Oleh: Muhammad Makmun Rasyid
Iman yang menumbuhkan ketakwaan akan melahirkan seseorang untuk selalu berkata benar (Qs. Al-Ahzâb [33]: 70-71). Ketiganya pun ditambah dengan tidak bolehnya beprsangka buruk dan mencari-cari kesalahan orang lain (Qs. Al-Hujurât [49]: 12) hanya untuk mempertahankan tahta dunia yang bersifat sementara. Pesan-pesan penting Al-Qur’an itu, akhir-akhir ini sedang redup dan dikalahkan egoisme dan kesombongan pribadi. Mencari kebenaran pun bagaikan mencari jarum di tengah-tengah lumpur hitam. Kebenaran yang dibalut oleh hoak-hoak dan berita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan teks dan substansinya. Diperparah, masyarakat menikmatinya tanpa sikap “tabayyun” dan pikiran yang rasional.
Era industrialisasi dan teknologi, di samping memudahkan masyarakat melihat objek dari jendela mana saja yang ia sukai, namun kemudahan itu memiliki sifat negatifnya, daya kritis dan skeptis cenderung melemah. Setiap hari dibombandir berita-berita dan tidak semuanya (dalam hari itu juga) bisa langsung di kroscek. “It’s a nightmare to critically evaluate all of it,” ungkap David Rapp, Psikolog asal Universitas Northwestern Amerika Serikat. Faktnya, manusia cenderung tak mampu membendung asupan pertama yang didengarnya, dilihatnya dan ditangkapnya. Ketika kritis dan skeptis hilang, maka kepercayaan “membabi buta” tampil dominan.
Al-Qur’an mendokumentasikan kisah seseorang yang tak menjaga lisannya, yang dibungkus oleh ke-“aku”-an tinggi. “Berkata (Fir’aun), Akulah tuhanmu yang paling tinggi” (Qs. Al-Nâzi’at [79]: 24). Dalam Islam, ada sembilang lubang yang harus dijaga manusia, yaitu: dua lubang telinga, dua lubang mata, dua lubang hidung, satu lubang mulut, satu lubang “dubur” dan satu lubang “qubul”. Semakin besar lubang, berpotensi untuk melahirkan hal-hal negatif. Maka tutuplah rapat-rapat dan bungkuslah sebaik-baiknya atau jagalah ia agar tidak menciptakan hal negatif. Mulut pun demikian, lubang terbesar yang di dalamnya ada lidah tak bertulang, namun berpotensi menciptakan keributan dan perkelahian, bahkan sumber hoak.
Sayyidina Imam Ali bin Abi Thalib menuntun agar umat Nabi Muhammad selalu menjaga lidahnya, “Seseorang mati karena tersandung lidahnya. Dan seseorang tidak mati karena tersandung kakinya. Tersandung mulutnya akan menambah (pening) kepalanya. Sedang tersandung kakinya akan sembuh perlahan.”
Ramadan, setidaknya mengajarkan empat pelajaran untuk menahkodai kehidupan yang penuh “keruwetan” ini. Ramadan yang dengan puasa kita dilatih untuk tidak sembarangan mengkonsumsi, bahkan yang halal dan baik sekalipun, tidak diperbolehkan di siang hari. Malam harinya pun, tidak serta membalas dendam dan menuruti hawa nafsu yang seharian dikekang. Disini manusia memiliki potensi mengendalikan hawa nafsunya dan menempatkan nafsu pada hal-hal positif.
Pertama, ucapannya bagaikan makanan pokok. Tidak semua yang diketahui harus diungkapkan dan tidak semua pertanyaan harus dijawab. Ia memilih dan memilah apa yang akan dibicarakan dan kepada siapa ia mengungkapkannya. Berbicaralah sesuai kadar lawan bicara. Seseorang yang tidak mampu menyesuaikan dan melihat kadar “mukhatab” ia akan terjerembab dalam jurang.
Kedua, mengevaluasi dan skeptis terhadap informasi yang beredar. Problematika masyarakat Indonesia adalah menelan mentah-mentah informasi yang beredar. Diperparah dengan tingkat kepercayaan yang tinggi kepada pemberi informasi maka kerap informasi sakralitasnya menyamai posisi teks kitab suci. Bahkan tak jarang, orang yang dijadikan tempat menimba ilmu tergelincir ke dalam ruang hoax dibela mati-matian. Ia pun sedang tergelincir namun tak merasakannya. Ia santai-santai saja dan menganggap itu benar adanya. Sejatinya, informasi dari siapapun (kecuali Nabi dan utusan-Nya) harus diuji validitasnya.
Informasi tak selamanya benar, sebagaimana seseorang tidak selamanya berada di jalur kebenaran. Seseorang yang berada di jalur kebenaran pun kerap dibodohi oleh orang-orang pintar yang tak bertanggung jawab atas ilmu pengetahuannya. Ilmu adalah sesuatu dan pertanggung jawaban ilmu sesuatu yang lain. Tak selamanya orang pintar bisa dijadikan sumber terpercaya, sekalipun syarat seorang pemberi ilmu adalah pintar (sesuai bidang yang digelutinya). Maka setiap ucapannya harus dibandingkan dengan ucapan orang lain. Moderatisme itu berada pada posisi tengah, tidak berat ke kanan dan ke kiri. Untuk menciptakan sikap moderat dibutuhkan perbandingan satu sama lain. Kemudian, barulah tercipta kesimpulan matang yang meminimalisir seseorang terjerumus ke dalam ruang hoax.
Ketiga, “consider the source”, mempertimbangkan sumber (berita dan khabar). Menafikan pertimbangan sumber berita bisa menyebabkan seseorang mengalami gangguan psikologis dan “candu” pada objek yang tidak nyata. Di dalam “candu” terdapat rasa nikmat yang bisa menyatu dengan kepentingan pribadi, berkumpul menjadi satu dan meluap bagaikan semburan asap. Di tengah-tengahnya sulit ditemukan kebenaran yang hakiki.
Keempat, “beware of falsehoods”, waspada kebohongan dan dusta. Merebaknya dusta dan hoax bukan disebabkan kurangnya orang cerdas di Indonesia, melainkan ilmunya tidak diiringi dengan hidayah. Maka untuk mengimbangi kebekuan ini, seseorang harus pandai mengisi botol. Meminjam gagasan KH. Hasyim Muzadi, “Jika yang kosong adalah akalnya, isilah ia dengan ilmu. Jika yang kosong adalah hatinya, isilah ia dengan zikir. Kesatuan pikir dan zikir akan membentuk ulul albab.” Dengan demikian, seseorang terhindar dari mengasup berita dusta.
Maka tak ada jalan, selain mencontoh kepada Nabi Muhammad SAW. Kata-katanya tersusun rapi, setiap kalimat yang keluar memiliki magnet, ia bicara kalau diijinkan Tuhan jika tidak ia diam. Sahabat Uqbah bin Amir bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah keselamatan?.” Rasulullah menjawab: “Jagalah lidahmu, menangislah untuk dosa-dosamu.” Diam itu sederajat dengan hikmah, namun pelakunya sedikit sekali. Siapa yang ingin selamat, jagalah lisannya. Siapa yang ingin mendapat pahala banyak, bicaralah sesuai kebutuhanmu. Pikirkan sebelum bicara dan jangan berbicara kemudian baru berpikir. Selamat berbuka puasa []