READ.ID,- Pagi masih muda ketika permukaan laut di pesisir Desa Botubarani, Kabupaten Bone Bolango, tiba-tiba bergolak. Dari kejauhan, tubuh-tubuh raksasa itu muncul satu per satu: pertama dua, lalu empat, dan akhirnya genap enam ekor Hiu Paus (Rhincodon typus) melintas perlahan di perairan yang tenang. Para nelayan yang baru kembali dari laut terbelalak. “Belum pernah saya lihat sebanyak ini sekaligus,” kata Daeng Udin, pemandu wisata lokal, kepada READ, Minggu, 25 Mei 2025.
Enam Hiu Paus muncul serempak di satu lokasi, satu fenomena yang belum pernah tercatat sebelumnya sejak Botubarani menjadi rumah bagi spesies raksasa ramah ini hampir satu dekade terakhir. Biasanya hanya satu hingga tiga ekor yang terlihat sehari. Tapi dua bulan terakhir, jumlah kemunculan mereka meningkat drastis, hingga rata-rata lima ekor per hari.
Bagi pengelola wisata minat khusus Hiu Paus, lonjakan ini adalah lebih dari sekadar atraksi alam. Ia menjadi penanda: ekosistem laut Teluk Gorontalo tampaknya berada di jalur yang benar. “Ini rekor baru dan bukti bahwa kawasan konservasi benar-benar bekerja,” ujar Plt. Kepala Bidang Pengelolaan Ruang Laut dan Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PRL&PSDKP) Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Gorontalo, dalam wawancara terpisah.
Sejak ditetapkan sebagai bagian dari Kawasan Konservasi Perairan Teluk Gorontalo lewat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 127 Tahun 2023, kawasan ini menjadi ladang praktik konservasi berbasis kolaborasi. Pemerintah provinsi, masyarakat nelayan, pengelola wisata, hingga LSM lingkungan berbagi peran dalam menjaga keberlangsungan hidup biota laut, terutama sang bintang utama: Hiu Paus.
Hiu Paus adalah spesies ikan terbesar di dunia. Meskipun ukurannya menggentarkan—bisa mencapai 12 meter panjangnya mereka adalah pemakan plankton yang jinak terhadap manusia. “Tapi interaksi dengan manusia tetap harus diatur,” kata Nur Hamzah, koordinator Satuan Unit Organisasi Pengelola (SUOP) kawasan konservasi. Mereka secara rutin menggelar sosialisasi kepada operator wisata tentang tata cara yang benar: tidak menyentuh, tidak memberi makan sembarangan, dan menjaga jarak aman.
Selain itu, upaya lain seperti pemasangan papan informasi, pengawasan harian, hingga penandaan batas zona konservasi dilakukan demi menjaga keseimbangan alam. Semua itu, kata Hamzah, bukan demi pariwisata semata, tapi demi menjamin bahwa perairan Teluk Gorontalo tetap menjadi habitat aman bagi satwa laut besar yang kini kian langka di tempat lain.
Tapi tidak semua berjalan mulus. Di balik catatan positif, selalu ada tantangan. Tekanan dari pengunjung yang terus meningkat, potensi kebocoran aturan, hingga dinamika sosial ekonomi warga sekitar adalah persoalan yang terus mengintai. “Menjaga konservasi itu bukan hanya soal menjaga ikan, tapi juga menjaga manusia yang hidup di sekitarnya,” ujar seorang aktivis lingkungan dari kampus Universitas Negeri Gorontalo yang kerap turun melakukan edukasi lapangan.
Kendati demikian, dengan kemunculan enam Hiu Paus sekaligus pada hari Minggu lalu, semangat konservasi seperti mendapat suntikan energi baru. Anak-anak berlarian di dermaga kecil Botubarani, menunjuk-nunjuk ke arah permukaan air. Seorang fotografer berdiri dengan kaki separuh terendam, matanya tak lepas dari lensa.
Untuk sesaat, di sela rutinitas hidup dan geliat wisata, raksasa laut itu kembali menyapa. Diam-diam, mereka menjadi indikator paling jujur tentang apa yang terjadi di laut Gorontalo: bahwa di balik gelombang dan arus, kehidupan masih berlangsung dan layak untuk terus diperjuangkan.******