banner 468x60
Opini  

Keterbukaan Informasi Publik dan Tantangan KI Provinsi Gorontalo

Kominfo Gorontalo
banner 468x60

Oleh: Ismail Sam Giu, S.Sos, M.I.Kom

Fungsional Pranata Humas Ahli Muda di Dinas Kominfo dan Statistik Pemprov Gorontalo

 

Hasil monitoring dan evaluasi (monev) keterbukaan informasi publik oleh Komisi Informasi RI tahun 2021 disambut semringah jajaran Dinas Kominfo dan Statistik Provinsi Gorontalo. Monev tahunan dengan predikat “menuju informatif” itu wajar disyukuri setelah melihat ke belakang status keterbukaan informasi publik Pemprov Gorontalo selalu dengan predikat “tidak informatif”. Ada lima tingkat predikat yang diberikan Komisi Informasi RI yakni tidak informatif, kurang informatif, cukup informatif, menuju informatif dan informatif.

Tahun 2021 menjadi langkah awal perbaikan kualitas layanan keterbukaan informasi publik. Sejalan dengan amanah UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Selama ini paradigma Pejabat Pengelola Informasi Dokumentasi (PPID) sebagai humas OPD, berlahan diubah ke arah yang seharus: melayani permintaan informasi publik.

Website pemerintah tidak sekedar menyediakan berita berita kegiatan pemerintahan, sosial kemasyarakatan dan pembangunan, tetapi menyediakan standar layanan informasi publik dan PPID. Standar informasi publik dimaksud seperti nama OPD, alamat kantor dan nomor telponnya. Informasi keuangan daerah mulai dari RPJMD, RKPD, APBD, LKPD, KUA-PPAS dan realisasi keuangan setiap tahunnya.

Alur tentang pelayanan PPID, maklumat pelayanan PPID, SOP, tata cara permohonan informasi dan tautan aplikasi daring layanan PPID juga disajikan. Profil pemerintah provinsi mulai dari visi misi, profil kepala daerah hingga laporan harta kekayaan pejabat Negara (LHKPN) ikut terpampang.

Hasil monev KI Pusat tersebut baru menyelesaikan masalah luarnya. Dalam arti, sesuatu yang standar memang seharusnya ada dan tersaji untuk publik. Pertanyaan kemudian, apa sesudah itu? Eksistensi Komisi Informasi Provinsi (KI Provinsi) Gorontalo menjadi jawabannya.

Sejak Provinsi Gorontalo berdiri tahun 2000 atau sejak UU Nomor 14 tahun 2008 tentang KIP diundangkan, Provinsi Gorontalo belum pernah memiliki KI Provinsi hingga April 2021. Lima komisioner dilantik oleh Wakil Gubernur Idris Rahim kala itu. Ini tentu saja menjadi angin segar bagi pembinaan, pengawasan dan penegakan KIP di daerah.

Mereka dituntut untuk membenahi kualitas layanan informasi di semua badan publik mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota hingga di tingkat desa/kelurahan. Badan publik dalam tafsiran UU KIP pada pokoknya yakni setiap organisasi yang sebagian atau keseluruhan sumber dananya dibiayai oleh pemerintah. Mengertinya, badan publik tersebut termasuk instansi perbankan, BUMD, organisasi pemuda, organisasi masyarakat, LSM dan partai politik. Ini tugas berat.

Kita bisa membayangkan betapa buruknya layanan keterbukaan informasi publik kita jika seandainya perbankan – misalnya – tidak mampu memberikan informasi kamera CCTV di mesin ATM-nya. Padahal informasi itu sangat kita butuhkan untuk mengungkap pelaku kejahatan pencurian dompet, gawai dan atau penyalahgunaan kartu ATM oleh orang lain. Di situlah peran KI Provinsi untuk menerima aduan warga, melakukan mediasi atau bahkan bisa berujung pada sengketa informasi di pengadilan.

Di usia KI Provinsi Gorontalo yang baru seumur jagung, sudah diperhadapkan di situasi yang pelik. Kondisi keuangan pemerintah provinsi yang semakin kecil di tengah pandemi covid-19 memaksa KI Provinsi harus beroperasi dengan biaya ala kadarnya. KI Provinsi Gorontalo menjadi komisi dengan biaya terkecil se Nusantara dengan hanya sekitar Rp250 juta setiap tahunnya.

Angka sekecil itu tentu saja tidaklah cukup. Untuk sekedar membiayai gaji lima komisioner dengan taksiran per bulan Rp5 juta hanya cukup untuk 10 bulan. Belum ongkos operasionalnya, karyawannya, termasuk membiayai panitera jika sewaktu waktu sidang sengketa informasi terjadi.

I’tikad baik pemerintah provinsi melalui Penjabat Gubernur Hamka Hendra Noer untuk memdukung kinerja KI Provinsi sudah ada. Secara khusus Hamka menerima audiensi dan berbincang langsung dengan lima komisioner. Ada harapan untuk arah perbaikan – meski tidak fundamental – karena banyaknya kebutuhan warga yang juga harus diprogramkan dan dianggarkan.

Dinas Kominfo dan Statistik sebagai OPD teknis yang menangani KI Provinsi juga sudah melakukan langkah langkah perbaikan. Salah satunya dengan memprioritaskan penambahan anggaran untuk KI Provinsi dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) pada penyusunan Renstra Transisi 2023-2026.

Tantangan KI Provinsi Gorontalo yang sebenarnya justru pada kondisi itu. Mereka harus mampu membuktikan eksistensi dan kinerja pelayanan kepada masyarakat secara lebih baik. KI Provinsi bisa melakukan sosialisasi kepada masyarakat, pembinaan kepada badan publik termasuk menghadirkan layanan aduan dengan memanfaatkan internet atau dalam jaringan (daring).

Sosialisasi, pembinaan dan pengawasan secara daring di era sekarang perlu untuk dicoba. Selain minim biaya operasional, layanan daring juga mudah diakses dan dapat menjangkau warga secara luas.

KI Provinsi secara perlahan namun pasti sudah harus masuk ke setiap badan publik untuk mendorong sosialisasi peran dan fungsinya, bagaimana mekansime keterbukaan informasi publik serta hak dan kewajiban badan publik.

Edukasi berbiaya murah juga bisa dilakukan kepada warga melalui forum forum tidak resmi seperti mengunjungi sekolah sekolah, perguruan tinggi hingga menghadirkan warga di tingkat desa dan kelurahan. Kerjasama dengan organisasi masyarakat, organisasi pemuda dan partai politik juga patut dicoba.

Warga perlu diedukasi bahwa kebutuhannya mendapatkan informasi dari badan publik yang berkaitan dengan hajat hidupnya harus dipenuhi dengan penyediaan Daftar Informasi Publik (DIP). Warga juga harus diajari bahwa tidak semua informasi dapat diberikan oleh badan publik karena ada Informasi yang Dikecualikan (DIK). Informasi dikecualikan dalam UU KIP termaktub dalam pasal 17 huruf a hingga j.

Mahasiswa yang sedang menyusun skripsi dan membutuhkan data atau informasi tertentu di instansi pemerintah boleh mengajukan permohonan ke instansi tersebut. Instansi wajib menyediakan informasinya selama informasi itu dikuasai dan atau tidak dikecualikan. Badan publik harus dibina terus menerus agar mau bersikap terbuka dengan apa yang sedang, telah dan akan dikerjakan.

Muara dari semua kerja kerja KI Provinsi tersebut yakni pada perbaikan Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP). Tahun 2021 IKIP Gorontalo berada di lima urutan terbawah dengan skor 65,22. Gorontalo hanya “unggul” dari Kalimantan Tengah, Maluku Utara, Sulawesi Tengah dan Papua Barat. IKIP secara rerata nasional berada di angka 71,38.

Harapan untuk perbaikan IKIP tahun 2022 nampaknya juga kecil. Sebagai salah satu informan ahli yang diwawancarai, penulis cukup pesimis. Masalahnya, banyak indikator indikator berantai yang terkait dengan eksistensi dan kerja kerja KI Provinsi. Eksistensinya yang baru seumur jagung, pembiayaan yang minim, pemahaman masyarakat dan badan publik yang rendah menjadi beberapa hal yang harus dibenahi.

Penyelesaian sengketa informasi misalnya. Selama ini baru berakhir pada tahap mediasi, belum sampai pada ranah pengadilan. Syukur jika mediasi mampu menyelesaikan aduan pemohon informasi terhadap badan publik sebagai termohon. Berbeda halnya jika mediasi hanya sekedar “batas” akibat ketiadaan dana operasional.

Kondisi ini tentu saja harus menjadi atensi bersama, baik pemerintah daerah, badan publik dan KI Provinsi. Kita harus tetap yakin selalu ada celah melakukan perbaikan sepanjang dilakukan dengan niat dan komitmen yang kuat.

Pemerintah wajib memberi perhatian namun di sisi yang lain KI Provinsi juga harus berlari untuk berinovasi menujukkan jati diri sebagai mandatoris undang undang. Dua duanya penting tetapi tidak harus saling menunggu.  Paradigma berpikirnya harus dimulai dari semakin baik kinerja KI Provinsi maka semakin baik pula perhatian pemerintah. Semoga!

Baca berita kami lainnya di


banner 468x60
banner 468x60