READ.ID – CEO Boeing Dennis Muilenberg minggu lalu mengakui perusahaannya membuat “kesalahan” dalam menangani sistem peringatan kokpit yang bermasalah di pesawat jet 737 MAX, sehingga mengakibatkan jatuhnya pesawat Lion Air dan Ethiopia Airline yang secara keseluruhan menyebabkan 346 penumpang beserta awak pesawat tewas. Ia pun telah meminta maaf kepada para keluarga korban.
Menanggapi hal tersebut, salah satu orang tua korban jatuhnya pesawat Lion Air JT 610, Latif Nurbana, mengapresiasi pengakuan dan pernyataan dari CEO Boeing tersebut. Meskipun demikian, ia bersama orang tua korban lainnya akan tetap menuntut pihak Boeing di pengadilan Amerika.
Ia dan puluhan orang tua korban lainnya menggunakan jasa pengacara dari negeri Paman Sam itu yang akan bekerjasama pengacara dari Indonesia. Pengacara dari Amerika telah datang ke Indonesia pekan ini untuk memfinalisasi dan mendiskusikan dengan para orang tua korban terkait apa saja yang dibutuhkan.
Pengadilan di AS Akan Dimulai Juli
Jika tidak ada aral melintang, proses pengadilan di Amerika akan dimulai pada Juli mendatang.
Gugatan yang akan dilayangkan kepada Boeing akan mencakup gugatan materil. Namun ketika ditanyakan berapa nominal tuntutan kepada Boeing, Latif mengaku masih belum mengetahuinya karena masih mendiskusikannya dengan pihak pengacara.
“Sudah mendaftarkan diri di pengadilan Amerika, sudah tercatat dan sudah akan berproses, melalui lawyer kami akan bersidang melakukan tuntuntan seperlunya sesuai dengan kaidah hukum,” ungkap Latif kepada VOA.
Tak Bersedia Tandatangani Dokumen, Keluarga Korban Kecelakaan Lion Air Belum Terima Asuransi Kecelakaan
Ditambahkannya, sejak kecelakaan di Tanjung Pakis, Karawang, Jakarta, 29 Oktober lalu, ia dan sejumlah orang tua/keluarga korban belum menerima asuransi kecelakaan dari Lion Air, yang sedianya mencapai sekitar 1,2 miliar rupiah. Ini dikarenakan ada syarat yang harus dipenuhi keluarga korban jika ingin menerima uang asuransi tersebut, yaitu menandatangani pernyataan untuk tidak menuntut beberapa pihak, termasuk Boeing.
Sebagai pihak yang akan menuntut Boeing, tentu Latif dan orang tua lainnya tidak setuju dengan syarat tersebut. Ia menyayangkan adanya prasyarat seperti itu. Padahal menurutnya soal asuransi dan tuntutan terhadap Boeing merupakan hal berbeda.
“Sebetulnya tidak ada kaitan tanda tangan itu dengan asuransi. Uang asuransi yang sesuai Permen 77 itu begitu meninggal itu harus diberikan, sama yang dilakukan oleh Jasa Raharja. Jasa Raharja saja dua hari setelah kecelakaan langsung datang ke rumah, konfirmasi, minta data, langsung di transfer. Ini (Lion Air. red) malah mempersulit. Kami harus tanda tangan. Sampai sekarang sudah delapan bulan tidak berproses. Harusnya sudah dapat, tanpa diminta itu hak, mutlak sesuai UU. Ya gak mau kita tanda tangan, sesuatu yang kita dibatasi, kan di UU mengatakan tidak boleh mengurangi dan menambahkan hak-hak yang seharusnya diterima oleh ahli waris, demikin juga UU Konsumen,” jelas Latif.
Ayah Muhammad Luthfi Nuramdani, salah seorang korban kecelakan Lion Air itu berharap ada perhatian dari pemerintah kepada para keluarga korban terkait hal ini. Ia juga sudah meminta bertemu dengan pihak Kementerian Perhubungan, namun sampai sekarang hanya dijanjikan untuk bertemu. Ia juga sudah mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo dan belum mendapat tanggapan apapun.
Lion Air Tak Salahkan Pihak Mana Pun Terkat Kecelakaan JT610
Dalam perkembangan lainnya, menanggapi pernyataan CEO Boeing Dennis Muilenberg tersebut, Corporate Communication Lion Air Ramaditya Handoko menyatakan tidak mau menyalahkan pihak mana pun atas terjadinya musibah ini. Pihak Lion Air, kata Rama, lebih fokus kepada penanganan keluarga korban, dan tidak lupa mengapresiasi pernyataan Boeing dan berharap adanya perbaikan ke depannya.
Terkait dengan pembelian pesawat, ia mengatakan sampai sejauh ini belum ada pembatalan pembelian pesawat dari Boeing. Namun mungkin jenis pesawat yang akan dibeli akan diubah.
“Sementara belum ada informasi yang bisa kami sampaikan terkait hal itu. Cuma memang untuk term pembelian masih akan berlanjut, untuk tipe (pesawat) atau apa itu yang masih kita belum tahu. Kita masih menunggu karena Boeing lagi ada proses pembaruan dari softwarenya – untuk MAX-nya itu – dan masih di uji coba untuk di-approve dari divisinya sana,” ujar Rama.
Sementara itu, ketika ditanyakan perihal asuransi, Rama memang membenarkan bahwa ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh pihak keluarga korban jika ingin asuransinya cair. Namun Rama tidak menjelaskan lebih rinci soal persyaratan itu. Ia hanya mengatakan bahwa hal tersebut sudah bagian dari prosedur asuransi Lion Air, yaitu Tugu Pratama.
Di sisi lain, pihak Lion Air pun tidak melarang kalau ada keluarga korban yang ingin menuntut Boeing, namun sampai saat ini belum ada pembaharuan syarat untuk perihal pencairan asuransi tersebut.
“Dilemanya sekarang ini kan ketika dalam artian CEO nya sudah ngomong seperti itu kan, beberapa penasihat hukum baik dari Indonesia maupun dari Amerika kan mencoba membantu para keluarga korban untuk menuntut pihak Boeing. Kami pun disini tidak bisa melakukan himbauan apa pun, kami hanya menawarkan jika mau mengambil kompensasi dengan Lion, seperti inilah yang harus dilengkapi dan dipenuhi, jika memang mau menuntut Boeing ya kami juga tidak bisa melarang,” paparnya.
Soal larangan terbang Boeing jenis MAX, menurut Rama, belum ada perubahan kebijakan dari Kemenhub. Hingga saat ini sebagian pesawat Lion Air jenis Boeing MAX masih diparkir di sejumlah pesawat dan Lion Air masih membayar biaya parkir pesawat tersebut.
Soal Pernyataan CEO Boeing, Menteri Perhubungan : “Tanya Saja Lion Air”
Ditemui secara terpisah, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi tidak mau menanggapi pernyataan CEO Boeing Dennis Muilenberg dan menyerahkannya kepada pihak maskapai dalam hal ini Lion Air untuk memberikan tanggapan.
“Tanya saja kepada humasnya (Lion Air),” jawabnya pendek.
Pesawat Lion Air JT 610 jatuh 12 menit setelah lepas landas di perairan Karawang, Jawa Barat, pada 29 Oktober 2019 dan menewaskan seluruh awak dan penumpang yang berjumlah 189 orang. Hasil penyelidikan Komite Nasional Kecelakaan Transportasi KNKT menyimpulkan bahwa memang pesawat mengalami masalah dengan sistem MCAS (Manufacturing Characteristic Augmentation System).
Kurang dari lima bulan, masalah yang sama menyebabkan pesawat Ethiopia Airlines ET302 jatuh di Bishoftu, Ethiopia, hanya enam menit setelah lepas landas. Seluruh awak dan penumpang pesawat yang berjumlah 157 orang tewas dalam kecelakaan pada 10 Maret 2019 itu.
Seluruh pesawat Boeing jenis 737 MAX dilarang terbang di seluruh dunia tak lama setelah kecelakaan kedua itu.
Sumber : VOAIndonesia