banner 468x60
Opini  

Khilafah, Ciyus?

Khilafah
banner 468x60

Oleh: Arief Abbas

Mahasiswa Magister Center for Religious and Cross Cultural Studies UGM

 

Kemarin, 3 Maret 2019, di Jogjakarta, puluhan/ratusan anak muda yang mengatasnamakan diri sebagai Aliansi Masyarakat Jogjakarta melakukan demonstrasi dan sempat membuat publik heboh dengan dua slogan yang mereka usung. Kurang lebih, slogan itu tertulis:

“96 Tahun Tanpa Khilafah Umat Islam Tertindas”.

Dan satunya lagi berbunyi:

“Saatnya Kita Kembalikan Kemuliaan Islam Dengan Persatuan Umat Islam Dunia”.

Besar kemungkinan gerakan kemarin lahir sebagai refleksi sejarah runtuhnya Khilafah Islamiyah terakhir di Ottoman, Turki, 3 Maret 1924 yang, alhasil menceraikan negara Islam yang awalnya satu, lalu menjadi hampir 50 negara bagian.

Dengan cepat aksi ini ditanggapi oleh masyarakat, khususnya yang berada jagat dunia maya. Dan jika boleh saya sederhanakan, respons publik terbagi menjadi dua kutub: 1) mereka yang mendukung, rerata aktifis eks-HTI dan sayap underboundnya seperti Gema Pembebasan; 2) dan mereka yang menentang, rata-rata didominasi oleh warga Nadhliyin dan Muhammadiyah, non-Muslim, berikut berbagai lapisan masyarakat lain yang notabenenya menolak khilafisme dan pendirian negara Islam.

Mereka yang berada pada posisi mendukung gerakan ini merasa bahwa satu-satunya jalan untuk menyatukan Islam dan menyudahi segala penderitaan Muslim di berbagai belahan dunia adalah dengan menegakkan negara Islam; sedang mereka yang menolaknya argumen bahwa khilafisme dan seluruh gerakan sayap-sayap organiknya dapat membahayakan ideologi negara, yakni Pancasila; sebagai konsekuensi logisnya, dapat merusak kebhinekaan bangsa Indonesia.

Secara pribadi, saya menolak konsep negara Islam. Asumsi saya sederhana. Pertama, konsepsi negara Islam tidak memiliki presedennya dalam sejarah. Pun jika kita menyasar praktik pergantian kekuasaan setelah wafatnya Nabi Muhammad adalah bagian dari khilafah, maka itu tidak bisa dijadikan landasan. Sebab, Abu Bakar diangkat secara aklamasi; Umar diangkat melalui wasiat; Utsman diangkat melalui tim formatur yang diprakarsai Umar; dan Ali diangkat melalui aklamasi.

Kedua, aliran-aliran dalam tubuh Islam itu tidak mungkin untuk disatukan. Selalu ada perbedaan dalam tafsir terhadap dua korpus besar Islam, yakni al-Quran dan Hadist. Perbedaan ini tidak hanya pada masalah-masalah khilafiyah, namun juga dalam hal-hal penting seperti akidah.

Bagi saya, bentuk keragaman dalam tubuh Islam sendiri merupakan sesuatu yang natural. Islam memang satu, namun ia bermanifestasi dalam pusparagam kultur dan kebudayaan sehingga melahirkan pandangan yang berbeda satu sama lain. Dengan kata lain, untuk mengakomodir seluruh faksi ke dalam satu konsep ideologi dan pemerintahan adalah ide yang paradoks.

Namun pertanyaannya, apakah argumentasi yang juga dibangun dengan dasar ‘ketakutan’ terhadap “Khilafah Islamiyah” yang, alhasil berpotensi membatasi gerak seseorang untuk bersuara di ruang publik atas apa yang dia yakini itu bisa dikatakan valid dan berlaku dalam negara yang memiliki prinsip dasar demokrasi, seperti Indonesia? Saya kira juga tidak.

Prinsip dasar negara demokrasi itu adalah kesetaraan hak dalam pengambilan keputusan selama dilakukan dengan cara yang sehat dan tidak bersifat eksplotatif. Demokrasi mengizinkan warga negaranya, secara langsung maupun lewat jalur perwakilan, untuk dapat berpartisipasi dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Artinya, selama apa yang dilakukan oleh para pendemo itu tidak mengganggu ketentraman publik dan masih dalam koridor hukum yang berlaku di negara demokrasi, maka hal itu sah-sah saja.

Tapi, mari berandai lebih jauh. Jika seandainya apa yang diperjuangkan oleh aktivis Khilafah Islamiyah ini akhirnya diakomodir, dengan asumsi telah memenuhi persyaratan yang diberlakukan oleh demokrasi, apakah Indonesia akan berubah menjadi negara Islam? Tidak semudah itu juga. Di dalam forum-forum politik, kontestasi antara aktor politik akan selalu terjadi. Itu sebabnya, di dalam politik, perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah.

Namun, suara mayoritaslah pada akhirnya yang akan menentukan rumusan peraturan dan kebijakan negara. Mayoritas di sini tidak ditentukan oleh kuantitas, melainkan siapa yang memiliki relasi-kuasa paling kuat, maka merekalah yang memiliki kontrol terhadap hasil rumusan kebijakan dan peraturan negara.

Artinya, andaikata dari segi kuantitas umat Islam Indonesia menginginkan negara Islam, namun parlemen Indonesia justru didominasi oleh orang-orang yang menolak gagasan Khilafah Islamiyah, maka secara otomatis, ide itu bakal selamanya mengendap di dalam ruang kedap suara.

Pendek kata, aksi-aksi demonstrasi dengan tagline Khilafah Islamiyah yang sesekali buming itu sebenarnya tidak harus menjadi konsen paling utama, apalagi harus menguras tenaga masyarakat Indonesia secara berlebihan. Sabab mereka hanyalah riak yang bermain di dalam pusaran gelombang demokrasi.

Di sisi lain, radikalisme agama memang harus menjadi perhatian, namun jangan sampai ia juga menutupi berbagai ketimpangan yang ada. Misalnya, sudah sejauh mana pembangunan infrastruktur itu ternyata berpengaruh besar atas tercerabutnya nilai-nilai adat dan budaya masyarakat lokal?

Atau, apa konsekuensi logis negara bagi para korporat bejat yang mengirim mesin-mesin besar untuk meratakan jutaan tajuk pohon dan hutan masyarakat dengan dalih kesejahteraan bersama?

Di bawah bintang dan bulan, percayalah, para korporat itu tidak pusing soal radikalisme atau omong-omong soal negara Islam. Sebaliknya, mereka akan tertawa dalam damai, selagi kobaran api merobek jutaan hektar hutan dengan perlahan.

Mereka lalu bertanya, “kau tahu bagaimana suaranya?” Suaranya menelan sahutan bajing, membungkam paruh burung beo, punai, dan ciung; menyingkirkan tumpukan daun Bungur dan Mersawa yang kering ke dalam tanah Industri!

Jadi, plis deh, jika Anda merasa bahwa ada sekelompok masyarakat yang memperjuangkan ideologi tertentu sebagai ancaman kebudayaan kita yang bhineka itu, jangan lupa juga arahkan protes yang sama pada para pemangku kebijakan yang merusak keistimewaan daerahnya sendiri dengan kebijakan yang tidak masuk akal.*****

Baca berita kami lainnya di


banner 468x60
banner 468x60