Ketika Jubir Gubernur Tersesat di Panggung Publik

READ.ID,- Panggung politik Gorontalo kembali riuh. Bukan oleh prestasi, tapi oleh kegaduhan yang lebih cocok jadi naskah drama satire ketimbang rapat elite birokrasi. Episode terbaru datang dari polemik berkepanjangan soal Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank Sulutgo. Dan seperti biasa, bukan isi rapat yang mencuri perhatian, melainkan ocehan para pejabat yang mendadak jadi seleb medsos dadakan.

Juru Bicara Gubernur Gorontalo, Dr. Alvian Mato, tampaknya keliru membaca naskah. Alih-alih menyampaikan sikap resmi gubernur, ia justru tampil layaknya influencer yang haus panggung, merespons konferensi pers Wali Kota Gorontalo, Adhan Dambea, dengan retorika yang lebih cocok untuk kolom opini pribadi ketimbang pernyataan institusional.

banner 468x60

Tak tinggal diam, Juru Bicara Wali Kota Gorontalo, Hadi Sutrisno Daud, meluruskan arah kompas. Menurutnya, pernyataan wali kota adalah ekspresi kekecewaan mendalam terhadap Gubernur Gusnar Ismail yang hingga kini belum juga menunjukkan keberpihakan terhadap aspirasi kolektif kepala daerah se-Gorontalo yakni keterwakilan dalam struktur Komisaris Bank Sulutgo.

“Yang disuarakan Wali Kota itu soal harga diri Gorontalo yang tampaknya dianggap enteng,” ujar Hadi. Tegas. Tanpa basa-basi.

Hadi juga menyinggung sikap Pemprov yang memilih diam seribu bahasa meski seluruh kepala daerah telah menyatakan mundur dari Bank Sulutgo. Sebuah sikap yang, kalau bukan pembiaran, bisa disebut apatisme politik kelas wahid.

Ketika Jubir Gubernur menuduh Wali Kota tengah mencari popularitas, Hadi tak perlu bersilat lidah. “Wali Kota Gorontalo tidak perlu popularitas. Beliau sudah terlalu dikenal. Dari anak PAUD sampai veteran perang tahu siapa Adhan Dambea,” sindir Hadi.

Namun babak paling panas muncul saat Hadi membedah cara bicara sang juru bicara. Menurutnya, ini bukan lagi soal miscommunication, melainkan misunderstanding total terhadap tugas pokok dan fungsi alias tupoksi.

“Jubir ini seperti lupa bahwa dia bukan YouTuber, tapi corong resmi gubernur. Apa yang disampaikan seharusnya kebijakan, bukan keresahan pribadi,” ujar Hadi, dengan nada yang lebih cocok dibacakan di teater satire.

Dan ketika sang jubir mencoba mengangkat isu ijazah Gubernur sebagai tameng, Hadi tidak menahan diri. “Kalau sampai bawa-bawa lagi soal ijazah, saya yakin dia sudah kehilangan arah berpikir. Ini bukan lagi debat intelektual, ini debat asal bunyi. Kalau bicara ijazah tapi konteksnya enggak nyambung, berarti dia lebih dungu dari orang dungu.”

Kata ‘dungu’ mungkin terdengar kasar, namun Hadi buru-buru menambahkan: “Itu bukan serangan pribadi, melainkan ilustrasi atas cara berpikir yang tumpul dan tidak tahu tempat.”

Di akhir, Hadi menutup dengan nasihat khas seorang guru kepada murid yang keliru memilih panggung. “Kalau tidak bisa menjalankan tugas sebagai jubir resmi, lebih baik diam. Jangan mempermalukan institusi hanya demi beberapa klik di media.”

Gorontalo tidak kekurangan persoalan, tapi hari ini kita belajar satu hal: kadang, yang membuat gaduh bukan substansi masalah, tapi gaya bicara yang lebih cocok untuk stand up comedy ketimbang mimbar pemerintahan.******

Baca berita kami lainnya di

banner 468x60