READ.ID – Sejumlah mahasiswa mengeluhkan terkait biaya rapid test mandiri sebagai persyaratan misalnya untuk keluar dari Gorontalo melalui jalur udara harus membayar Rp 350 ribu.
Hal ini disampaikan Himpunan Pelajar Mahasiswa Indonesia Gorontalo (HPMIG) Cabang Yogyakarta usai bertemu dengan Dewan Perwakilan Rakyat Derah (DPRD) Provinsi Gorontalo, Senin (29/06).
“Biaya rapid test untuk keluar Gorontalo itu cukup mahal. Padahal kami segera kembali ke Yogyakarta untuk kuliah. Sementara sekarang ini kami masih dalam kondisi ekonomi belum terlalu stabil,” ucap Ketua HPMIG Cabang Yogyakarta, Noval Karim.
Ia menjelaskan saat ini ada ratusan bahkan sampai ribuan mahasiswa asal Gorontalo yang sedang mengeyam pendidikan di Yogyakarta. Padahal sebagian dari mahasiswa tersebut saat ini berada di Gorontalo dan kini sudah saatnya untuk kembali lagi ke Yogyakarta.
“Kampus itu akan segera diaktifkan kembali. Jadi, mahasiswa itu harus segera lagi kembali ke Yogya. Kami berharap kepada pemerintah Gorotalo agar memberikan solusi kepada kami terkait itu,” ungkapnya.
Sebelumnya, biaya rapid test yang mencapai Rp 350 ribu, seperti layanan di bandara dibuat untuk mengantisipasi pelaku perjalanan yang lupa melakukan pemeriksaan kesehatan saat keluar masuk Gorontalo.
Kebijakan ini juga dibuat oleh petugas untuk mengatasi masalah masyarakat yang sering mengeluhkan tidak mengetahui tempat untuk melakukan rapid test. Sehingganya, layanan rapid tersebut diadakan.
Petugas mengadakan layanan ini bersama dengan Biozigma Klinik yang beralamat di Jl. Andalas Kota Gorontalo. Biaya Rp 350 ribu itupun merupakan patokan dasar yang dilakukan pihak Biozigma atas dasar persetujuan beberapa pihak terkait.
Secara keseluruhan, sebenarnya harga rapid test itu sendiri memiliki biaya yang beragam. Mulai dari Rp 250 ribu sampai dengan Rp 350 ribu.
Pimpinan Biozigma, Muhammad Arfah mengatakan, perbedaan harga rapid test mandiri itu dikarenakan untuk menyesuaikan dengan kondisi ekonomi masyarakat, baik pelaku perjalanan, baik darat, laut, dan udara.
Seperti pelaku perjalanan yang hendak masuk Gorontalo melalui jalur darat tanpa membawa surat keterangan bebas COVID-19 dari daerah asal ,harus membayar Rp 250 ribu sebagai biaya Rapid test di perbatasan.
Berbeda dengan pelaku perjalanan menggunakan pesawat di Gorontalo, dimana tarif rapid testnya dihargai Rp 350 ribu.
“Pesawat itu Rp 350 ribu, acuannya itu 80 persen penumpangnya adalah pelaku bisnis. Kalau di pelabuhan itu Rp 275 ribu. Sementara di darat itu Rp 250 ribu. Darat itu kebanyakan orang-orang supir makanya kita turunkan ke bawah lagi,” kata Muhammad Arfah.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua DPRD Provinsi Gorontalo, Kris Wartabone menyatakan akan menerima terkait sejumlah keluhan tersebut. Kata dia, pihaknya akan menindaklanjuti masalah tersebut bersama pihak-pihak terkait.
“Kita akan sampai semua kepada pemerintah. Seyogyanya memang mahasiswa ini harus difasilitasi oleh pemerintah. Apalagi ini menyangkut dengan pendidikan,” ucap Kris Wartabone.
Pada pertemuan tersebut, HPMIG juga menyampaikan terkait keberadaan asrama mahasiswa di Yogyakarta yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Mengingat juga sejumlah fasilitas yang ada kini mulai rusak parah.
(Aden/RL/Read)