Ketika Bendera One Piece Berkibar, Nasionalisme Kita Malah Masuk Angin

Foto: Mojok.co
IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

READ.ID,- Jelang 17 Agustus, seharusnya semangat nasionalisme memuncak. Tapi alih-alih bangga lihat Merah Putih berkibar, warganet malah dibuat geleng-geleng kepala oleh fenomena baru: bendera bajak laut One Piece ikut dikibarkan. Bahkan, di beberapa tempat, si Jolly Roger ini dengan tenang berdampingan dengan Sang Saka.

Bendera tokoh fiktif Luffy dan kawan-kawan ini jelas bukan simbol makar atau pemberontakan bersenjata. Tapi tetap saja, kemunculannya bikin sebagian orang naik darah. Ada yang mengusulkan pelarangan, ada juga yang ngotot minta sanksi. Seolah-olah bendera anime ini bisa menggulingkan negara.

Padahal, menurut Sosiolog Universitas Negeri Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, kisahnya jauh lebih dalam dari sekadar “anak muda kurang nasionalis”. Bendera One Piece yang dikibarkan bukan karena mereka anti-Merah Putih, tapi karena mereka belum merasa dimiliki oleh simbol itu. “Itu ekspresi rindu yang tidak tersampaikan. Mereka masih ingin percaya, cuma tidak tahu harus lewat mana,” tulis Funco dalam esainya.

Masuk akal. Soalnya, buat sebagian generasi muda, upacara bendera hanyalah rutinitas. Lagu kebangsaan? Dinyanyikan, tapi suaranya hilang entah ke mana. Sementara cerita Luffy? Meski fiksi, tapi terasa lebih jujur, lebih menggugah, dan lebih menggambarkan mereka sendiri: bermimpi besar, melawan sistem, tapi tetap setia pada nilai-nilai persahabatan dan keadilan.

Yang menarik, Funco juga menyamakan kisah Luffy dengan perjalanan hidup Presiden Prabowo Subianto. Sama-sama pernah dibuang, sama-sama pernah kalah, sama-sama dikelilingi orang-orang yang setia. Bahkan menurutnya, Prabowo adalah “kapten kapal” dunia nyata yang tak pernah karam meski badai silih berganti.

Lalu muncul pertanyaan paling penting: bagaimana seharusnya Prabowo merespons fenomena ini?

Jawabannya jelas bukan dengan marah-marah atau bikin larangan baru. Sebagai orang yang tahu rasanya hidup di luar negeri tanpa diakui bangsanya sendiri, Prabowo seharusnya menjadi pemimpin yang paham bahwa nasionalisme tidak bisa dipaksa. Ia harus ditumbuhkan dari kepercayaan, dari ruang untuk bermimpi, dari pelibatan yang nyata.

“Bendera paling sakral bukan yang dikibarkan tinggi-tinggi di tiang, tapi yang berkibar diam-diam di dada mereka yang tetap tinggal, meski kecewa,” tulis Funco.

Jadi, sebelum buru-buru menyebut anak muda ini tak nasionalis, mungkin negara perlu bertanya: masihkah mereka merasa jadi bagian dari Indonesia? Atau justru mereka sudah lama merasa asing di rumah sendiri?

Mungkin, alih-alih mengibarkan Jolly Roger karena hobi, mereka mengibarkannya karena rindu: ingin jadi bagian dari kapal besar bernama Indonesia, tapi masih cari-cari nahkoda yang tahu caranya mendengar.*****

Baca berita kami lainnya di