Komisaris Rasa Keluarga: Kalau Kompeten, Kenapa Tidak?

Oleh: Julianhar Ohi (Presiden BEM Universitas Ichsan Gorontalo Utara)

Di Gorontalo, ada isu yang lebih menggelegar dari suara toa masjid subuh: dugaan anak mantu Gubernur mau jadi komisaris Bank SulutGo. Publik heboh, netizen terbelah, dan grup WhatsApp mendadak jadi forum investigasi tak resmi.

banner 468x60

Kata kuncinya: nepotisme. Ya, tuduhan yang kadang dilempar lebih cepat dari logika datang. Padahal, pengangkatan komisaris itu bukan hasil ujuk-ujuk atau akal-akalan. Ada RUPS, ada pemegang saham se-Sulawesi Utara dan Gorontalo yang punya suara, dan yang paling penting: ada fit and proper test dari OJK. Kalau gagal tes, ya wassalam mau anak mantu siapa pun.

Tapi dasar medsos, semua keburu panas. Seolah hubungan darah otomatis menggugurkan seluruh peluang. Logikanya sederhana tapi menyesatkan: kalau kamu keluarga pejabat, kamu harus menganggur demi menjaga moral publik. Lah, yang begitu bukan menjaga integritas, tapi melanggengkan diskriminasi.

Publik memang berhak curiga, tapi jangan sampai akal sehat ditinggal. Kita perlu tahu beda antara kritik dan nyinyir, antara pertanyaan yang sehat dan tuduhan serampangan. Bank SulutGo ini lembaga keuangan publik, bukan grup arisan keluarga. Tapi bukan berarti siapa pun yang punya koneksi harus dilarang tampil, apalagi jika punya kompetensi.

Yang perlu dikawal bukan siapa yang masuk, tapi bagaimana prosesnya berjalan: transparan, akuntabel, dan adil. Karena kalau semua orang harus dicurigai dulu sebelum diuji, kita bukan lagi masyarakat demokratis—tapi pemuja prasangka.

Dan, hei, publik yang cerdas itu bukan yang paling keras bersuara, tapi yang paling jernih menilai.*****

Baca berita kami lainnya di

banner 468x60