READ.ID – Direktur The Gorontalo Institute Funco Tanipu menduga jika tingginya angka partisipasi pada Pemilu 2019 bisa jadi diakibatkan karena tingginya jumlah pemilih milenial di Gorontalo.
“KPU boleh-boleh saja mengklaim jika angka partisipasi pemilih sangat tinggi, karana sosialisasi tahapan pemilu,” kata Funco Tanipu, yang juga dosen Sosiolog.
Jika kita melihat jumlah pemilih pada Pemilu presiden tahun 2014 ada sekitar 803,465 pemilih sementara yang menggunakan hak pilih 603,448, artinya ada sekitar 200,017 yang golput atau tidak menggunakan hak pilih.
[penci_related_posts dis_pview=”yes” dis_pdate=”no” title=”Berita Terkait Lainnya” background=”” border=”” thumbright=”yes” number=”4″ style=”grid” align=”left” withids=”” displayby=”recent_posts” orderby=”date”]
Sekarang kita bergeser pada Pemilihan Kepala Daerah tahun 2017, ada 801,799 pemilih dan yang menggunakan hak pilihnya sekitar 652,164 orang, itu artinya ada sekitar 149,635 orang yang golput.
“Tahun 2019 ini, tercatat sekitar 835,736 pemilih, dan yang menggunakan hak pilih 723,080 artinya ada sekitar 112,656 orang yang golput,” urainya.
Sekarang lihatlah upaya menurunkan angka golput dari tiga kali pemilihan ini, Golput pada Pilpres 2014 ada 200,017 orang, Golput Pilgub 2017 ada sekitar 149,635 orang, jika dikurangkan selisih sekitar 50,382 orang yang berhasil ditekan.
Selanjutnya Golput pada Pilgub 2017 ada 149,635 orang, Golput pada Pemilu 2019 ada sekitar 112,656 orang, artinya selisih yang berhasil ditekan ada sekitar 36,979 orang yang masih golput.
“Pertanyaanya sederhana, coba dilihat jumlah kelulusan SMA/SMK dua tahun terakhir, yaitu sejak Pilgub 2017 sampai Pemilu 2019,” jelasnya.
Berdasarkan data peserta Ujian Nasional tahun 2017 ada sekitar 16,000 siswa yang mengikuti ujian, kita ambil rata-rata 15,000 saja, begitu juga tahun 2018 sampai 2019. Artinya ada sekitar 45,000 orang pemilih baru.
“Mari kita hilangkan 10,000 orang pemilih baru ini, yang bisa saja dia pindah kuliah atau bekerja ke luar daerah, maka masih ada sekitar 35,000 orang,” urainya.
Jika melihat jumlah selisih menekan angka Golput antara Pilgub 2017 dan Pemilu 2019 mengalami penurunan sekitar 36,979 orang, sementara pertumbuhan pemilih baru sekitar 35,000 orang.
Hal yang tidak mungkin 35,000 orang yang berhasil ditekan untuk tidak golput kesemuanya ada pemilih yang baru lulus sekolah, artinya ada penduduk Gorontalo yang memang tidak mau menggunakan hak pilihnya pada setiap pemilu.
“Bisa saja pada jumlah DPT tahun 2019 ini ada pemilih milenial yang belum masuk di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), maka akan semakin tinggi orang yang tidak menggunakan hak pilihnya,” tegasnya.
Ini baru dilihat dari satu indikator yaitu jumlah rata-rata ketambahan pemilih, belum lagi diukur dari indikator pengaruh money politik sehingga orang menggunakan hak pilihnya.
“Atau bisa saja tinggi partisipasi pemilih karena ada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, bukan karena terbangun dari kesadaran demokrasi,” tutupnya.