Pelbagai hal tentang opini atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang akhir-akhir ini cukup menarik menjadi alasan kuat tulisan ini mesti hadir di tengah publik. Sebelumnya, pendapat bahwa di Gorontalo terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan cukup menggelitik bagi penulis, hal yang mencengangkan juga menggelikan itu menghiasi berbagai upaya dalam pertarungan semesta terhadap Covid-19 yang tentu butuh kerja keras dan kerja sama seluruh manusia.
Sangat sering kita menemukan kesalahan besar dalam memahami kejahatan terhadap kemanusiaan. Banyaknya pemahaman dan ungkapan yang menyatakan terdapat atau terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan untuk menggambarkan suatu peristiwa atau tindakan dengan dasar anggapan bahwa suatu hal itu menyebabkan terjadinya penderitaan terhadap seorang manusia, maka itu adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Pemahaman dan ungkapan ini keliru, yang menghancurkan rapinya kebenaran atas konsep ideal kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebab satu yang sungguh dilupakan, dalam hukum pidana internasional istilah crimes against humanity telah berkembang sedemikian rupa sebagai sebuah konsep dengan pemahaman yang spesifik.
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah suatu gabungan kata yang mengungkapkan makna konsep atau keadaan yang mengandung norma. Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) merupakan kejahatan atau tindak pidana internasional yang termasuk dalam yurisdiksi (International Criminal Court/ICC) bahkan dalam Statuta Roma ditegaskan sebagai salah satu kejahatan paling serius. Sehingga crimes against humanity merupakan jenis tindak pidana, itu jelas dan mutlak. Tidak bisa dianggap sekadar pendapat atau semacamnya. Jika Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan menjadi suatu istilah yang lumrah dan sembarangan disampaikan dengan topeng sebuah pendapat, sekali lagi itu sebuah kesalahan yang lucu dan berulang, tentu tidak baik.
Kejahatan terhadap kemanusiaan juga terdapat dalam perundang-undangan Indonesia. Meski belum meratifikasi Statuta Roma, Indonesia mengatur kejahatan terhadap kemanusiaan. Pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, kejahatan terhadap kemanusiaan dengan tegas dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat serta dibahas dalam Pasal 9 yang memuat 10 perbuatan (isi undang-undang ini banyak mengadopsi dari Statuta Roma).
Melalui penjelasan dalam International Criminal Law (Oxford University Press, 2016) karya Douglas Guilfoyle – (pakar keamanan maritim, hukum laut internasional, hukum pidana internasional dan transnasional. Bidang khusus spesialisasi termasuk penegakan hukum maritim, hukum perang angkatan laut, pengadilan dan pengadilan internasional, dan sejarah hukum internasional) – yang menerangkan penuntutan pertama atas kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi sebelum Pengadilan Militer Internasional Nuremberg (International Military Tribunal / IMT / Nuremberg International Military Tribunal) 1945. Pada 24 Mei 1915, Perancis, Inggris dan Rusia melakukan deklarasi bersama (Joint Declaration) dalam mengutuk tindakan Turki terhadap etnik Armenia selama perang dunia pertama yang menjadi potret atas sebuah inspirasi yang jelas untuk menyebut sekaligus memasukkan suatu kejahatan pertama kali dengan istilah crimes against civilization and humanity. Kemudian hal itu diakomodir dalam Perjanjian London 1945 yang memuat kejahatan-kejahatan jenis tertentu yang lazim disebut sebagai kejahatan menurut hukum internasional (crimes under international law) yang terdiri dari kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap kedamaian/perdamaian (crimes against peace), serta kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) yang terjadi menjelang dan selama Perang Dunia II (1939-1945).
Kejahatan terhadap kemanusiaan kemudian mulai berkembang dengan signifikan sebagai konsep tersendiri dalam hukum pidana internasional sejak masa Mahkamah Militer Nuremberg (International Military Tribunal –Nuremberg Tribunal – Nuremberg International Military Tribunal) 1945. Setelah itu gagasan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan juga dapat ditemukan dalam berbagai dokumen hukum seperti Control Council Law No. 10, Statuta ICTY (UN International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) 1993, Statuta ICTR (UN International Criminal Tribunal for Rwanda) 1994 dan Statuta Roma (Roma Statute) 1998.
Statuta Roma (Roma Statute) 1998 yang menjadi dasar berdirinya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) merupakan akhir perjalanan panjang dari kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai sebuah pengaturan yang permanen dengan sifatnya yang universal. Statuta Roma (The Rome Statute) 1998 adalah pencapaian masyarakat internasional dengan cita international justice yang dilahirkan dari suatu konferensi diplomatik 120 negara, yang berlangsung di Roma pada tanggal 15-17 Juli 1998 (United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court). Berbagai tahapan mulai dari rancangan naskah statuta yang telah berhasil disiapkan oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Commision/ILC) sedari 1994 dengan dasar amanat Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly), pembentukan komisi ad hoc oleh Majelis Umum PBB yang bertugas untuk meninjau aspek-aspek substantif, administratif dan prosedural dari rancangan ILC, pembentukan Komisi Persiapan (Preparatory Commision) oleh Majelis Umum PBB yang menindak lanjuti hasil dari Komisi Ad hoc, dengan membahas secara lebih mendalam dalam kurun waktu 1996-1997 dan berhasil merampungkan tugasnya pada April 1998 hingga menghasilkan naskah final dan autentik tentang Statuta Roma yang hingga kini digunakan.
Selanjutnya untuk lebih memahami kejahatan terhadap kemanusian, dapat ditelaah melalui ketentuan yang termaktub dengan jelas pada Pasal (Article) 7 (1) Statuta Roma (ICC Statute) yang memuat 11 perbuatan yang digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Untuk keperluan Statuta ini, “kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti salah satu dari perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu:
(a) Pembunuhan;
(b) Pemusnahan;
(c) Perbudakan;
(d) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk;
(e) Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional;
(f) Penyiksaan;
(g) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat;
(h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah;
(i) Penghilangan paksa;
(j) Kejahatan apartheid;
(k) Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik.
Akan tetapi, uraian pasal ini tidak bisa hanya dilihat dan kemudian memuntahkan tafsir yang mentah. Memahami hukum bukan hanya sekadar membunyikan pasal. Butuh kecermatan yang tidak biasa. Perlu dicermati chapeau elements of crimes against humanity yang dirinci dengan jelas dan tegas dalam 44 halaman Elements of Crimes International Criminal Court sehingga dapat menentukan sifat yang membedakan suatu perbuatan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau perbuatan biasa.
Kemungkinan kita akan penasaran dengan Pasal (Article) 7 (1) huruf (k) Statuta Roma karena uraiannya. Sehingga berikut adalah 5 (lima) elements of crimes Pasal (Article) 7 (1) huruf (k): 1. Pelaku melakukan penderitaan besar, atau cedera serius pada tubuh atau kesehatan mental atau fisik, melalui tindakan yang tidak manusiawi; 2. Tindakan tersebut bersifat serupa dengan tindakan lain yang disebutkan dalam pasal 7 (1), Statuta; 3. Pelaku menyadari keadaan faktual yang membentuk karakter tindakan tersebut; 4. Perilaku tersebut dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang diarahkan terhadap penduduk sipil; 5. Pelaku tahu bahwa tindakan itu adalah bagian dari atau dimaksudkan tindakan itu untuk menjadi bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang diarahkan terhadap penduduk sipil.
Berikutnya merujuk pada uraian Guénaél Mettraux – (Prof. Guénaël Mettraux adalah ahli terkemuka, konsultan di berbagai pengadilan kriminal internasional, sebagai Judge of the Kosovo Specialist Chambers, penasihat berbagai negara, NGOs/LSM dan organisasi internasional termasuk PBB dan juga anggota Panel Tinjauan Hak Asasi Manusia Uni Eropa (European Union’s Human Rights Review Panel), juga menerima penghargaan Lieber Prize dari Perhimpunan Hukum Internasional Amerika) – dalam International Crimes and the Ad hoc Tribunals (Oxford University Press, 2006) tentang Chapeau Elements of Crimes against Humanity yang dijelaskan dengan baik bahwa hal yang membedakan kejahatan terhadap kemanusiaan dari kejahatan biasa (atau dari kejahatan internasional lainnya) adalah persyaratan bahwa kejahatan tersebut harus dilakukan dalam konteks serangan yang luas atau sistematis terhadap penduduk sipil. Persyaratan ini, yang merupakan persyaratan umum kejahatan terhadap kemanusiaan, harus dilihat secara keseluruhan dan menetapkan konteks yang diperlukan di mana tindakan para pelaku/terdakwa harus dituliskan. Dapat dibagi menjadi lima sub-elemen: serangan; ada hubungan atau hubungan antara tindakan terdakwa dan serangan; serangan diarahkan terhadap populasi sipil; serangannya meluas atau sistematis; dan pelaku memiliki kondisi pikiran yang sesuai atau mens rea.
Akhirnya, melalui tulisan singkat ini semoga bermanfaat bagi kita semua dalam memahami kejahatan terhadap kemanusian yang komprehensif sebagai suatu term aturan yang sudah pasti dan dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai suatu perbuatan atau peristiwa, dengan tidak menganggap benar sudut pandang yang subjektif. Kejahatan terhadap kemanusiaan tidak bisa serampangan digunakan untuk suatu hal, sebab kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai sebuah rumusan tentang ruang lingkup yang mengungkapkan ketentuan hukum. Kejahatan terhadap kemanusiaan tidak tepat dan tidak elok bila disampaikan apalagi diartikan bebas, asal, liar bahkan dikuatkan sebagai sebuah opini. Hal itu akan berdampak pada persepektif dan sebagainya.
Penulis : Ricki J. Monintja
Pendiri dan pegiat di International Law Corner (ILC) UNG