Idah Syahidah dan Seni Menyulam Kekuasaan dari Dapur ke Kantor Gubernur

Oleh Redaksi.ID

Jika kekuasaan adalah panggung, maka Idah Syahidah tahu betul kapan harus tampil dan kapan harus membiarkan sorotan lampu mengikuti geraknya. Di bulan Mei 2025, ia tidak hanya hadir sebagai Wakil Gubernur Gorontalo, tetapi juga sebagai arsitek narasi politik yang menjahit isu-isu publik menjadi selimut elektoral yang nyaman setidaknya untuk dirinya sendiri.

Bukan kebetulan jika isu perempuan, UMKM, pendidikan, hingga pelayanan kesehatan mendominasi agendanya. Ini bukan agenda negara. Ini strategi. Dan siapa pun yang sedikit akrab dengan politik lokal akan paham: tidak ada yang “kebetulan” di tengah tahun menjelang kontestasi.

Politik Dapur dan Dompet

Dalam sebulan terakhir, Idah Syahidah nyaris tidak absen dari headline media lokal. Ia menerima audiensi dari PNM, bicara soal UMKM perempuan, menyuarakan pentingnya pendidikan di Halalbihalal IPEMI, dan tentu saja: turun langsung ke rumah sakit menanggapi laporan warga.

Retorikanya sederhana: menyentuh hal-hal paling mendasar dalam kehidupan rakyat. Bahasa politiknya? Merawat relasi emosional dengan konstituen. Bahasa sosiologisnya? Ini politik reproduksi sosial, bagaimana kekuasaan direproduksi bukan melalui gebrakan elite, tetapi dari relasi-relasi kecil, personal, dan penuh simbol.

Ingat, di banyak daerah, pemilih tidak menilai lewat visi-misi. Mereka menilai lewat siapa yang “datang menjenguk saat anaknya sakit,” atau “membantu bayar modal jualan.”

Melangkah atau Menunggu?

Dalam politik lokal, “istri tokoh” adalah entitas politik tersendiri. Dan Idah bukan hanya “istri tokoh” dia adalah figur yang sudah berpengalaman di panggung legislatif dan eksekutif. Dia tahu medan, tahu cara bicara ke akar rumput, dan ini yang paling penting tahu membungkus kekuasaan dengan wajah keibuan yang hangat tapi tegas.

Dan ketika sebagian elite politik Gorontalo masih sibuk mengutuki hasil PSU, Idah justru sibuk membangun jembatan naratif ke hati rakyat. Ia tidak menggugat. Ia bergerak.

Sentuhan Lembut, Genggaman Kuat

Mengikuti jejaknya di bulan Mei saja cukup untuk melihat bahwa ia sedang menanam. Soal siapa yang akan menuai, itu urusan nanti. Tapi publik harus sadar: kekuasaan yang besar tidak selalu lahir dari panggung orasi. Kadang ia lahir dari senyuman, pelukan ibu-ibu PKK, dan dari suara kecil UMKM yang akhirnya merasa “didengar”.

Idah Syahidah mengerti itu. Maka tak heran jika ia tak terburu-buru bicara “mencalonkan diri.” Karena kadang, strategi terbaik adalah membiarkan orang-orang bertanya sendiri: “Jangan-jangan dia memang pantas jadi gubernur?”

Baca berita kami lainnya di

Exit mobile version