kulit kecoklatan karena banyak berolahraga dan terbakar matahari. Plus senyum yang menawan.
Sejumlah jajak pendapat menyimpulkan, ketika 70 juta pemilih AS mendengarkan debat melalui radio, mereka mengunggulkan Nixon. Sebagai incumbent penguasaannya atas materi yang berkaitan dengan pemerintahan sangat mantap.
Situasinya menjadi berbalik ketika mereka menonton melalui televisi. Kennedy jauh lebih diunggulkan. Pemirsa tersihir dengan penampilan Kennedy. Penguasaan materi tapi disampaikan oleh wajah lelah Nixon mengakibatkan publik mengalihkan dukungan kepada Kennedy.
Kennedy memenangkan pilpres. Saat itu dia tercatat sebagai Presiden AS termuda sepanjang sejarah. Sihir kamera yang dikenal dengan istilah “ camera is a magic” bekerja dengan sempurna.
Pertemuan Ma’ruf dengan Sandi settingnya nyaris persis sama. Hanya bedanya itu merupakan perdebatan antar-capres.
Para pendukung Jokowi menilai Ma’ruf menang debat karena penampilannya, terutama dalam menyampaikan visi dan misi, jauh melampaui harapan.
Diam-diam ada semacam kekhawatiran yang besar terhadap Ma’ruf. Pada debat pertama antar-paslon, Ma’ruf kelihatan demam panggung. Jokowi main aman. Dia tidak memberi banyak kesempatan Ma’ruf bicara. Jokowi tadi malam juga sempat hadir sebentar untuk memastikan semuanya berjalan baik.
Penampilan Ma’ruf tadi malam cukup meyakinkan. Sebagai da’i berpengalaman, dia tampil percaya diri. Seperti diperkirakan dia juga sempat menyerang kubu paslon 02.
Pada saat penyampaian pernyataan penutup Ma’ruf dengan gagah bersumpah akan memerangi fitnah dan hoax. Dua isu ini menjadi senjata andalan kubu paslon 01 untuk menyerang kubu paslon 02.
Sayangnya seperti Nixon, casing Ma’ruf tidak mendukung. Usia Ma’ruf bahkan jauh lebih tua dari Nixon. Dia berusia 76 Tahun pada 11 Maret lalu. Sandi pada saat debat dimulai, sempat menyampaikan selamat ulang tahun. Sebuah serangan halus untuk mengingatkan publik, bahwa Ma’ruf sudah tua.
Tanpa diingatkan sesungguhnya publik juga sudah bisa melihat sendiri. Wajah Ma’ruf terlihat lelah. Jalannya tertatih. Seorang pemirsa ada yang sempat meng-capture jas yang dikenakan posisinya tidak simetris. Panjang sebelah.
Bagi yang cermat juga pasti sempat memperhatikan. Format panggung kali ini berbeda dengan dua debat sebelumnya. Di setiap jeda, kandidat bisa duduk. Disediakan sebuah kursi. Tidak seperti debat sebelumnya, paslon berdiri sepanjang perdebatan.
Format kali ini tampaknya disediakan untuk mengakomodir kesehatan Ma’ruf. Seperti Nixon, Ma’ruf mengalami cidera di kakinya akibat terjatuh. Ada yang menyebut dia terjatuh di kamar mandi. Ma’ruf bahkan harus beristirahat dan dilarang bepergian hampir dua bulan. Jauh lebih lama dibanding Nixon.
Secara kebetulan pula penampilan Sandi mengingatkan publik pada Kennedy. Dengan usia sedikit lebih tua, tampilan Sandi juga flamboyan. Dia juga digilai oleh emak-emak. Dalam setiap kunjungannya ke berbagai daerah banyak emak-emak muda (makmud) yang termehek-mehek ketika bertemu Sandi.
Tubuhnya sangat bugar. Setiap hari dia berolahraga lari minimal sejauh 10 km. Sebelum debat pada pagi harinya dia masih sempat berlari dan main basket bersama Agus Harimurti Yudhoyono. Dua ikon anak muda.
Di medsos ada yang menggambarkan perdebatan ini antara “Manula versus Milenial. Masa lalu versus Masa Depan.”
Secara konten, sebagai penantang Sandi juga sangat bagus. Walau hanya singkat, dia sempat punya pengalaman di pemerintahan sebagai Wagub DKI.
Dengan gambaran seperti itu benarkah klaim pendukung Ma’ruf bahwa jagoannya memenangkan debat?
Lebih dari 100 juta pemilih yang tadi malam menonton debat melalui televisi yang menilai dan menentukan. Debat antara Kyai Ma’ruf Amin Vs Sandiaga Uno akan menjadi catatan sejarah, seberapa besar televisi mempengaruhi pemilih.
Debat antara Nixon Vs Kennedy sudah membuktikannya. Penampilan yang muda, bugar, dan tampan mengalahkan figur yang berpengalaman, tapi tampak tua dan lelah.
Apakah pengaruhnya juga tetap sama? Apakah sihir kamera kembali bekerja secara sempurna? end
Sumber: hersubenoarief.com