Penulis: Makmun Rasyid
READ.ID – Marhaban Ya Ramadan. Seluruh umat Islam di Indonesia telah memulai ibadah puasa di bulan Ramadan. Sebuah anugerah terindah bagi orang yang beriman. Dalam sejarah peradaban dunia, puasa adalah ritual klasik yang terjadi pada semua agama wahyu. “Sebagaimana yang diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu” (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Puasa menjadi kebutuhan setiap manusia dan bentuk kesetaraan ruhani yang menjadi penekanan syariat Islam.
Tabiat manusia yang menyukai hal-hal berlebihan membuat puasa menjadi penting, guna membentuk hidup penuh keseimbangan; kebutuhan ruhani dan jasmani. Dari sudut semantik, lafaz “shiyâm” yang dipakai al-Qur’an untuk puasa, asalnya mengandung arti bertahan atau menahan diri, dari kata kerja refleksif “shâma-yashûmu”. Penggunaan kata ini mengindikasikan adanya pengalaman dalam puasa untuk dibawa dan dihasilkan oleh tindakan, khususnya di luar Ramadan.
Dari “shiyâm” ini, manusia diajak aktif; menalar, merenung, membedah, memperlengkapi dirinya, dan Allah mengajak: kembalilah kepada dirimu sejati. Renungkan secara keseluruhan atau dalam keadaan lain, di mana, bagaimana, engkau sampai melihat sesuatu dengan benar. Pembentukan ruhani untuk menyadarkan diri akan adanya sesuatu yang hidup tapi mati dan yang mati tapi hidup. Al-Qur’an melukiskan bahwa apa yang kita anggap mati, seperti tanah menurut-Nya hidup (Qs. Al-Rûm [30]: 50). Dan manusia yang hidup, tapi mati; mereka adalah orang-orang yang tidak mengfungsikan seperangkat ciptaan Allah sesuai yang diharapkan-Nya.
Puasa yang bersifat samdaniyyah (sifat khusus yang hanya menjadi milik Allah) tidak sekedar penguat lambung, penyucian darah, perawatan ‘mesin’ dan meningkatkan daya tahan tubuh, tapi mengantarkan seseorang pada kesadaran sosial. Dari kesalihan pribadi menuju kesalihan sosial. Menuju kesalihan sosial ini, Fakhurddin Al-Razi menganjurkan untuk membuat perut lembek, dimana perut yang lembek (tipis) mengisyaratkan sehatnya akal pikiran. Sehatnya akal pikiran dipengaruhi oleh sehatnya hati dari noda hitam, yang diakibatkan dari laku sehari-hari; yang jauh dari Allah.
Kesadaran yang diaktifkan dari berpuasa adalah keniscayaan manusia menjadi “murîd” (yang menghendaki Allah) dan menjadi salik yang rindu akan kehadiran-Nya. Ibnu ‘Athaillah dalam Al-Hikamnya menyebut, orang yang dekat dengan Allah adalah “murâd” (yang dikehendaki Allah) dan “murîd” (yang menghendaki Allah). Tingkatan “murâd” ini akan dicapai kala hati bersih dari sifat keduniaan dan alam semesta. Penghalang-penghalang itu akan diruntuhkan saat puasa, tapi dengan syarat: puasa bukan formalitas belaka.
Karenanya, seseorang tidak dikehendaki hanya menjadikan Ramadan sebagai rutinitas tahunan. Puasa yang dianggap membuat badan menderita karena menahan lapar dan dahaga, sejatinya secara lahiriyah ia menyinari hati dan membersihkan jiwa. Tepat kiranya sindiran para sufi, “dulu pada zaman permulaan Islam, Muslim makan untuk hidup. Tapi kini, banyak orang Islam hidup untuk makan”.
Perbedaan orientasi dulu dan kini itu membuat pemeluk Islam mundur dimana-mana. Orientasi ini tampak jelas dari redaksi wa jâhadû bi-amwâlihin wa anfusihim fî sabîlillâh (berjihadlah kamu dengan hartamu dan jiwamu pada jalan Allah) menjadi wa jâhadû li-amwâlihin wa anfusihim fî sabîlillâh (berjihadlah kamu dengan hartanya dan jiwanya pada jalan Allah).
Sindiran populer di kalangan sufi di atas menggunakan kata Muslim, bukan Mukmin. Ya, itu sebabnya panggilan Allah dalam ayat yang mewajibkan puasa dengan “âmanû” (orang-orang beriman) dan ditutup dengan “la-allakum tattaqûn” (supaya kamu bertakwa). Pembuka dan penutup itu sebagai bentuk kekhususan dalam Islam. Maka dalam banyak tulisan, kita familiar membaca pernyataan, “Hendaklah kamu berpuasa, karena tidak ada yang serupa dengannya”.
Sebelum seorang menginginkan takwa, dia harus berubah dari sekedar Muslim menjadi Mukmin. Tidak semua dari Mukmin menggapai derajat takwa. Untuk kesana, seseorang perlu melepaskan kemelakatan duniawi dalam diri. Dunia dibutuhkan tapi hidup bukan untuk hal duniawiyah semata. Disinilah puasa diibaratkan dengan “tiryâq”, penawar bagi racun-racun setan atau semacam “detoksifikasi spiritual”. Dengan puasa, kita akan menekan naluri kebinatangan (al-Bahimiyyah) yang mungkin selama ini menguasai diri. Puasa akan melumpuhkan naluri-naluri binatang, yang sebelumnya bebas tanpa pengaturan sama sekali oleh diri kita.
Naluri kebinatangan menjadi sebab hilangnya kesadaran manusia sebagai mahluk ibadah dan khalifah terbaik di muka bumi. Dunia dihinggapi orang-orang pintar dan cerdas, tapi sedikit sekali orang-orang yang benar dan bertanggung jawab. Untuk sampai pada aspek tanggung jawab, manusia dilatih untuk mempertanggung jawabkan kesekapatan ruh(nya) dengan Allah sebelum masuk ke jasad; beribadah setiap saat pada-Nya. Dan tanggung jawab bagian dari ibadah tertinggi dalam sebuah perbuatan manusia.
Perbuatan berupa ibadah puasa hanya akan terasa berat bagi mereka yang imannya lemah dan yang jiwanya masih dilumuri bercak-bercak hitam. Mereka inilah dirayu langsung oleh Allah dengan pernyataan “puasa adalah milik-Ku, bukan milikmu!”. Maksudnya, Tuhan lah yang seharusnya tidak makan dan minum (sebagaimana yang kamu rasakan dalam Ramadan). Dan jika (ber)puasa adalah seperti itu dan membuat seseorang memasukinya sebab Tuhan mensyariatkannya, maka Tuhan sendiri yang akan memberikan imbalannya.
Rayuan itu sebagai bentuk kasih-Nya, agar manusia tidak terlena dalam pergumulan dunia yang menyilaukan, menyibukkan dan menghilangkan kesadaran diri. Ragam pengabaian itu terus diingatkan Allah, sebab manusia memiliki sifat pelupa atau kerap melupakan hal-hal wajib. Manusia kerap ingkar pada-Nya, tapi Dia tetap pemurah lagi pemaaf. Semoga maghfirah-Nya menyertai kita semua.**