Oleh: Yustina Hiola
Seorang Dosen Akuntansi UNG yang Masih Percaya pada Etika dan Angka
Sebagai seseorang yang sudah cukup lama berkecimpung di dunia laporan keuangan, saya selalu meyakini satu hal: angka tidak pernah berbohong. Namun, angka pun tidak selalu menyampaikan cerita secara utuh. Salah satu kasus yang menarik perhatian saya datang dari PT Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Utara Gorontalo, yang lebih dikenal dengan Bank SulutGo (BSG).
Laporan keuangan BSG untuk tahun 2024 memang terlihat mengesankan. Sangat mengesankan, bahkan. Kantor Akuntan Publik memberikan opini wajar tanpa pengecualian—sebuah sinyal bahwa dari segi teknis, tidak ada masalah berarti dalam penyajian laporan keuangan mereka. Laba bersih dibagikan, dividen mengalir kepada pemegang saham, dan rasio-rasio yang ada tampak sehat di permukaan. Sempurna!
Namun, sebagaimana seorang dosen yang selalu mengingatkan mahasiswanya bahwa neraca itu bukan segalanya, mari kita lihat lebih dekat di balik layar laporan keuangan ini.
BSG pada 2024 mencatatkan total kredit sebesar Rp15,92 triliun, dan yang mengejutkan adalah 92% dari kredit tersebut disalurkan kepada ASN Pemda Sulut dan Gorontalo dalam bentuk kredit konsumtif. Dengan kata lain, hampir seluruh pinjaman yang diberikan oleh bank ini bergantung pada gaji pegawai negeri.
Saya tidak mengatakan ini salah. Ini adalah model yang umum digunakan oleh bank-bank pembangunan daerah karena relatif lebih aman—gaji ASN cenderung stabil. Namun, masalah muncul ketika kita melihat struktur dana pihak ketiga (DPK), atau dana simpanan nasabah.
Dari total dana masyarakat sebesar Rp15 triliun, sebanyak Rp11,18 triliun berasal dari deposito jangka pendek. Dan yang membuat saya terkejut adalah seluruh deposito tersebut akan jatuh tempo dalam 12 bulan ke depan. Bahkan, sekitar Rp8,79 triliun di antaranya akan jatuh tempo hanya dalam 3 bulan ke depan. Ini bukan angka sembarangan; ini bisa dianggap sebagai “bom waktu” yang berpotensi mengancam likuiditas BSG.
Jika kita bandingkan dengan “aset lancar” BSG, kredit yang akan lunas dalam periode yang sama (3-12 bulan) hanya sekitar Rp550 miliar. Sederhananya, BSG akan ditagih sebesar Rp11 triliun dalam 12 bulan ke depan, namun hanya mengharapkan pelunasan dari kredit sekitar Rp550 miliar dalam jangka waktu yang sama. Sisanya? Masih dalam masa angsuran yang panjang.
Ibarat seseorang yang memiliki penghasilan Rp5 juta per bulan, namun tiba-tiba ditagih utang sebesar Rp100 juta dalam tiga bulan ke depan. Bisa bayangkan bagaimana paniknya?
Dan itu baru sisi keuangan. Kita belum membahas soal politik internal pemegang saham. Tahun ini, Pemda Gorontalo menerima dividen sebesar Rp37 miliar dan dana CSR tambahan sekitar Rp6,9 miliar. Namun yang menarik, tidak ada satu pun wakil dari Gorontalo yang duduk di jajaran direksi atau komisaris BSG. Bagi pemegang saham minoritas seperti Pemda Gorontalo yang memiliki 18,25% saham, ini tentu saja sebuah tamparan.
Mereka tidak tinggal diam. Beberapa kepala daerah di Gorontalo sudah mengancam untuk menarik seluruh dana RKUD mereka dari BSG jika tidak ada keterwakilan di manajemen bank tersebut.
Ini bukan hanya gertakan. Ini adalah peringatan serius. Jika dana RKUD ditarik, salah satu sumber dana murah terbesar bagi BSG akan hilang. Dan kembali lagi pada masalah likuiditas tadi—deposito yang jatuh tempo dalam 3 bulan dan aset yang tidak cukup cepat berubah menjadi kas. Ancaman Pemda Gorontalo tersebut bisa mengguncang struktur likuiditas BSG dalam waktu yang sangat singkat.
Sebagai akademisi, saya harus tetap objektif: secara rasio keuangan, BSG memang masih tampak sehat. Namun, laporan keuangan bukan hanya sekadar kumpulan angka. Ia mencerminkan struktur risiko dan hubungan antar pemangku kepentingan. Dalam hal ini, BSG menghadapi pekerjaan rumah besar untuk membangun kembali rasa saling percaya dengan pemegang saham dari Gorontalo.
Saya tidak tahu apakah BSG akan membuka ruang dialog atau jika Pemda Gorontalo benar-benar akan menarik dananya. Namun satu hal yang saya tahu pasti: kepercayaan tidak tercatat dalam neraca, tetapi jika hilang, nilainya bisa lebih mahal daripada semua aset yang tercatat.
Itulah pelajaran terbesar yang bisa diambil dari laporan keuangan BSG tahun 2024. Laba boleh meningkat, opini audit bisa bersih, tapi jika pemegang saham merasa tidak dihargai dan likuiditas bank terancam, sebuah bank daerah bisa goyah hanya karena satu hal yang tak terlihat: hilangnya rasa dihargai.