READ.ID- Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) melakukan rapat kerja (Raker) dengan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil, Menengah dan Mikro dalam rangka membahas pelaksanaan UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM Raker dihadiri oleh Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki beserta jajaran pejabat kementerian. Selasa, (6/10).
Wakil Ketua Komite IV DPD RI, Novita Anakotta sebagai pemimpin rapat, menjelaskan bahwa Raker dimaksudkan untuk mendapatkan informasi dari Kementerian Koperasi dan UKM tentang kinerja pengembangan Koperasi dan UKM serta menindaklanjuti temuan-temuan Anggota DPD RI di lapangan yang terhimpun pada masa reses terkait dengan UMKM.
Secara umum, Senator asal Provinsi Maluku menjelaskan bahwa masih terdapat beberapa permasalahan terkait pemberdayaan UMKM, misalnya terkait kualitas dan kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) pelaku UMKM masih tergolong rendah serta minimnya pengetahuan terhadap kewirausaahan sehingga berdampak pada produktivitas UMKM. Dari aspek legalitas dan perizinan, banyak UMKM yang belum memahami sepenuhnya regulasi dan peraturan yang mengaturnya. Selanjutnya, terdapat permasalahan banyak UMKM yang masih kesulitan akses permodalan dan pendanaan yang seringkali masih dirasakan oleh sebagian UMKM, khususnya UMKM yang baru merintis usaha.
Ketua Komite IV DPD RI Sukiryanto mengungkapkan terdapat beberapa permasalahan yang ditemui di lapangan, misalnya terkait pengenaan PPh UMKM yang memiliki peredaran bruto Rp4,8 miliar per tahunnya. Ia berharap PKP bruto dapat dinaikkan menjadi Rp7 miliar – Rp10 miliar per tahun agar UMKM tidak digolongkan sebagai pengusaha besar. Sementara itu, terkait Bantuan Presiden untuk UMKM senilai Rp2,4 juta, Sukiryanto mencermati bahwa ada temuan belum meratanya Banpres untuk UMKM di daerah. “Masih banyak pendaftar yang telah terdata di gelombang I tapi belum menerima banpres. Sedangkan ada yang mendaftar di gelombang II justru telah mendapatkan bantuan. Ini berpotensi ganda,” katanya.
Senator asal Sulawesi Tenggara, Amirul Tamim, menyayangkan kondisi UMKM di luar Pulau Jawa yang mengalami banyak kendala, mulai dari mahalnya bahan pendukung produk seperti kemasan (packaging) yang sebagian besar didatangkan dari Pulau Jawa. Sementara itu, biaya pengiriman dari luar Pulau Jawa ke Jawa juga masih relatif mahal, sehingga produk UMKM di luar Pulau Jawa sulit bersaing. “Ini diperlukan koordinasi lintas sektor dan ada kebijakan-kebijakan intervensi dari pemerintah misalnya subsidi transportasi angkutan laut untuk menghemat biaya sehingga produk UMKM di luar Jawa bisa masuk Jawa,” katanya.
Wakil Ketua Komite IV DPD RI, Casytha A Kathmandu mengungkapkan salah satu temuan pada masa resesnya terkait UMKM, yaitu adanya kelompok UMKM di salah satu Kabupaten di Jawa Tengah yang telah berhasil membuat kelompok untuk berjualan online di salah satu platform. “Ini hal yang bagus untuk meningkatkan daya saing UMKM lokal. Dan Kementerian Koperasi dan UKM perlu membina dan memfasilitasi kreativitas mereka,” katanya. Selain itu, Senator asal Provinsi Jawa Tengah tersebut juga menyoroti pentingnya inkubasi bisnis berbasis kampus untuk menggerakkan kewirausahaan, dengan melibatkan kerjasama lintas sektor.
Sementara itu, Senator Haripinto menyoroti kebijakan pemerintah melalui Kementerian Keuangan yaitu Peraturan Menteri Keuangan No. 199 tahun 2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai dan Pajak atas Impor Barang Kiriman, di mana semua kiriman yang keluar dari Batam dikenakan pajak bea masuk, PPh, dan PPn (17,5%-40%). “Produk UMKM di Kepri yang masuk kawasan khusus Batam dikenakan PMK ini, sehingga mereka sulit berdaya saing karena harga produk menjadi tinggi,” katanya.
Menteri Teten Masduki menyatakan bahwa Kementerian KUKM telah mencanangkan 3 (tiga) pilar strategi pengembangan UMKM yang tertuang dalam Rencana Kerja tahun 2020. Strategi nasional pengembangan UMKM tersebut meliputi 3 pilar, 6 strategi, 18 rencana aksi, dan 75 kegiatan. Tiga pilar yang dimaksud yaitu: a) meningkatkan kapasitas dan kompetensi UKM; b) membangun lembaga keuangan yang aman bagi UKM; dan c) koordinasi lintas sektor.
Lebih lanjut, Teten menginformasikan bahwa jumlah UMKM di Indonesia saat ini mencapai 64 juta, di mana 98% dari total tersebut dikategorikan sebagai usaha sampingan karena tidak ada pekerjaan lain. “Untuk kategori ini, mereka tidak membutuhkan pendampingan khusus, tetapi memerlukan bantuan modal kerja,” jelasnya.
Sementara itu, sebagian kecil dari total UMKM di Indonesia memang perlu ditumbuhkembangkan usahanya sehingga bisa naik kelas atau menjadi enterpreneur. “Untuk kategori ini diperlukan pendekatan inkubasi, pendampingan, perlu dibangun ekosistemnya, agar mereka bisa mengakses pembiayaan, teknologi, pasar, dan sebagainya,” tambah Teten.
Terkait keberadaan Koperasi, Teten Masduki menjelaskan bahwa Kementerian Koperasi dan UKM memfokuskan program dan mendorong agar LPDB khusus koperasi untuk pengembangan pembiayaan. “Kami sedang menginisiasi bagaimana supaya UMKM yang kecil-kecil bisa bergabung dengan Koperasi. Kemudian bagaimana kita bangun sentra-sentra produksi UMKM untuk memudahkan konsolidasi dan pengembangan usaha,” katanya.
Lebih lanjut, Teten Masduki menjelaskan pihaknya telah menjalin sinergi dengan BUMN dan usaha besar lainnya, melalui pelibatan UMKM dalam pengadaan barang dan jasa, pasar digital UMKM (PaDi), belanja di warung tetangga, dan perluasan PEN LPDB untuk penyerapan produk pangan.
Terkait program digitalisasi UMKM, Teten menjelaskan saat ini seluruh wilayah Indonesia bisa terhubung ke ekonomi digital dan banyak platform digital yang sudah tumbuh untuk mengakomodir produk-produk petani, nelayan, dll. “Selama pandemi Covid-19, ada sekitar 30 platform digital baru yang akan banyak membantu UMKM agar punya market yang besar. Problemnya, bukan hanya akses internet, tapi UMKM harus punya kemampuan dalam kapasitas dan kualitas produksinya karena persaingan brand besar di pasar digital,” ungkapnya. (*)