READ.ID – Di antara deretan rumah tua di Kota Tua Gorontalo, dua sosok asing tampak berdiri lama di depan sebuah bangunan bergaya kolonial. Di tangan mereka tergenggam selembar foto lusuh berwarna sepia, yang usianya lebih dari seabad lalu.
Mereka menatap bergantian antara foto dan bangunan di hadapan mereka, lalu saling berpandangan dengan mata berkaca-kaca.
Yannick Jaime datang bersama saudaranya, Kenneth Maxime, dari Belanda ke Gorontalo bukan untuk berlibur, tetapi untuk mencari jejak keluarga yang hilang dalam perjalanan waktu. Mereka membawa warisan berupa foto-foto tua dan cerita keluarga yang turun-temurun, tentang buyut mereka yang pernah tinggal dan wafat di Kota Gorontalo.
“Kami hanya punya foto lama dan sedikit cerita. Tapi hati kami yakin, kami harus ke sini,” tutur Yannick pelan, mengenang perjalanan penuh harap dan keharuan itu.
Kakek Buyut mereka, J Caffin, lahir di Belanda pada 15 Maret 1865 dan wafat di Gorontalo pada 25 September 1949. Istri J Caffin, Beatrise Anetta Caffin, lahir di Ambon pada 21 Juni 1873 dan menghembuskan napas terakhir di Gorontalo pada 16 Juni 1962.
Dari arsip dan kisah keluarga, mereka tahu bahwa Caffin pernah menjabat sebagai Kepala Pelabuhan Gorontalo pada tahun 1890, masa ketika pelabuhan menjadi urat nadi perdagangan di pesisir utara Sulawesi.
Berbekal foto hitam putih, mereka menapaki jalan-jalan di jantung Kota Tua Gorontalo. Deretan bangunan tua, jendela kayu lebar seperti membawa mereka melintasi waktu. Hingga akhirnya, pandangan mereka tertuju pada sebuah rumah yang tampak sangat akrab.
Struktur bangunannya, lengkung jendelanya, bahkan pilar depannya sama persis seperti dalam foto, di wilayah ini memang banyak berdiri megah rumah peninggalan belanda dengan arsitektur yang mudah dikenali .
Mereka mengetuk pintu, seorang penghuni rumah menyambut dengan ramah. Percakapan hangat pun terjadi, hingga akhirnya terungkap bahwa keluarga yang kini tinggal di rumah itu masih memiliki hubungan darah dengan keluarga Caffin.
Bagi mereka, menemukan rumah itu seperti menemukan potongan diri yang hilang. Sejarah keluarga yang selama ini hanya diceritakan dalam kisah masa kecil kini berdiri nyata di depan mata, lengkap dengan aroma kayu tua dan angin laut Gorontalo yang lembut.
Perjalanan mereka berlanjut ke Pelabuhan Gorontalo, tempat buyut mereka dulu bekerja. Bersama pemandu wisata dari Harry and Mimin Homestay dan beberapa warga, mereka mencari jejak makam keluarga. Setelah beberapa hari mencari dan bertanya, mereka akhirnya tiba di sebuah area sunyi yang dipenuhi rerumputan.
Di Kelurahan Tenda, Kota Gorontalo, mereka menemukan dua nisan tua di antara beberapa makam lainnya dengan nama yang tak asing yaitu J Caffin dan Beatrise Anetta. Hening menyelimuti tempat itu. Yannick berlutut, membersihkan rumput yang menutupi batu nisan, sementara Kenneth menatap nama buyutnya dengan mata yang basah.
“Kami tak bisa berkata-kata. Ini bukan sekadar menemukan makam, tapi menemukan bagian dari sejarah hidup kami yang sempat hilang,” ujar Yannick lirih.
Momen itu menjadi puncak perjalanan mereka, campuran antara haru, syukur, dan kelegaan. Mereka mengabadikan momen itu dengan foto dan doa, seolah berbicara pada jiwa-jiwa yang bersemayam di bawah nisan.
Kebaikan yang menyentuh hati
Pemilik Harry and Mimin Homestay Mukmin Badu menjadi saksi perjalanan bersejarah itu. Ia mengaku awalnya mengira kedua wisatawan asal negeri tulip tersebut datang hanya untuk berlibur seperti turis pada umumnya yang datang ke daerah itu.
“Saya pikir mereka mau ke pulau-pulau. Tapi setelah berbincang, mereka bilang ingin mencari keluarga mereka di sini,” kata Mukmin.
Ia pun membantu sebisanya, mencarikan informasi, menemani ke lokasi-lokasi lama, hingga akhirnya mereka menemukan apa yang mereka cari. “Saya ikut terharu melihat ekspresi mereka waktu menemukan rumah dan makam itu,” kata Mukmin.
Yannick dan Kenneth mengaku perjalanan ini bukan sekadar wisata sejarah, tetapi perjalanan jiwa. Mereka tak hanya menemukan masa lalu, tapi juga merasakan hangat nya kebaikan orang-orang Gorontalo yang membantu tanpa pamrih.
“Orang Indonesia, terutama di Gorontalo, luar biasa ramah. Mereka memperlakukan kami seperti keluarga sendiri. Kami datang sebagai orang asing, tapi pulang sebagai bagian dari mereka,” ujar Kenneth.
Sebelum meninggalkan Gorontalo, mereka sempat berdiri lama di tepi pelabuhan, memandangi laut biru yang sama dengan yang dulu dilihat oleh buyut mereka. Ombak berkejaran lembut, seakan membawa pesan dari masa lalu.
Bagi Yannick dan Kenneth, perjalanan ini menegaskan bahwa akar keluarga tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu ditemukan, di tempat yang menyimpan kenangan dan kisah cinta lintas generasi.
Walaupun saat ini raga dua bersaudara itu telah meninggalkan Gorontalo untuk mencari jejak lain keluarga di penjuru Nusantara, namun mereka telah meninggalkan jiwa dan cinta bahkan untuk kota yang hanya diketahui melalui cerita dan lembaran berharga lukisan cahaya.