Opini  

Kejahatan Kemanusiaan dan Maklumat Kapolri (Bagian 2) – Oleh Hamzah Sidik

Kejahatan Kemanusiaan Kapolri

Kejahatan Kemanusiaan & Maklumat Kapolri ; Upaya Meluruskan “Mazhab Kaitologi”

(Bagian Kedua)


banner 468x60

Oleh : Hamzah Sidik (Penggemar Srimulat)

Buat Saya, tidak ada yang spesial atas 2 Maklumat yang coba di angkat DAW dalam pembukaan tulisannya tentang Memahami dan Mentaati Maklumat Kapolri. Karena pada prinsipnya kita tidak sedang berdebat apakah Maklumat di kenal atau tidak dalam sistem ketatanegaraan kita, sebab yang menjadi perdebatan saat ini adalah terkait penerapan SANKSI PIDANA dari Maklumat Kapolri tersebut.

Jadi buat saya tidak relevan dan urgen untuk membahas posisi Maklumat dalam sistem Ketatanegaraan kita, karena buat mereka mereka yang belajar Ilmu Politik, Sejarah Bangsa, maupun Ilmu Hukum, pasti tahu atau setidak tidaknya pernah mendengar yang namanya MAKLUMAT.

Sebagaimana telah Saya singgung diatas, bahwa Yang Urgen dan Relevan untuk di Diskusikan terkait Maklumat Kapolri Saat ini setidaknya ada Pada 2 Hal :

Pertama: Apakah Maklumat Kapolri a quo Mencantumkan Sanksi Pidana ?

Kedua : Seperti apa Proses Pengenaan Sanksi Pidana dari Pelaksanaan Maklumat Kapolri tersebut.

Namun Sebelum Saya Mengurai 2 hal diatas, ada Baiknya saya Memberi Sedikit Catatan dalam Tulisan DAW yang Menurut Saya terlalu “Dipaksakan” atau yang Populer di Gorontalo disebut dengan Istilah “Kaitologi”

1) DAW Menyebutkan bahwa Protokol Pencegahan Covid 19 dan Maklumat Kapolri adalah Bagian dari KETENTUAN PENYELENGGARAAN KEKARANTINAAN KESEHATAN (Tolong Tunjukan di Pasal dan Ayat Berapa dari Undang Undang / Ketentuan mana yang Menyatakan bahwa Protokol Pencegahan Covid 19 dan Maklumat Kapolri adalah Bagian dari Ketentuan Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan) ;

2) DAW menuliskan dapat di Kenakannya Pasal 359 KUHP yang Memuat Ancaman Pidana Penjara Paling Lama 5 Tahun Apabila terdapat Kesalahan (Kealpaan) yang Mengakibatkan Jatuh Korban (Meninggal) dikarenakan ada Pihak Pihak (termasuk didalamnya Gubernur Gorontalo) yang Tidak Melaksanakan Ketentuan Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.

Buat Saya ada Kekeliruan fatal dari cara berfikir DAW yang Mencoba Menarik Pasal 359 KUHP dalam Konteks ini. Kekeliruan tersebut di Karenakan 2 Hal :

Pertama: Orang yang Tidak Mematuhi Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dalam Undang Undang No 6 tahun 2018 hanya di Kenakan Ancaman Pidana Penjara Paling Lama 1 Tahun saja, koq Tiba Tiba DAW membawa bawa Pasal 359 yang ancaman Pidana nya lebih Besar dari UU Kekarantinaan Kesehatan.

Kedua: Lagi Lagi Mungkin DAW Lupa atau Tidak Tahu Sama Sekali soal Asas Hukum “Lex Specialis Derogat Legi Generalis” dimana Asas ini Mengandung Makna bahwa Aturan / Ketentuan yang Bersifat Khusus Mengenyampingkan Aturan / Ketentuan yang Bersifat Umum).

Bahkan jika Cermat, DAW bisa Membaca Kembali Pasal 63 ayat (2) Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang Jelas Jelas Menyebutkan bahwa “Jika Suatu Perbuatan Masuk dalam Suatu Aturan Pidana yang Umum, diatur pula dalam Aturan Pidana yang Khusus, maka Hanya yang Khusus itulah yang Diterapkan.”

Jadi Sekali Lagi Sangat Tidak Relevan DAW membawa bawa Pasal 359 KUHP dalam Konteks Penyelenggaraan Kesehatan.

3) Poin yang juga Sangat di Paksakan menurut Saya terdapat pada Tulisan DAW yang membuat Pertanyaan Tanya bahwa “Bagaimana Jika Anggota Kepolisian Tidak Menghentikan Pelanggaran Maklumat Kapolri ?”

Maka DAW menjawab yang pada Intinya bahwa Masyarakat Dapat Melaporkan Kegiatan Berkumpul tersebut kepada Kepolisian sebagai Bagian dari Hak yang di Jamin oleh Undang Undang dan sebagai Cara membantu Kepolisian Melakukan Penertiban dan Penegakan Hukum dan itu Relevan dengan Ketentuan dalam Pasal 26 Ayat (1) UU Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007.

Sebenarnya Jawaban dari Pertanyaan tersebut sangat Sederhana dan Tidak Perlu Berbelit-belit. Jika Anggota Kepolisian yang Berwenang saja Tidak Menghentikan atau Membubarkan Kegiatan Berkumpul itu, Maka Sangat Tidak Beralasan jika Kegiatan yang Sudah Selesai lalu Tiba Tiba di Laporkan dengan Delik Melanggar Protokol Penanganan Covid 19 dan Maklumat Kapolri.

Sama hal nya Kita yang Sudah Bubar dari Ngumpul Ngumpul Ngopi di Warkop, tiba tiba Seminggu Kemudian di Lapor ke Kepolisian dengan Alasan sewaktu Ngumpul Ngumpul Ngopi itu tidak Menjaga Jarak, Tidak Memakai Masker dan bahkan Tidak Mencuci Tangan. Jika memang itu Terjadi maka bukan Cuman Lucu tapi Sangat Keblinger.

Padahal jika yang melapor itu (AH) meminta saran ke saya, pasti saya akan menjawab untuk apa melaporkan orang yang sudah selesai berkumpul, toh Sudah tidak ada lagi konsekuensi hukumnya.

Jika Muncul pertanyaan, “Kenapa Tidak ada Konsekuensi Hukum ?” Ya Jawabannya karena PERBUATAN (Berkumpul) TELAH SELESAI (Bubar). Saya Perjelas Kembali, bahwa Maklumat Kapolri itu Menyasar ORANG BERKUMPUL YANG BANDEL ketika di Himbau alias OTP (Orang Tidak Pambadengar) bukan ORANG per ORANG yang ada di Rumah.

Maka secara Teknis, Tugas Anggota Kepolisian itu jika Menemukan Kerumunan atau Orang Berkumpul, maka Pasti lebih Awal akan melakukan Pendekatan Persuasif – Humanis Menghimbau Agar Masyarakat Membubarkan Diri, dan jika Masyarakat Bubar maka Selesai Urusan.

Sebagaimana Kita ingat Maklumat Kapolri ini Pertama Kali di Terapkan di Wilayah Provinsi Gorontalo yaitu pada Acara Resepsi Pernikahan di Gedung Al-Indah Kwandang Gorontalo Utara, disitu Terlihat Jelas ketika Resepsi Pernikahan di Bubarkan apa ada Kelanjutan Tindak Pidana nya ? begitu juga Kalau lihat Berita Berita dimana mana orang Berkumpul di Warung Warung Kopi di bubarkan tapi Tidak ada Tindak Pidananya. Bahkan sampai dengan Tulisan ini Saya buat, Saya baru Membaca 1 Kasus yang di beri Sanksi Hukum yang Melanggar Maklumat Kapolri di Riau yaitu Sanksi berupa Denda.

Orang bisa Bertanya, Kenapa hanya Denda ? Ya itu Karena Sejatinya Pemidanaan Penjara itu adalah Langkah Terakhir atau Ultimum Remedium. Apalagi kita Lihat Justru Upaya yang Sementara di Tempuh Pemerintah Pusat (Kemenkumham) saat ini adalah Mengharapkan agar Penegak Hukum (Criminal Justice System) Bukan Memasukan Orang kedalam Penjara, Sebab Kemenkumham saat ini sedang Berupaya untuk Mengeluarkan Napi dari Lapas Lapas di Karenakan Sangat Rentan Terpapar Covid 19.

Selain hal tersebut di atas, Upaya DAW Mengikutsertakan Pasal 26 Ayat (1) UU Penanggulangan Bencana sebagai Instrumen Hukum untuk Melaporkan adanya Pelanggaran Protokol Covid 19 dan Maklumat Kapolri apalagi Pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan adalah Ngawur, Ngaco dan Nggak Nyambung (3 N), hal ini dikarenakan Pasal 26 Ayat (1) huruf f itu adalah Hak Masyarakat untuk Mengawasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana yang dalam hal ini adalah Bagaimana Masyarakat Mengawasi Tahapan / Fase dari Kerja Kerja dan Tanggung Jawab Pelaksanaan Penanggulangan Bencana sesuai Amanat Undang Undang Penanggulangan Bencana pada Pasal 8 dan Pasal 9.

Tapi Herannya Rasionalisasi yang di Pergunakan adalah Bukan pada Tahapan / Fase Penanggulangan Bencana, melainkan Hanya pada Kegiatan Pembagian Sembako yang kita tahu Sifatnya bukan Pelanggaran UU Penanggulangan Bencana melainkan UU Kekarantinaan Kesehatan.

Apalagi patut di ingat, bahwa Saat Pelaksanaan Pembagian Sembako yang dilaksanakan oleh Pemprov Gorontalo, Status Covid 19 sebagai Bencana Non Alam belum di Tetapkan Presiden sebagai Bencana Nasional, sehingga Relevansi Pelaporan dengan Pelaksaanaan Hak Masyarakat Jelas Tidak Nyambung.

Ngawur, Ngaco dan Nggak Nyambungnya DAW semakin Akut di Akhir Akhir Tulisannya, dimana DAW Memisahkan bahwa Pelanggaran yang di Lakukan oleh Gubernur bukan Terletak pada Unsur Menghalangi Halangi, namun pada Perbuatan Tidak Mematuhi Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.

Ketidakpatuhan Gubernur disimpulkan oleh DAW karena dengan Pembagian Sembako yang Tidak Menerapkan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid 19 (Protokol Kesehatan) dan Maklumat Kapolri dianggap Sebuah Perbuatan yang Tidak Mematuhi Upaya Mencegah dan Menangkal Penularan Virus Corona sebagaimana di Maksud dalam Pasal 1 angka 1 UU Kekarantinaan Kesehatan.

DAW mungkin membaca UU Kekarantinaan secara Sepotong Sepotong sesuai Kepentingannya yang Saya lihat justru Berdiri lebih Dominan sebagai Advokat yang Faktanya adalah Kuasa Hukum dari Alyun Hippy.

Sekiranya DAW Sedikit saja memiliki Objektifitas dan Memposisikan Diri sebagai Akademisi dalam Melihat UU Kekarantinaan Kesehatan maka DAW pasti akan Memahami bahwa yang dimaksud Mencegah dan Menangkal Keluar atau Masuknya Penyakit dan/atau Faktor Resiko Kesehatan Masyarakat yang Berpotensi Menimbulkan Kedaduratan Kesehatan Masyarakat itu Bukan terletak pada Berkumpulnya Orang atau Berkerumunnnya Orang melainkan Terletak pada Cara dan Bagaimana Stake Holder Mengatur dan Membatasi Semua Sektor Transportasi baik Darat, Laut dan Udara dan Segala Hal Hal Teknis lainnya yang Menyangkut Kekarantinaan untuk di Taati agar Tidak Membawa Masuk dan Membawa Keluar Penyakit yang Berpotensi Menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

Itulah Sebabnya jika DAW Cermat Melihat kenapa UU Kekarantinaan Kesehatan ini Hadir, itu Dikarenakan sebagai Penyempurnaan Regulasi sebelumnya yaitu UU No 1 Tahun 1962 tentang Kekarantinaan Laut dan UU No 2 Tahun 1962 tentang Kekarantinaan Udara yang dianggap Tidak Sesuai lagi dengan Semangat dan Perkembangan Zaman.

Karena di Bagian Kedua ini ada 2 Pertanyaan terkait Apakah Maklumat Kapolri Mencantumkan Sanksi Pidana dan Seperti apa Proses Pengenaan Sanksi Pidana dari Maklumat Kapolri tersebut, maka Saya menjawab Secara Singkat saja karena Memang Sebenarnya Telah terjawab dengan Uraian di atas.

Pertama bahwa Maklumat Kapolri tersebut Tidak Tersurat atau Secara Tegas Menyebut Sanksi Pidananya melainkan Hanya Tersirat yaitu pada Poin 3 yang dengan Penjelasan Kadiv Humas Kita Ketahui Sanksi nya ada pada Pasal 212, 216 dan 218 KUHPidana.

Kedua bahwa Proses Pengenaan Pidana nya harus Memenuhi Kondisi yang ada di Pasal 212, 216 dan 218 yang pada Intinya Jika ada Warga Melawan dengan Kekerasan kepada Perintah Petugas (Polisi) atau Tidak Mengindahkan / Menuruti Perintah Polisi atau Setelah di Perintah 3 Kali Tidak Segera Pergi (Membubarkan Diri) maka Kesemuanya dapat di Pidana.

Intinya agar Tidak Dapat di Penjara / Denda di Masa Covid 19 ini, maka Jika ada Perintah Petugas Polisi, Warga yang Berkumpul untuk Segera Membubarkan Diri dan Jangan Melawan Petugas.

Sejujurnya, Saya Memimpikan Perdebatan para Intelektual Hukum di Gorontalo itu tidak hanya dalam tema yang Sempit yaitu soal Maklumat Kepolisian semata, tapi Bagaimana Mengangkat Soal yang Lebih Besar dan Urgen, Misalnya apakah Lebih Tepat dalam Situasi saat ini Pemerintah bersama DPR RI melakukan Revisi UU No 6 Tahun 2018 untuk Memasukan Pasal terkait Pengaturan Social Distancing dan Sanksinya atau agar Lebih Cepat Presiden Mengeluarkan Perppu yang Mengatur secara Khusus Sanksi Social Distancing, mengingat Kata Social Distancing / Phisical Distancing itu sendiri Tidak Pernah di Rumuskan Sanksi Pidannya dalam Ketentuan Peraturan Perundangan Undangan, sehingga akan Berpotensi Melanggar Azas Legalitas jika Pengenaan Pidana terhadap Social / Phisical Distancing di terapkan di Indonesia.

Baca : Kejahatan Kemanusiaan dan Maklumat Kapolri (Bagian 1) – Oleh Hamzah Sidik

Mengakhiri Tulisan ini, Saya berharap Pandemi Covid 19 segera Berakhir, agar Aktifitas Kita semua Bisa Kembali Normal, termasuk jika Memungkinan kita Bisa Mendiskusikan dan Berdebat secara Tatap Muka, Terbuka dan di Saksikan Masyarakat tentang Kejahatan Kemanusiaan & Maklumat Kepolisian dalam Perspektif Hukum secara Murni tanpa Embel Embel dan tanpa Kepentingan.

Tabiq !

Baca berita kami lainnya di


banner 468x60
banner 728x90
banner 728x90
banner 728x90