Oleh: Muhammad Makmun Rasyid
Hari-hari istimewa terus bergulir, tak terasa di bulan Ramadan ini kita memasuki periode magfirah (ampunan). Di antara manusia, sama-sama berharap mendapat iming-iming pahala besar dari Allah. Kepastian janji-Nya selalu diiringi osyarat dan tanggungjawab. Dalam bahasa KH. Hasyim Muzadi, “janji Allah selalu bersyarat dan rahmat Allah selalu minta tanggungjawab”. Tidak ada di dunia ini hadiah tanpa bersyarat. Kekuasaan Allah SWT yang diberikan kepada manusia tidak ada yang lepas dari kontrol-Nya. Semuanya dalam pengawasan dan penglihatan secara tajam, sampai-sampai tidak ada celah untuk manusia untuk menipu segala peribadatannya. Bisa jadi, secara lahiriyah tampak ibadah tapi hati kotor dari perkara negatif dan sak wasangka.
Pengharapan begitu besar yang tidak diiringi kebersihan jiwa akan melahirkan hasil yang pas-pasan. Namun masih berguna daripada yang tidak beribadah sama sekali. Pengharapan kaum Muslimin semakin memuncak saat puasa ramadan sudah mendekati stadium akhir. Disinilah kegagalan demi kegagalan mulai tampak. Tenaga yang terforsir di awal-awal ramadan. Tentunya ini tampak sampai hal-hal fisik, seperti masjid yang safnya semakin maju karena peserta tarawih semakin melorot. Dengan segala kerendahan hati penulis, berprasangka baik bahwa mereka-mereka tetap beribadah di rumahnya.
Terlalu memforsir di awal-awal ramadan membuat tenaga untuk menjemput pahala seribu bulan dan bangun di waktu sahur menjadi perkara berat. Euforia membuncak lagi saat kehadiran Idul Fitri sudah di depan mata. Semula diperuntukkan sebagai hara raya kebahagiaan kepada mereka yang sukses berpuasa, tapi telah berubah menjadi festival tahunan yang syarat akan matarialistik. Alih-alih berbicara dan mencari pembaruan kejatidiran dan kesucian jiwa. Mungkin tak terpikirkan sama sekali.
Di tengah-tengah masa penantian bonus istimewa (Idul Fitri) dari seluruh kaum Muslimin, ada bonus besar yang diberikan kepada mereka yang giat mengharap keridaan-Nya. Momentum terbaik itu kerap dilukiskan tak ada yang membandinginya. Qur’an menyatakan, “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar” (Qs. Al-Qadr [97]: 1-5).
Nyatalah bahwa malaikat berkeliaran di bulan ramadan dan kabar gembira berupa kesejahteraan menyertai hamba-hamba-Nya yang menemui malam ini. Kaum Muslimin sesuai prediksi hadis untuk mengencangkan ikatan kainnya di akhir-akhir ramadan. Sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad. Beliau menghidupkan malam-malam ramadan, menjauhkan diri dari menggauli istrinya dan mempersedikit berbicara. Dalam fenomena umat Islam, akan banyak penjemputan itu dengan ritual i’tikaf.
Ritual i’tikaf ini sebuah tradisi yang tidak saja ada dalam agama Islam. Sumber Qs. Al-Anbiyâ’ [21]: 52 menyebutkan bahwa masyarakat Babilonia yang ada pada masa Raja Namrud pernah melakukannya. Namun dalam Islam, orientasi i’tikaf yakni mendekatkan diri kepada Allah. Disebutkan di dalam masjid, karena tujuannya agar mendapatkan ketentraman dan bisa berkontemplasi dengan sempurna. Adapun diturunkannya Lailatul Qadar, ulama berbeda-beda tentang hari tepatnya (Baca: Ramadan, Antara Tumbilotohe dan Lailatul Qadar).
Menariknya, Lailatul Qadar yang diberitakan dalam surah al-Qadr termasuk dari salah satu pertanyaan Allah dengan redaksi dahsyat yang nalar tak menjangkaunya. Bacalah misalnya ketiga pertanyaan berikut: “tahukah kamu, apakah yang datang pada malam hari itu?” (Qs. Al-Thâriq [86]: 2; “tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” (Qs. Al-Balad [90]: 12; dan “tahukah kamu, apakah malam kemulian itu?” (Qs. Al-Qadr [97]: 2. Walaupun ketiga-tiganya, akhirnya dibantu menjawab oleh Allah sendiri dalam setiap ayat lanjutannya. Tapi tetap menyisakan perenungan bagi mereka yang berpikir. Maka seyogyanya, dalam i’tikaf pula disertai renungan mendalam atas kehidupan yang kita jalani. Berubah lebih baik ataukah menurun kualitas iman dalam setiap tahunnya?
Di samping menyongsong datangnya Lailatul Qadar, di periode kedua ini, tugas utama kita adalah merenungkan hal-hal nafsani atau dalam istilah lainnya “puasa nafsani”. Legitimasi pemahaman ini bisa dicari pada Qs. Al-Hujurât [49]: 10, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. Dalam ayat ini orientasi utamanya adalah menjauhkan prasangka buruk guna terciptanya persaudaraan hakiki. Walaupun belakangan ini persaudaraan sesama Muslim retak oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang tampak indah dan membius siapa saja. Akhirnya, puasa hanya melahirkan persaudaraan sesama yang setuju dengan pikirannya, sesama kelompoknya, partainya atau apa saja. Pendidikan takwa pada periode kedua sirna walau dilakukan setiap tahunnya.
Perenungan atas hakikat periode kedua ini, barulah kita menghayatkan hakikat Lailatul Qadar yang memiliki dasar makna: memenjarakan. Memenjarakan diri dari tidak berbuat buruk, memenjarakan lidah untuk tidak berucap dusta, memenjarakan tangan dan kaki dari tidak berbuat kerusakan dan memenjarakan nafsu untuk tidak berlebih-lebihan.
Pemaknaan “memenjarakan” selaras dengan hakikat Lailatul Qadar sebagai sebuah pengalaman spiritual bukan peristiwa waktu dan tempat. Banyak pemahaman berkeliaran bahwa dengan adanya berita pada surah al-Qadr membuat kesimpulan bahwa Lailatul Qadar sebagai peristiwa waktu mulia. Akhirnya, Lailatul Qadar dijadikan tujuan utama—dengan semangat berapi-api “berjihad” secar fisik, bukan sarana persiapan secara batiniyah untuk menghadirkan Lailatul Qadr dalam jiwa. Jika jiwa yang dipersiapkan maka Lailatul Qadr akan mendatangi jiwa-jiwa bersih. Maka memaknai Lailatul Qadr yang tidak diketahui waktu tepatnya menjadikan kita termotivasi mensucikan jiwa dengan tazkiyatun al-Nafs.
Kenapa bukan tujuan? Hampir semua pemberitaan seputar pahala-pahala yang dahsyat disertai dalih-dalih hiperbola dan kadang bersifat kualitatif. Tapi bagi Allah sah-sah saja. Mungkin Anda bisa membantah pemaknaan penulis dengan hadis Nabi Muhammad SAW, “Siapa yang menjalani puasa dan beruntung mengalami Laitatul Qadar—dengan penuh keimanan dan semata mata Allah yang menjadi tujuan—maka akan diampuni dosa dosanya yang telah lalu”.
Pembacaan atas sebuah Qur’an dan hadis tidak semata-mata satu ayat saja, melainkan membutuhkan pembacaan keseluruhan. Dari pelbagai akumulasi hadis-hadis yang tertuang seputar pahala-pahala yang banyak, khususnya Lailatul Qadar, maka fenomena pengalaman spiritual ini dikategorikan sebagai sebuah hadiah istimewa dari-Nya. Adapun tujuannya adalah penghayatan aspek esoterik dan eksoterik dari perkara itu. Dan hadiah hanya pantas diberikan kepada yang pantas. Kepantasan manusia dengan kepantasan Allah berbeda, sebab Allah melihat manusia tanpa hijab sama sekali.
Berangkat dari dasar ini, maka sejatinya pula ibadah kita tidak sekedar terletak pada bonus-bonus untuk menghapus dosa-dosa kita masing-masing. Tapi, kesadaran aktif dan keimanan yang produktif untuk mencintai Allah tanpa pamrih. Untuk melukiskan peristiwa mencintai Allah tanpa pamrih, umumnya mengutip fakta historis kesufian Rabiah al-‘Adawiyah. Di mana suatu hari ia berlari-lari ke pasar membawa seember air di tangan kanannya dan obor di tangan kirinya. Sekelilingnya pun sontak keheranan, apa gerangan yang terjadi, Hai Rabi’ah?.
Rabi’ah menjawab secara menakjubkan, “dengan air ini aku inigin memadamkan neraka dan dengan api ini aku ingin membakar surga. Supaya setelah ini orang tidak lagi menyembah Allah karena takut akan neraka dan karena berharap akan surga. Aku ingin setelah ini hamba-hamba-Nya akan menyembah-Nya hanya karena cinta.”
Momentum Lailatul Qadr pun demikian. Akan banyak ditemukan orang-orang menjemputnya dengan pemikiran bahwa ibadah puasa sebagai sebuah investasi, maka Allah akan membayar kontan dengan Lailatul Qadr. Dalam perspektif Imam Ali, ibadah yang tidak murni karena kecintaan ini dikategorikan sebagai ibadahnya para pedagang. Adapun ibadahnya orang-orang merdeka adalah murni karena pengabdian dan kecintaannya kepada Allah semata. Artinya, melaksanakan ibadah puasa ramadan tanpa persyaratan apapun.
Terbukanya hijad dan dikuncinya pintu dan jendela neraka membuat yang hadir dalam diri adalah kecintaan ingin selalu bermesraan dengan Allah tanpa pamrih apapun. Ketersingkpan hijab itu juga tidak dipergukan untuk memberikan proposal-proposal kepada Allah layaknya memberikan proposal kepada atasan di kantor dan institusi yang mematok waktu dan tanggal. Seandainya diperbolehkan demikian, maka para pendiri bangsa menginginkan bayaran total dari Allah semasa hidupnya. Tapi nyatanya tidak, yang mendapat bonus adalah kita semuanya. Sampailah pada hakikat beribadah di fase kedua yakni menghadirkan “unconditional love” (cinta tanpa syarat) kepada Allah.
Pesan berikutnya, yang tidak kalah penting, tidak diperlukan menampak-nampakkan gerakan Lailatul Qadr. Jika dianalogikakan dengan “keikhlasan”, maka keikhlasan dalam berbuat tidak perlu ditampakkan. Biarkan Allah yang akan menampakkan hasil dari keikhlasan itu. Sebagai sebuah ajakan kepada masyarakat atau jamaah masjid, tentunya sah-sah saja. Tapi jangan sampai mengaburkan hakikat Lailatul Qadr. Yang dimana, mereka-mereka yang keluar ketika i’tikaf justru sekedar berbangga-bangga atas perbuatan i’tikaf tersebut.
Akhirnya, penulis berkesimpulan. Mari kita kembalikan membaca Lailatul Qadr pada jati dirinya. Dan jangan pula abai terhadap momentum istimewa ini. Meminjam bahasa KH. Hasyim Muzadi, “tanda-tanda orang yang ditelantarkan Tuhan adalah mereka yang menelantarkan waktu untuk melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat.” Maka jadikanlah bulan puasa ramadan ini sebagai ibadah terbaik kita, yang kelak keluar dari ramadan bisa menjadi bekal untuk hidup di bulan-bulan berikutnya. Keluar dengan pribadi yang penuh kasih sayang, lemah lembut, pengayom, penuntun kebenaran dan penyembah Allah sejati. Selamat berbuka puasa!