Kritisasi Model Akuntanbilitas dalam Good Governance
Dalam dua dekade terakhir, kita menjadi saksi dari pendewasaan pemikiran Neo-liberalisme yang diawali dengan sprektrum reformasi kemudian merasuk ke dalam sektor publik.
Munculnya ide mengenai “good governance” berawal dari mekanisme akuntabilitas yang selama ini banyak dikenal dengan akuntabilitas politik.
Perubahan ini menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma akuntabilitas dari teori klasik yang berfokus pada sistem administrasi yang memisahkan antara administrasi dan politik ke neo-klasik dimana berfokus pada penggunaan praktek manajemen kepemerintahan berbasis bisnis (new public management) dengan cara menganalisis negara dalam konteks hubungan yang lebih luas antara masyarakat dengan ekonomi.
Demi menunjang pertumbuhan, maka diperlukan adanya suatu sistem dalam suatu Negara, sehingga muncullah demokrasi. Salah satu pilar dalam demokrasi adanya pembentukan masyarakat yang mampu membentuk kontrol terhadap pemerintahan.
Seperti yang dikemukakan oleh Alexis de Toecqueville dalam bukunya “Tentang Revolusi, Demokrasi, dan Masyarakat” (2005) menyatakan bahwa masyarakat di dalam demokrasi berada dalam posisi kekuasaan terbesar (kekuasaan oleh rakyat) dalam filosofi pemilihan umum yang dikaitkan akan pentingnya memiliki andil dalam mengawasi keberlangsungan pemerintahan, mengendalikannya dari bentuk-bentuk abuse of power yang dapat terjadi.
Beberapa negara maju di Eropa seperti Jerman dan Inggris telah menerapkan konsep akuntabilitas hampir di setiap aspek kepemerintahan sejak tahun 1970-an.
Inggris di era John Major dan Toni Blair memasyarakatkan akuntabilitas dengan menyusun Output and Performance Analysis (OPA Guidance) atau pedoman tresuri kepada departemen/badan di lingkungan kepemerintahan dan Guidence on Annual Report yang berisikan petunjuk dalam menyusun laporan tahunan suatu badan kepada menteri, parlemen, dan masyarakat umum.
Di samping itu pemerintah Inggris menetapkan gagasan tentang Public Services for the Future: Modernisation, Reform, Accountability yang intinya setiap keputusan hendaknya jangan hanya berorientasi pada berapa banyak pengeluaran dan atau penyerapan dana untuk tiap area, tetapi juga mengenai peningkatan jasa yang diberikan dan perbaikan-perbaikan.
Birokrasi di Inggris dan Amerika lebih “bersahabat” dan dapat menerima kontrol para politisi karena memosisikan dari mereka sebagai pelaksana keinginan dari pemerintahan yang terpilih.
Berbeda dengan Inggris, Jerman sebagai negara yang berbentuk federasi, menetapkan bahwa keterlibatan pusat (central involvement) dalam kegiatan setiap menteri dibatasi pada masalah kepegawaian, teknologi informasi dan hal-hal keuangan.
Dari pola pemerintahan ini, maka pemerintah sesuai dengan tingkatannya secara formal mempunyai akuntabilitas (public accountability) kepada parlemen di tiap tingkatan pemerintahan (federal, negara bagian, dan lokal).
Demikian pula dengan menikmati tingkat independen operasional yang tinggi, maka seorang menteri dapat secara leluasa melakukan kegiatannya, dan dengan demikian konsep dan prinsip akuntabilitas dapat dilakukan secara komprehensif.
Meskipun birokrasi klasik ala Jerman cenderung terkesan rigid (tidak fleksibel) dan aloof (menjaga jarak), namun menaruh curiga pada aktor-aktor politiknya.
Dalam pemikiran Toecquiville mengungkapkan adanya kebutuhan bahwa masyarakat harus turut serta dalam urusan politik terutama urusan politik yang berhubungan dengan urusan pengaturan-pengaturan barang publik.
Jika kita bercermin dari pemikiran Toecquiville, adanya tuntutan untuk membentuk pemerintahan yang baik dan bersih demi menunjang pertumbuhan pembangunan dan perekonomian tanpa adanya pengaruh dari politisasi sehingga melahirkan suatu konsep yang saat ini kita kenal dengan dengan istilah “Good Governance” dimana konsep Good Governance merefleksikan perluasan secara substansial dari tanggung jawab sosial dan ekonomi pemerintahan modern.
Namun, hasil penilaian menunjukkan bahwa di beberapa negara sektor publik justru telah gagal menjadi mesin pembangunan nasional.
Di beberapa Negara bahkan menjadi penghambat bagi pembangunan. Birokrasi publik dianggap tidak mampu mengelola secara efektif dalam mengelola perusahaannya.
Sebaliknya, sektor swasta justru dipandang lebih memiliki kapasitas manajerial, lebih fleksibel karena didorong oleh semakin besarnya tingkat persaingan dalam menyediakan berbagai aktivitas yang sebelumnya diasumsikan menjadi bagian sektor publik.
Gelombang reformasi ini yang pada awalnya berasal dari Negara-negara ekonomi maju seperti Inggris, selanjutnya meluas tidak hanya kepada Negara-negara transisi ekonomi namun juga ke Negara-negara yang sedang berkembang, sebut saja China, yang merupakan salah satu Negara industry terbesar di Asia.
Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh -seorang tokoh politisi China- Deng Xiaoping didesain dalam menunjang pembangunan dan pertumbuhan sosial dan ekonomi yang pesat.
Setelah adanya liberalisasi ekonomi dan perkembangan perekonomian pedesaan pusat industry yang sangat signifikan juga dituntut adanya reformasi terhadap birokrasi di daerah perkotaan.
Dengan adanya reformasi atas birokrasi tidaklah menuntun perubahan bentuk kegiatan politik di China yang tetap undemocratic.
Jika dibandingkan dengan Negara kita sendiri, Indonesia, implementasi konsep akuntabilitas bukan tanpa hambatan. Meskipun Negara Indonesia telah menjadi Negara yang demokrasi, namun bukan tidak mungkin penerapan akuntabilitas menemui hambatan.
Sebagai salah satu contoh, dikarenakan rendahnya kesejahteraan pegawainya sehingga memicu untuk melakukan penyimpangan demi mencukupi kebutuhannya dengan melanggar asas akuntabilitas.
Ditambah lagi faktor budaya yang mendahulukan kepentingan keluarga dan kerabat dibandingkan pelayanan kepada masyarakat, menjadikan sebagai sebuah kebiasaan yang saat ini masih melekat pada masyarakat.
Hal ini tentunya berpengaruh pada lemahnya sistem hukum yang mengakibatkan kurangnya punishment jika sewaktu-waktu terjadi penyimpangan khususnya di bidang keuangan dan administrasi.
Konsep akuntabilitas di Indonesia memang bukan merupakan hal yang baru. Hampir seluruh instansi dan lembaga-lembaga pemerintah menekankan konsep akuntabilitas khususnya dalam menjalankan fungsi administrative kepemerintahan.
Setelah memasuki era reformasi dimana harapan baru dalam implementasi akuntabilitas mulai berkembang di Indonesia apalagi ditambah dengan kondisi banyakya tuntutan Negara-negara pemberi donor dan hibah sehingga menekan pemerintah Indonesia untuk segera membenahi sistem birokrasi agar terwujudnya good governance.
Pada dasarnya, semua hambatan itu dapat terpecahkan jika pemerintah beserta seluruh komponennya memiliki pemahaman yang sama akan pentingnya akuntabilitas di samping faktor moral hazard individu untuk menjalankan kepemerintahan secara amanah jika kita mengacu pada UNDP yang menegaskan mengenai prinsip-prinsip good governance, diantaranya partisipasi, ketaatan hukum, transparansi, responsive, berorientasi kepekatan, kesetaraan, efektif dan efisievn, akuntabilitas dan visi strategic.
Dengan adanya dukungan peraturan-peraturan yang berhubungan langsung dengan keharusan penerapan akuntabilitas di setiap instansi pemerintah menunjukkan keseriusan pemerintahan dalam upaya melakukan reformasi birokrasi.
Selain itu, di dalam pelaksanaan akuntabilitas dibutuhkan peranan masyarkat dan lembaga non pemerintah yang partisipatif, guna memberikan masukan, usulan, kritikan kepada pemerintah terhadap kebutuhan-kebutuhan pelayanan publik yang diinginkan oleh masyarakat.
Akuntabilitas dapat menjadi sebuah motivasi bagi para stakeholder untuk bertanggung jawab terhadap pelayanan publik sehingga mewujudkan suatu tatanan pemerintahan yang baik dan good governance yang bercirikan proses governing.
Dengan adanya akuntabilitas maka akan menjamin tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam proses pembuatan suatu kebijakan yang akan diterima oleh masyarakat dimana transparansi dan tanggung jawab kepada masyarakat akan pelayanan yang diberikan.
Dengan kata lain, penerapan akuntabilitas diperlukan adanya guna mewujudkan good governance yang baik.
Penulis : Andi Arjuni K. Petta Lolo
Mahasiswi Doktoral Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Hasanuddin, Makassar