Kejahatan Kemanusiaan dan Maklumat Kapolri; Upaya Meluruskan “Mazhab Kaitologi”
(Bagian Pertama)
Oleh : Hamzah Sidik (Penggemar Srimulat)
“nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”
Tidak perlu gelar akademik dan atribut profesi yang panjang panjang untuk mengetahui adagium diatas yang sengaja saya sertakan untuk menjadi pembuka tulisan ini.
Awal tahun 98, sewaktu saya menjadi mahasiswa semester satu di Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, saya dan kawan kawan di kampus pasti dengan sekuat tenaga akan berusaha untuk menghafal dan memahami sebuah Azas Fundamental dan sangat elementer dalam diskursus hukum pidana karena pasti akan menjadi salah satu materi soal baik dalam ujian tengah semester maupun dalam ujian akhir semester, azas tersebut ialah Azas Legalitas.
Dari dosen pidana saya itulah, saya akhirnya mengetahui bahwa kita sebagai subjek hukum pidana tidak dapat di beri sanksi atas perbuatan kita, sepanjang belum ada aturan yang mengaturnya atau dalam bahasa undang-undang nya : suatu perbuatan tidak dapat di pidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada (pasal 1 ayat (1) kitab undang-undang hukum pidana)
Sebagai sebuah respon, tulisan ini dapat di katakan terlambat muncul di ruang publik, bahkan bisa saja oleh sebagian orang sudah di anggap basi.
Terlambat di karenakan sebagai umat muslim saya fokus menjalankan Ibadah Shaum di bulan Suci Ramadhan dan selebihnya berkutat dengan tugas tugas di DPRD Gorontalo Utara khususnya menjalankan fungsi pengawasan, sehingga terbatas waktu dan kesempatan untuk menulis.
Di katakan basi karena memang diskursus publik Gorontalo hari ini telah bergeser dari Maklumat Kapolri ke penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Provinsi Gorontalo yang kita ketahui bersama telah di setujui oleh Menteri Kesehatan dan berdasarkan rapat Forkopimda, Insya Allah Senin tanggal 4 Mei 2020, penerapan PSBB akan mulai efektif berlaku.
Namun dengan alasan dan pertimbangan untuk memperkaya khasanah wacana publik agar tidak mengkonsumsi dan tersesat dalam opini tunggal, maka tulisan ini saya lanjutkan sebagai respon dan pendapat banding saya atas tulisan Dr. Duke Arie W. SH. MH. CLA. CPCLE,.
Pada prinsipnya, sebagai orang yang pernah mengenyam pendidikan hukum, saya senang, gembira dan mengapresiasi bahwa akhir akhir ini ada yang menulis, berbicara dan berdiskusi terkait tema tema hukum di masa pandemi COVID-19, bahkan banyak diantaranya yang ikut mengambil bagian untuk berkomentar dan turut serta membagikan tulisan tulisan tersebut.
Di antara tulisan dan komentar – komentar yang ada, saya tertarik dengan dua tulisan yang di muat dalam media online dengan judul :
Kejahatan Kemanusiaan Sebagai Sebuah Pendapat Dan Memahami Dan Mentaati Maklumat Kapolri.
Ketertarikan saya bukan pada nama dan gelar penulisnya yang cukup panjang Dr. Duke Arie W. SH. MH. CLA. CPCLE,. (saya singkat DAW), tapi justru saya lebih tertarik pada kapasitasnya sebagai ketua asosiasi pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Provinsi Gorontalo, sebuah kapasitas yang menurut hemat saya tidak didapatkan dari sekedar kedekatannya dengan senior kami selaku aktivis HMI yaitu kakanda Mahfud MD yang merupakan ketua umum APHTN-HAN, melainkan saya yakin kapasitas tersebut di dapatkan dari kerja kerja intelektual serta pengalaman yang bersangkutan dalam mengajar Hukum Tata Negara Dan Administrasi Negara di Provinsi Gorontalo.
Setidaknya melalui tulisan sederhana ini, saya akan fokus dan memberi tekanan pada hal-hal tertentu atas kedua tulisan Duke Arie W (DAW) yaitu tulisan :
Kejahatan Kemanusiaan Sebagai Sebuah Pendapat
Pertama: Pada tulisan “Kejahatan Kemanusiaan Sebagai Sebuah Pendapat” di singgung bahwa ada tokoh-tokoh yang memberikan pendapat serta pandangannya tentang kejahatan kemanusiaan dari perspektif mereka yang berangkat dan berdasarkan kejadian / kasus seperti misalnya penolakan jenazah COVID-19, kasus korupsi, kasus pembakaran hutan, kasus hoax, kasus vaksin palsu dll, yang dalam tulisannya DAW menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia menafsirkan kejahatan kemanusiaan sesuai dengan sudut pandangnya atas sebuah peristiwa yang merugikan dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Kedua: Selanjutnya masih pada tulisan “Kejahatan Kemanusiaan Sebagai Sebuah Pendapat” ada kalimat tanya bahwa “Apakah Pendapat Pendapat Itu Salah ? Apakah Pendapat Pendapat Itu Harus Di Bungkam Dengan Melaporkan Ke Kepolisian ?
Ketiga: Masih dalam tulisan “Kejahatan Kemanusiaan Sebagai Sebuah Pendapat”, disini DAW menuliskan yang pada intinya menyatakan bahwa pendapat-pendapat yang disampaikan adalah sebagai masukan kepada pemerintah sebagai bentuk cheks and balances (c&b) dari masyarakat.
Bagi masyarakat awam, pendapat DAW yang terangkum dalam 3 poin diatas tentu akan di terima dengan baik, bahkan mungkin di sanjung dan di puja serta di baca tanpa koreksi, namun bagi saya seorang penggemar
Srimulat yang kebetulan berlatar belakang hukum, tulisan DAW diatas memunculkan banyak pernyataan kritis yang akan saya coba uraikan satu per satu sesuai dengan 3 poin diatas.
Kita Mulai Dari Poin :
Poin pertama, DAW diantaranya menyitir pernyataan SBY, Abraham Samad dan Jokowi terkait diksi kejahatan kemanusiaan. Saya melihat alur tulisan DAW yang sepertinya setuju dengan pandangan mereka, termasuk setuju dengan tafsiran bebas masyarakat indonesia terkait kejahatan kemanusiaan.
Muncul dalam benak saya, sudah seperti itukah seorang doktor hukum yang berproses dari teori hukum satu ke teori hukum lainnya dan dari azas hukum satu ke azas hukum lainnya dengan mudahnya menerima pandangan bahkan memberikan dukungan bahwa suatu peristiwa yang merugikan orang dan jauh dari nilai nilai kemanusiaan maka itu adalah kejahatan kemanusiaan tanpa memberikan catatan kritis sesuai dengan ilmu hukum yang di milikinya.
Dalam hati saya bertanya, jika memang DAW sepakat bahwa ukuran yang di pakai untuk tindakan kejahatan kemanusiaan itu hanyalah merugikan orang dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan maka kenapa napi-napi yang di tahan dalam lembaga pemasyarakatan yang melakukan pembunuhan, pemerkosaan, perampokan dan kejahatan kejahatan lainnya hanya di proses dalam pengadilan umum dan bukan pada pengadilan ham serta tidak di kategorikan sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan ? padahal apa yang mereka lakukan sudah barang tentu merugikan dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan,.
Saya yakin kalo semua ahli-ahli hukum yang kredibel itu di tanya, pasti mereka akan menjawab bahwa tidak semua peristiwa / perbuatan hukum meskipun itu merugikan dan jauh dari nilai nilai kemanusiaan dapat di kualifikasikan sebagai kejahatan kemanusiaan.
Karena jika paramaternya hanya itu, maka kejahatan kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM berat akan sama nilainya dengan perbuatan pidana umum lainnya, padahal semua paham bahwa yang namanya kejahatan kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM berat memiliki unsur-unsur kejahatan (element of crimes) dan memiliki hukum acara pembuktiannya (Rules Of Procedures And Evidences) secara tersendiri.
Saya juga membaca dan terperanjat dengan beberapa potong komentar DAW di media sosial (FB) yang dikirimkan oleh seorang junior kepada saya.
Sebagai seorang doktor hukum, terlalu sembrono jika DAW menilai orang tak perlu sekolah tinggi tinggi S2, S3 jika hanya berpatokan secara tekstual dalam membaca UU dalam mendefinisikan kejahatan kemanusiaan, terlebih ketika DAW memberi penekanan bahwa Presiden Jokowi saja sudah memakai narasi korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan.
Pertanyaan saya adalah, apakah ketika Presiden Jokowi menyatakan bahwa korupsi adalah kejahatan kemanusiaan atau SBY menyatakan pembakaran hutan adalah kejahatan kemanusiaan lalu secara otomatis lahirlah norma baru dalam uu pengadilan ham ?
Saya yakin, orang waras dan tidak goblok akan menjawab tidak, lalu kenapa DAW mengharapkan kita semua untuk ikut menerima pernyataan presiden yang menyatakan bahwa korupsi adalah kejahatan kemanusiaan, padahal semua tahu bahwa narasi (wacana) bukanlah sebuah norma hukum.
Dari kondisi dan situasi diatas cukup menggambarkan bahwasanya DAW sepertinya lupa atau mungkin tidak tahu sama sekali akan perbedaan antara Ius Constitutum dan Ius Constituendum.
Jika memang korupsi, pembakaran hutan, vaksin palsu, hoax dll dapat di kategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan, lalu kenapa kesemuanya tidak masuk dalam bab tentang kejahatan kemanusiaan pada RUU KUHP yang sekarang berproses di DPR-RI ? Jawabannya simple, bahwa memang perbuatan perbuatan tersebut tidak cukup untuk dapat di kualifisir sebagai kejahatan kemanusiaan.
Olehnya sebagai orang yang terpelajar, saya menyarankan DAW agar berhentilah mengikuti cara dan alur berfikir yang tidak akademis & normatif, karena saya khawatir hanya akan menimbulkan keraguan publik atas ilmu hukum yang di sandangnya.
Poin kedua, DAW bertanya apakah pendapat pendapat itu salah ? dan apakah pendapat pendapat itu harus di bungkam dengan melaporkan ke kepolisian ? (jika yang di maksudkan DAW pendapat-pendapat diatas adalah pendapat Alyun Hippy terkait tulisannya soal kejahatan kemanusiaan di Asrama Haji) maka jawaban saya bahwa pendapat AH soal penanganan COVID-19 di Asrama Haji bukan pada soal salah atau benar (jika ini dimaksudkan secara hukum, maka perlu pembuktian hukum di pengadilan).
Tapi untuk laporan Pemprov Ke Polda Gorontalo, saya mengatakan bahwa hal itu adalah sebuah kepantasan & kewajaran karena sejatinya tulisan AH, memang layak untuk di laporkan.
Bagi saya, DAW tak perlu heran dan bertanya seperti itu apalagi sampai mengaitkan dengan kata pembungkaman, karena sebenarnya DAW yang juga sebagai seorang advokat punya pengalaman mendampingi untuk melaporkan pidana seseorang yang menuliskan sesuatu di ruang publik dimana tulisan tersebut di anggap tidak benar.
Janganlah berperilaku ganda, disaat ada orang lain (Gubernur) merasa di rugikan atas sebuah tulisan di medsos lalu melapor ke kepolisian langsung disebut melakukan pembungkaman dan anti kritik, namun di sisi lain DAW pernah ikut membela dan mendampingi seorang Bupati untuk melaporkan orang yang menulis atas sesuatu yang dianggap tidak benar kepada bupati yang notabene adalah kliennya.
Olehnya, terkait pendapat AH bahwa telah terjadi “Kejahatan Kemanusiaan” di fasilitas isolasi COVID-19 Asrama Haji Provinsi Gorontalo, maka saya menilai wajar laporan Pemprov Ke Polda Gorontalo, sebab apa yang di tulis AH adalah tidak berdasar, tendensius, dan politis (sudah di akui oleh VG dan FI sebagai sumber yang di jadikan rujukan oleh AH).
Perlu di ketahui oleh kita semua khususnya oleh DAW, bahwa Pemprov Gorontalo khususnya Gubernur Rusli Habibie selama masa kepemimpinanya baik di Gorontalo Utara sebagai Bupati maupun 2 periode sebagai Gubernur sering di kritik mulai dari soal pemadaman listrik, rumah mahyani, bantuan pupuk gratis, termasuk pembagian sembako covid 19 oleh BEM UNG, namun apakah Gubernur pribadi atau Pemprov secara umum melaporkan setiap suara suara para pengkritiknya itu ? jawabannya adalah tidak.
Kenapa suara-suara itu tidak di lapor ? hal itu di karenakan, kritik yang di sampaikan benar benar objektif, wajar, berdasar dan tidak politis.
Jadi jangan berfikir bahwa pemerintah daerah gorontalo ini anti kritik hanya karena ada satu atau dua suara suara yang di laporkan ke penegak hukum.
Saya sendiri masih ingat, bahwa belum lama ini DAW pun pernah mengkritik pemprov terkait hasil rapat forkopimda dimana DAW menyatakan bahwa “Pemprov Gorontalo Anti Kritik Dalam Penanganan Covid 19 Dengan Cara Membungkam Lsm Maupun Masyarakat” dan fakta membuktikan bahwa DAW tidak pernah di lapor karena pandangannya tersebut, setidaknya itu cukup membuktikan bahwa pemprov gorontalo terbuka dengan kritikan serta terbiasa dengan kritik sepanjang kritik tersebut objektif.
Namun memang untuk tulisan AH, apa yang disampaikannya adalah di luar kewajaran, berlebihan dan sangat tendensius sehingga cara yang paling objektif untuk membuktikan tudingannya adalah dengan proses hukum di pengadilan,.
Poin ketiga, Jujur, di poin ini saya agak kaget dan terperanjat dengan tulisan DAW bahwa pendapat pendapat dari masyarakat terkait kejahatan kemanusiaan sebagai bagian dari Cheks And Balances (C&B).
Pertanyaan saya adalah teori apa yang dipakai oleh DAW bahwa pendapat pendapat (kritis) masyarakat adalah sebagai bentuk C&B kepada pemerintah ? Bahwa sikap kritis masyarakat kepada pemerintah dianggap sebagai bagian dari kontrol publik dalam negara yang menganut paham demokrasi , saya setuju 1000%.
Tapi jika kontrol publik itu dianggap sebagai bagian dari Cheks & Balances, maka kita bisa berdebat soal itu dengan teori teori hukum yang kita miliki.
Karena yang saya pelajari, sebagian besar teori teori yang menjelaskan soal C&B termasuk dalam sistem ketatanegaraan kita di Indonesia dan di kenal dalam praktek hanyalah C&B antar lembaga Eksekutif – Legislatif – Yudikatif (Teori Montesquieu) yang berangkat dari adanya pemisahan kekuasaan (Separation Of Power) dan pembagian kekuasaan (Distribution Of Power) yang kesemuanya masing masing saling mengawasi dan mengontrol.
Jikapun ada teori baru yang di pelajari oleh DAW, bahwa Cheks And Balances juga di kenal dalam praktek ketatanegaraan berlaku oleh masyarakat atas pemerintahan, mungkin saya yang tertinggal sehingga kurang Up To Date, mengingat cukup lama tidak lagi terlibat dalam diskusi dan seminar seminar hukum. Sekiranya akan menarik jika DAW dapat membagi pengetahuannya kepada kita semua khususnya kepada saya pribadi.
bersambung . . .