Krisis Kepercayaan dan Kekosongan Regulasi Kinerja DPRD

READ.ID – Beberapa waktu terakhir, kita sering menyaksikan demonstrasi di depan gedung-gedung DPRD di berbagai daerah. Ada yang berlangsung damai, ada pula yang berakhir ricuh hingga merusak fasilitas publik. Slogan yang menggema bahkan terdengar cukup ekstrem: “Bubarkan DPRD!”.

Fenomena ini tidak bisa direduksi sekadar sebagai luapan emosi sesaat. Ia adalah gejala dari krisis yang lebih dalam: hilangnya kepercayaan masyarakat kepada wakilnya. Rakyat merasa DPRD sibuk dengan urusan politik dan administratif, sementara fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran jarang memberi dampak nyata yang dirasakan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Gelombang protes itu sebetulnya menunjukkan ada masalah mendasar dalam hubungan antara rakyat dan wakilnya.

Ketidakpercayaan publik ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah wakil rakyat kita benar-benar bekerja sesuai mandat? Untuk menjawabnya, kita perlu menelusuri kerangka hukum yang mengatur DPRD. Dari sini akan terlihat bahwa meskipun regulasi begitu banyak, tidak ada satupun yang menyediakan instrumen untuk menilai kinerja setiap anggota secara objektif.

Kerangka Regulasi DPRD

DPRD bukan lembaga tanpa aturan. Konstitusi melalui Pasal 18 UUD 1945 menegaskan peran DPRD sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan perubahannya lewat UU Nomor 9 Tahun 2015 menugaskan DPRD menjalankan tiga fungsi utama: legislasi, anggaran, dan pengawasan.

 

UU MD3 yang telah beberapa kali direvisi mengatur hak, kewajiban, hingga tata kelola kelembagaan DPRD. UU No. 7 Tahun 2023 tentang Pemilu juga memastikan proses rekrutmen wakil rakyat melalui mekanisme demokratis. Namun, seluruh regulasi itu berhenti pada kerangka normatif dan prosedural. Ia hanya menjelaskan apa fungsi DPRD, bukan bagaimana kinerja setiap anggota dapat diukur secara objektif. Inilah yang membuat masyarakat sulit menilai sejauh mana DPRD sungguh bekerja untuk mereka.

Kekosongan ini semakin tampak ketika kita melihat aturan di level peraturan pemerintah. Walaupun teknis dan detail, peraturan tersebut lebih menekankan pada prosedur administratif ketimbang indikator kinerja. Dengan kata lain, aturan ada, tetapi tolok ukur nyata untuk menilai hasil kerja anggota DPRD tetap hilang.

Peraturan Pemerintah tentang DPRD

PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Tata Tertib DPRD memang rinci mengatur mekanisme rapat, alat kelengkapan, dan kode etik. Evaluasi yang dilakukan sebatas pada pelanggaran etik, bukan produktivitas atau kualitas kerja anggota.

PP Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan DPRD kini telah diganti dengan PP Nomor 1 Tahun 2023. Aturan ini detail mengatur gaji, tunjangan, dan fasilitas anggota, tetapi tidak mengaitkan hak-hak itu dengan capaian kinerja. PP Nomor 8 Tahun 2008 tentang Perencanaan Pembangunan Daerah pun kini diatur lebih lanjut dalam Permendagri Nomor 86 Tahun 2017, dengan penekanan pada prosedur teknis perencanaan, bukan kontribusi DPRD di dalamnya. Bahkan PP No. 56 Tahun 2005 yang diganti PP No. 65 Tahun 2010 juga masih menitikberatkan pada sistem informasi keuangan, tanpa ukuran untuk menilai peran DPRD.

 

Pola yang sama juga terjadi di level peraturan menteri. Alih-alih memberi ukuran evaluatif, Permendagri hanya berfokus pada teknis prosedural. Akibatnya, meski DPRD mengikuti aturan, publik tetap tidak punya dasar untuk menilai apakah kerja mereka berkualitas atau tidak.

Peraturan Menteri tentang DPRD

Permendagri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah dan perubahannya melalui Permendagri Nomor 120 Tahun 2018 hanya memberi panduan teknis penyusunan perda. Pertanyaan apakah perda itu relevan, berkualitas, dan efektif, sama sekali tidak dijawab.

Permendagri Nomor 133 Tahun 2017 tentang Orientasi Anggota DPRD, yang kemudian diperbarui melalui Permendagri Nomor 14 Tahun 2018 dan terbaru Permendagri Nomor 6 Tahun 2024, memang memberikan bekal awal bagi anggota dewan. Tetapi pembekalan itu tidak diikuti mekanisme evaluasi yang mengukur sejauh mana anggota DPRD melaksanakan tugasnya setelah resmi menjabat. Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pun memberi arahan teknis bagi birokrasi, sementara DPRD hanya menjadi bagian dalam pembahasan tanpa ukuran yang jelas atas kontribusinya.

Di titik inilah terlihat jelas jurang antara regulasi dan kebutuhan publik. Regulasi ada untuk mengatur proses, tetapi publik menuntut bukti hasil. Perbedaan orientasi ini yang pada akhirnya memperlebar krisis kepercayaan antara DPRD dan masyarakat.

Kesenjangan Regulasi dan Kinerja Substantif

Meskipun regulasi DPRD melimpah, semuanya berhenti pada tataran normatif. Evaluasi kinerja anggota DPRD masih sebatas etika dan disiplin, bukan kualitas substantif.

Dimensi yang sesungguhnya menentukan keberhasilan DPRD adalah kualitas legislasi, efektivitas pengawasan, keberpihakan anggaran, representasi aspirasi publik, hingga integritas personal. Tanpa instrumen untuk menilai aspek-aspek ini, publik hanya bisa berpegang pada gosip politik, pemberitaan media, atau sekadar jumlah perda. Jurang penilaian yang kabur inilah yang memicu krisis kepercayaan dan membuat suara rakyat lebih lantang di jalanan ketimbang di ruang sidang.

Situasi ini memberi pelajaran bahwa kritik masyarakat tidak bisa dianggap ancaman semata. Ia justru harus dilihat sebagai masukan untuk memperbaiki kelembagaan. Dengan cara itulah DPRD bisa merumuskan langkah solutif yang menjawab tuntutan zaman.

Rekomendasi Evaluasi Kinerja DPRD

Solusi dari krisis ini bukanlah membubarkan DPRD, sebab lembaga ini adalah bagian penting dari arsitektur demokrasi kita. Jalan keluar yang lebih konstruktif adalah menghadirkan instrumen evaluasi yang komprehensif, transparan, dan dapat diakses publik.

Instrumen tersebut perlu menilai bukan hanya kuantitas perda yang disahkan, tetapi juga kualitas dan relevansinya. Kehadiran di ruang sidang harus dibarengi dengan kontribusi nyata dalam pengawasan. Reses yang dijalankan harus diikuti tindak lanjut nyata terhadap aspirasi masyarakat. Lebih dari itu, integritas pribadi, keterbukaan laporan harta, kepatuhan kode etik, dan kemauan berkolaborasi dengan masyarakat sipil juga harus menjadi bagian dari ukuran.

Dengan adanya instrumen evaluasi seperti ini, DPRD memiliki cermin untuk mengukur diri, dan publik memiliki dasar yang objektif untuk menilai wakilnya. Pada gilirannya, jurang kepercayaan bisa dipersempit dan ruang sidang kembali menjadi tempat utama penyelesaian persoalan rakyat.

Penutup

Gelombang protes terhadap DPRD adalah tanda bahwa ada jurang yang harus dijembatani. Regulasi yang menumpuk ternyata masih menyisakan kekosongan besar: absennya alat ukur kinerja wakil rakyat.

Jika kekosongan ini terus dibiarkan, krisis kepercayaan akan semakin dalam. Tetapi jika kita berani merumuskan instrumen evaluasi yang menyeluruh dan transparan, suara dari jalanan bisa berubah menjadi dialog produktif di ruang parlemen daerah.

Demokrasi tidak akan runtuh oleh kritik. Justru sebaliknya, ia akan semakin kokoh bila kritik itu dijawab dengan akuntabilitas, keterbukaan, dan komitmen DPRD untuk memperbaiki diri. Pada titik itulah, suara rakyat tidak lagi berhenti di jalanan, tetapi menemukan rumahnya di ruang sidang.

 

Oleh: Irwan Hunawa

Ketua DPRD Kota Gorontalo & Mahasiswa S2 Administrasi Publik Universitas Negeri Gorontalo

Baca berita kami lainnya di

Exit mobile version