READ-ID– Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum juga menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi di dalam negeri. Padahal, harga minyak dunia ‘terjun bebas’ sejak beberapa bulan silam, bahkan sampai ke titik terbawah dalam beberapa dekade.
“Bahkan Komisi VII DPR RI yang membidangi Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah beberapa kali Rapat Kerja (Raker) dengan Pemerintah terkait perlunya penurunnan harga BBM dalam negeri,” ungkap anggota Komisi VII DPR RI, Dr H Mulyanto M.Eng dalam keterangan tertulis melalu WhatsApp (WA) kepada Read.id, Jumat (29/5) malam.
Setelah lebih dari tiga pekan Raker terakhir dengan Pemerintah, ungkap legislator Dapil III Provinsi Banten tersebut, kesimpulan Raker tentang perlunya dilakukan penyesuaian harga jual BBM non-subsidi Pemerintahan Jokowi belum juga melakukan penyesuaian harga.
Harga jual BBM non-subsidi di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di dalam negeri masih berdasarkan harga lama. BBM jenis Pertalite dijual Rp 7.650/liter, Pertamax Rp Rp 9.000/liter, Pertamax Turbo Rp 9.850/liter, Dexlite Rp 9.500 dan Pertamina DEX Rp 10.200/liter.
“Saya nilai, Pemerintahan Jokowi telah mengabaikan isi kesimpulan Raker yang dibuat awal Mei lalu. Padahal kesimpulan Raker yang ditandatangani Sugeng Suparwoto (Komisi VII DPR RI) dan Menteri ESDM, Arifin Tasrif dari pihak Pemerintah mencantumkan secara tegas tentang perlunya dilakukan penyesuaian harga jual BBM,” kata Mulyanto.
Kesimpulan Raker terakhir, lanjut Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ada lima poin, salah satunya mendesak Menteri ESDM RI secepatnya memberikan penjelasan secara terbuka dan masif terkait harga BBM sebagaimana diamanahkan pada Peraturan Presiden No: 191/2014 di saat rendahnya harga minyak mentah di dunia.
Selain itu, Komisi VII DPR RI mendesak Menteri ESDM RI melakukan penyesuaian harga BBM dengan merevisi Kepmen ESDM No: 62/2020 tentang formula harga dasar dalam perhitungan harga jual eceran jenis bahan bakar minyak umum jenis bensin dan minyak solar yang disalurkan melalui SPBU dan/atau stasiun pengisian bahan bakar nelayan.
“Namun, sampai saat ini permintaan Komisi VII DPR RI itu belum dilajalankan. Pemerintah jelas mengabaikan kesimpulan Raker dengan DPR RI. Sikap ini jelas bertentangan dengan UU dan mengabaikan fungsi pengawasan DPR.
Untuk itu, kami dari Fraksi PKS bakal menggalang dukungan dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) BBM. Agar masyarakat tahu apa yang sebenarnya terjadi sehingga harga BBM belum diturunkan hingga saat ini,” tegas dia.
Pansus BBM ini, jelas Mulyanto, sangat penting dibentuk sebagai wujud kesungguhan DPR RI menindaklanjuti aspirasi rakyat terkait harga BBM. Melalui Pansus ini DPR dapat menanyakan secara rinci dan komprehensif berbagai persoalan yang menyebabkan harga BBM belum diturunkan.
Mulyanto menyebut, ada hal tertentu yang perlu dikonfirmasi secara resmi oleh DPR. Apalagi sebelumnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mensinyalir ada praktek oligopoli atau kartel harga BBM yang melibatkan beberapa perusahaan migas.
“Dugaan ini harus ditelusuri secara serius agar rakyat dapat memperoleh haknya dan Pemerintah dapat menjalankan fungsinya.
Pemerintah jangan ambil untung dari rakyat yang saat ini sedang kesulitan menghadapi situasi darurat pandemi Covid 19,” kata dia.
Dikatakan, sebagai wakil rakyat, DPR RI perlu mengetahui apa yang membuat Pemerintah beberapa bulan terakhir tidak mau menurunkan harga BBM. Padahal negara ASEAN lain sudah menurunkan harga BBM berkali-kali.
Jika memang ada campur tangan mafia migas, DPR RI harus segera bertindak dengan membuat Pansus. “Pansus adalah sarana yang konstitusional untuk mengkonfirmasi dugaan-dugaan itu,” kata Mulyanto.
Wakil Ketua Fraksi PKS bidang Industri dan Pembangunan ini mengatakan, Pemerintah harus terbuka menjelaskan keberadaan pihak-pihak yang menyebabkan tata kelola BBM ini berantakan.
“Jangan sampai rakyat mempunyai persepsi kurang baik terhadap Pemerintah yang seperti memaksa rakyat bersedekah dan mensubsidi operasional Pertamina. Tindakan ini sangat tidak pantas mengingat marjin keuntungan selisih harga jual BBM ini triliunan rupiah perbulan,” demikian Dr H Mulyanto M.Eng.
(Akhir Tanjung)