READ.ID – Masyarakat di Desa Tawabi, Bacan Barat, Halmahera Selatan, Maluku Utara, harus sangat cermat dalam memanfaatkan air.
Bagi mereka, air adalah barang mewah karena untuk mendapatkannya mereka harus menyeberang pulau dengan perahu ketinting dan mesti menunggu keberuntungan karena belum tentu sumber airnya sudah terisi.
Mereka mendapatkan akses air bersih dari sumur-sumur galian di dekat bibir pantai. Mungkin juga bukan sumur, melainkan hanya berupa galian dengan kedalaman satu atau dua meter saja untuk mendapatkan air tawar.
Terdapat enam galian yang pernah dimanfaatkan oleh masyarakat Tawabi. Kini, hanya tersisa dua yang masih bisa terpakai. Dua lagi sudah mati, sedang yang dua berikutnya masih berisi air, namun rasanya payau atau bahkan masih asin. Kedua sumber air tawar yang masih aktif itu dimanfaatkan oleh sekitar 130 rumah.
Kondisi sulit untuk mendapatkan air tawar itu, bahkan sudah terjadi sejak sebelum Indonesia merdeka. Ironisnya, masyarakat di Desa Tawabi bukan satu-satunya, sebab masih banyak masyarakat di pulau-pulau kecil lain yang mengalami hal serupa, bahkan lebih parah.
Ada yang harus berperahu hingga dua jam untuk mendapatkan akses air bersih. Sementara di saat yang sama, masyarakat di wilayah lain yang makmur air bersih justru boros air karena belum memiliki kesadaran yang tinggi akan keberlanjutan air bagi kehidupan.
Padahal sebagai sumber kehidupan, kesetaraan atas air sama halnya dengan kesempatan yang sama bagi manusia untuk menghirup udara untuk hidup. Air bisa dibilang bagian dari hak asasi manusia yang harus disetarakan.
Oleh karena itu, High Level Panel 12 World Water Forum ke-10 di Bali membahas topik “Integrated Water Resources Management on Small Islands” di Bali International Convention Center, Nusa Dua, Kabupaten Badung,untuk menyadarkan pentingnya komitmen atas kesetaraan air.
Forum ini layak diapresiasi atas inisiatifnya untuk mengingat mereka yang tinggal di pulau-pulau kecil (small islands) yang tersebar di seluruh dunia dan sama-sama punya hak mendapatkan akses atau fasilitas air bersih.
Meningkatkan akses
Menjadi sangat menarik kala Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dalam sambutannya mengatakan bahwa sebagian besar negara kepulauan kecil memiliki permasalahan yang sama, seperti keterbatasan sumber daya, urbanisasi, pertanian, keterpencilan, kerentanan terhadap bencana alam karena pusat ekonomi dekat garis pantai, dan lingkungan alam yang rentan.
Bagi negara-negara kepulauan kecil yang sedang berkembang, tantangan-tantangan ini semakin diperburuk oleh kurangnya sumber daya keuangan dan kapasitas teknis, sehingga mengganggu implementasi rencana ketahanan iklim.
Lebih lanjut untuk mengatasi berbagai permasalahan terkait air, maka memang kemudian sangat penting untuk membangun dan memfasilitasi pemahaman berbasis pengetahuan mengenai dampak perubahan iklim terhadap negara-negara kepulauan kecil, pulau-pulau kecil, dan negara bagian.
Pertemuan High Level Panel ini pun diharapkan dapat memberikan kerangka kerja sama dalam mendorong dan menerapkan pengelolaan sumber daya air terintegrasi di pulau-pulau kecil.
Maka di forum yang sama, Wakil Menteri Luar Negeri RI Pahala Mansury menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan akses air bersih secara merata di seluruh pulau, termasuk di pulau-pulau kecil.
Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci tercapainya tujuan aksesibilitas air bersih di pulau-pulau kecil.
Melalui World Water Forum ke-10 ini, Pemerintah Indonesia dan perwakilan delegasi dari negara yang hadir memang terlihat mempunyai komitmen yang kuat dalam mendorong pemerataan akses air bersih untuk pulau kecil.
Praktik baik
Chief Financial Officer of the Water and Energy Company the Island of Bonaire, Joanne Balentien, berbagi pengalaman tentang Bonaire yang merupakan negara kepulauan yang sangat peduli terhadap akses air bersih.
Pemerintah Bonaire sendiri memastikan pemasangan pipa merata agar penduduk yang tinggal merasa aman dan bebas memakai dan mengonsumsi air bersih.
Di Bonaire mereka memiliki akses air minum yang dimurnikan dari air laut yang mengelilingi pulau tempat mereka tinggal.
Mereka juga mengembangkan instalasi pengelolaan limbah yang mendaur ulang air kotor yang mereka gunakan dari air saluran pembuangan limbah rumah tangga.
Praktik baik pengelolaan air di pulau-pulau kecil memang sudah saatnya digemakan agar lebih banyak masyarakat yang tinggal di pulau-pulau terpencil itu tersuarakan.
Sebab ada dari mereka yang memiliki keberuntungan yang baik ketika akses terhadap air mulai terbuka, namun ada begitu banyak yang hidup dalam keprihatinan selama puluhan tahun dan menganggap kesulitan dan krisis air sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Kondisi ini akan berakibat bagi semakin rendahnya kualitas hidup dan kesejahteraan yang jauh panggang dari api bagi mereka.
Maka kemudian kehadiran World Water Forum ke-10 diharapkan memberikan langkah nyata pada keberlangsungan sumber daya air di pulau kecil.
World Water Forum ke-10 ini juga menjadi sarana bersinergi di mana negara-negara yang hadir bisa saling bertukar pengalaman dan wawasan terkait air.
Forum ini menjadi amat penting bagi Indonesia. Terlebih, Indonesia sebagai negara kepulauan sangat mengandalkan pemanfaatan air untuk kehidupan sehari-hari dan menjadi salah satu cadangan air bersih yang melimpah di dunia.
Maka ini saatnya untuk mengumpulkan daya dan upaya menjadi sebuah komitmen bersama untuk menyetarakan akses terhadap air bagi semua.
Melalui World Water Forum ke-10 peluang mengarusutamakan mereka yang krisis air selama puluhan tahun di pulau-pulau kecil pun semakin terbuka.
Setidaknya dunia terjeda sejenak, ketika masyarakat di belahan dunia lain menikmati air bersih yang melimpah, ada begitu banyak dari mereka yang masih harus berjuang mengisi jeriken-jeriken dari tetesan sumber air yang mulai mengering dan harus berbagi dengan sesamanya.
Dengarkan suara mereka yang tinggal di pulau-pulau terpencil yang juga memiliki hak yang sama atas air untuk kualitas hidup dan kesejahteraan sebagai makhluk.(ANTARA/READ.ID)