READ.ID – Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti membandingkan semangat dan suasana kebatinan saat membuat Undang-Undang Dasar 1945 dan saat dilakukan Amandemen.
Hal itu disampaikan LaNyalla ketika mengisi kuliah umum di Universitas Islam Negeri Alauddin, Sabtu (29/5/2021), dengan tema ‘Amandemen Kelima: Sebagai Momentum Koreksi Perjalanan Bangsa’.
“Para pendiri bangsa saat itu mengedepankan praktik pemerintahan ketimuran, dimana musyawarah mufakat sebagai tonggak utama. Praktik pemerintahan negara-negara barat ditolak. Tetapi justru kebalikannya dalam Amandemen konstitusi tahun 2002, dimana demokrasi ala barat menjadi pilihan,” ujar LaNyalla.
Menurut LaNyalla, saat amandemen dilakukan tahun 1999 hingga 2002, euforia reformasi masih sangat kental.
“Pasca tumbangnya Orde Baru, hampir semua rakyat, termasuk para tokoh dan mahasiswa sangat anti produk yang berbau Orde Baru. Puncaknya adalah
Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, yang dilakukan hingga 4
kali,” katanya.
Dalam proses Amandemen UUD 1945 yang terjadi dalam kurun waktu 1999 hingga 2002 tersebut, kata LaNyalla, ada keterlibatan asing.
“Saya baca hal itu dari buku yang ditulis Valina Singka Subekti, berjudul “Menyusun Konstitusi Transisi”, yang terbit tahun 2007 lalu. Dimana dikatakan ada keterlibatan aktor-aktor Asing dalam proses Amandemen tersebut,” jelas Mantan Ketua Umum PSSI itu.
Buku itu menyebut pihak yang terlibat adalah United Nations Develepment Program (UNDP) dan United State Agency for International Development (USAID), Institute of Democracy and Electoral Assistance (IDEA), International Foundation for Election System (IFES), dan National Democratic Institute (NDI) serta International Republican Institution (IRI).
“Dikatakan Valina Singka, mereka tidak hanya terlibat dalam masalah
pendanaan. Tetapi juga konsep pemikiran dan hadir dalam rapat-rapat. Dari sini kita bisa menarik benang merah, bahwa suasana kebatinan saat pembahasan atau sidang-sidang BPUPKI oleh para pendiri bangsa, sudah sangat bertolak belakang dengan suasana kebatinan saat Amandemen dilakukan di tahun 2002 silam,” jelasnya.
Oleh karena itu, jika sebelum Amandemen, Sila Keempat dari Pancasila tercermin jelas di Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 dan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945, maka setelah Amandemen cerminan tersebut hilang.
MPR bukan lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, sehingga tidak lagi menjadi mandataris atau bertanggung jawab kepada MPR.
“Padahal para pendiri bangsa ini memaknai Kedaulatan Rakyat dipegang oleh MPR, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang terdiri anggota
DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan,” ucap dia.
Artinya MPR memegang kekuasaan negara yang tertinggi, menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-
Garis Besar Haluan Negara. Sehingga Presiden dipilih MPR, tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR, wajib menjalankan putusan-putusan MPR dan harus menjalankan haluan negara menurut Garis-Garis Besar yang ditetapkan oleh MPR.
“Setelah Amandemen, MPR hanya melantik Presiden. Yang menetapkan; Komisi Pemilihan Umum. Lalu kepada siapa Presiden bertanggungjawab dan harus patuh? Jika jawabnya kepada rakyat secara langsung, bagaimana caranya? Ini menjadi PR kita semua,” tegasnya.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, yang menjadi narasumber dalam kuliah umum, amandemen ke-5 konstitusi sudah seharusnya dilakukan. Ia pun mengapresiasi DPD RI yang menginisiasi wacana tersebut.
“Saya senang DPD mau buka peran untuk keran yang selama ini tertutup. Tapi tantangannya adalah yang penting political approach. Tantangan ini harus dibaca betul karena saya tidak melihat parpol mau membuka akses. Anda bisa minta apa saja dari politisi, tapi jangan minta keikhlasan dari mereka,” paparnya.
Rektor Universitas Fajar, Dr Mulyadi Hamid, yang mengikuti kuliah umum, menyatakan setuju dengan wacana amandemen. Hanya saja ia meminta agar amandemen dilakukan secara terbatas dan menghindari isu-isu mengenai masa jabatan 3 periode untuk presiden.
“Harus ada langkah tepat bagaimana menyiapkan metodologinya, substansi yang harus diperjuangkan. Karena kita sebagai masyarakat daerah sangat berharap ke wakil-wakil kita di DPD RI, sementara sekarang kewenangan DPD sangat terbatas,” ujarnya. (*)