Oleh : Novaliansyah Abdussamad
Dalam dunia politik, publik selalu akan diperlihatkan fenomena politisi “kutu loncat” atau pindah partai, apalagi dalam menghadapi pemilu.
Sebuah keniscayaan jika hari ini publik melihat politisi partai “A” kemudian berpindah ke partai “B”,Segudang pertanyaan dan analisa mengisi relung hati dan pikiran publik dalam mencari jawaban sesungguhnya, tak ada yang salah dan perlu diperdebatkan secara mendalam.
Publik hanya perlu berharap bahwa politisi “kutu loncat” ini tetap on the track dalam memperjuangkan kepentingan mereka meskipun telah berpindah partai.
Namun, bagaimana dengan politisi “kutu loncat” yang hanya mencari dan memperjuangkan kepentingan pribadi atau golongan ?
Motif utama mereka hanya memikirkan cara merebut kekuasaan dan mengabaikan segala kebaikan-kebaikan yang tersedia dalam dunia politik. Mereka pindah partai hanya karena tidak mendapatkan kekuasaan dan “sebongkah” materi .
Kebanyakan dari mereka menjadikan kekuasaan dan materi sebagai alasan utama berpindah partai, bahkan diantara mereka kehilangan dan putus urat “malu” saat memamerkan “sebongkah” materi yang didapatkan saat berpindah partai meski kekuasaan yang diinginkan belum mereka dapatkan.
Hal ini juga tidak perlu diperdebatkan secara mendalam, karena fenomena dan perilaku politisi “kutu loncat” ini adalah sebuah keniscayaan dalam dunia politik.
Melihat dan menghadapi hal semacam ini publik hanya diharapkanagar berdoa supaya mereka diberikan hidayah dan kembali ke “jalan lurus”, jalan perjuangan kepentingan rakyat dan kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat bukan pribadi dan golongan.
Padahal, banyak dari politisi “kutu loncat” adalah orang-orang yang sudah dikenal publik bahkan pernah menduduki jabatan politik, ada juga yang selalu “sial’ tak pernah menang dan merasakan kekuasaan atau jabatan politik.
Setidaknya, ada dua tipe karakter dasar “politisi kutu” loncat ini, pertama, politisi “kutu loncat” yang pernah menduduki jabatan politik. Orientasi politisi tipe pertama ini cenderung mengutamakan kekuasaan diatas segalanya.
Politisi model ini banyak dijumpai khususnya dalam partai politik yang baru mencoba meraih kekuasaan. Partai politik yang sedang berusaha merangkak naik pada umumnya mencari figur atau tokoh “bekas” dari partai politik lain untuk mendongkrak popularitas maupun elektabilitas partai.
Proses kaderisasi internal partai menjadi nomor sekian, yang terpenting bagi partai, sebatas mendapatkan keuntungan elektoral dari “politisi bekas”.
Padahal, proses kaderisasi dalam partai politik merupakan syarat utama jika partai ingin bertahan dan tetap berada pada jalur ideologinya. Keberadaan “politisi bekas” justru akan merusak partai dari dalam.
Sebab partai politik penerima “politisi bekas” ini cenderung tidak memperdulikan rekam jejak (track record) “politisi bekas” sehingga dirinya mundur dari partai politik sebelumnya atau bahkan mencari tau alasan “politisi bekas” dipecat dan tak digunakan lagi oleh partai yang telah membesarkan namanya.
Satu hal juga perlu dicatat oleh partai penerima “politisi bekas” adalah soal watak dan loyalitas atau kesetiaan “politisi bekas” yang rendah karena mudah berpaling dan “berselingkuh” dengan partai politik lain. Tak menutup kemungkinan jika mereka tidak mendapatkan kekuasaan, “politisi bekas” ini dengan mudah berpaling ke partai politik lain manakala mendapat tawaran menggiurkan.
Partai politik penerima “politisi bekas” harus menanggung beban politik ke depan, pertama soal track record dan tingkat kesetiaan, inilah beban partai politik penerima “politisi bekas”.
Watak mereka sulit diubah dengan gagasan ataupun ide-ide besar. Tengoklah saat ini. Menjelang pemilu 2019, ada partai politik secara ikhlas dan terpaksa menerima serta menampung para “politisi bekas” dengan dalih mendongkrak suara partai.
Proses rekrutmen politik partai penerima “politisi bekas” cenderung pragmatis, dan tidak ideologis. Standar diterapkan partai jauh dari kelaziman dan proses sistemik atau kelembagaan partai. Hasilnya sudah bisa ditebak, kepentingan sesaat dan jangka pendek.
Kedua, “politisi bekas” tak pernah menang dan merasakan kekuasaan. Politisi tipe ini tak jauh berbeda dengan politisi tipe pertama.
Perbedaan “politisi bekas” hanya mencari “sebongkah” materi, menghamba, memuja, memuji serta menyerang lawan politik meski lawan politiknya adalah pimpinan, sahabat lama di partai sebelum “politisi bekas” berpaling dan pindah ke partai lain.
Dengan pekerjaan sederhana itu, mereka berharap mendapatkan “bayaran” dari hasil menghamba, memuja, memuji, nilai bayaran bisa lebih mahal jika “politisi bekas” berani “menyerang” lawan politiknya secara terbuka.
Hampir tidak ada hal positif dan bermanfaat didapatkan oleh partai politik penampung para “politisi bekas” ini. Partai politik kehilangan citra positif dimata publik karena perilaku buruk “politisi bekas”, menyerang tanpa ilmu dan data.
Partai politik harus ‘diimunisasi’ agar terhindar dan dijauhkan dari “politisi bekas” tipe kedua ini. Partai politik yang menampung “bekas” kader partai lain untuk masuk dalam jajaran kepengurusan dan daftar calon anggota legislatif pada pemilu 2019, tidak bisa diharapkan publik dari segi pemikiran dan gagasan substantif.
Karena tanpa proses rekrutmen jelas dan kaderisasi internal partai, kepada mereka para “politisi bekas” publik tidak akan mendapatkan ide-ide dan gagasan-gagasan cemerlang dalam rangka pembangunan dan kemajuan bangsa.
Yang ada, justru hanya fitnah dan hoax dilatarbelakangi oleh perasaan sakit dan dendam terhadap partai politik lainnya.
Paling berbahaya, jika partai politik penampung “politisi bekas” sedang berkuasa, kekuasaannya akan dimanfaatkan untuk “membunuh” lawan-lawan politik, menyandera politisi lain yang sedang berkuasa hanya untuk menyalurkan hasrat dan “birahi” politik mereka.
Publik tidak perlu dicemaskan oleh partai politik penampung “politisi bekas”, masih banyak partai politik yang menjalankan fungsi mereka sesungguhnya, baik fungsi rekrutmen dan kaderisasi.
Partai politik itu semestinya mendapatkan tempat di hati publik karena kesungguhan dan
pertanggungjawaban mereka dengan melahirkan politisi ideologis dan memiliki integritas tinggi.
Masyarakat harus paham bahwa pemilu adalah sarana untuk memilih partai dan politisi yang memiliki kesetiaan pada kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau golongan.
Tidak sulit untuk menentukan partai dan politisi yang bersedia berjuang demi kepentingan rakyat, lihatlah
partai politik yang memiliki dedikasi bagi pembangunan dan kemajuan rakyat, serta politisi yang loyal terhadap partai politik.Terakhir, ditengah kultur demokrasi kita yang masih labil, akal sehat dan adab dalam berpolitik lebih diutamakan baik bagi partai politik maupun politisi.
Para politisi yang ditawarkan oleh partai politik kepada masyarakat untuk dipilih, harusnya kader partai yang telah dibesarkan dengan cara-cara elegan, agar saat akan “dijual” kepada rakyat dalam pemilu mereka yang pintar dan memiliki adab.
Sebab akal sehat dan adab dalam politik tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Politik tidak hanya kekuasaan, politik itu juga merupakan kesantunan, budi pekerti, mengedepankan akal sehat (sukmajati, 2016).***