banner 468x60

Memahami PSBB dan Pemberlakuannya di Provinsi Gorontalo

Memahami PSBB Gorontalo
Provinsi Gorontao merupakan provinsi terakhir yang memerahkan peta Indonesia dengan kasus positif COVID-19.

Penulis: Abdul Hamid Tome
(Crisis Center Covid-19 Universitas Negeri Gorontalo)

READ.ID – Provinsi Gorontao merupakan provinsi terakhir yang memerahkan peta Indonesia dengan kasus positif COVID-19. Jika dihitung dari tanggal 9 April 2020, yang merupakan awal ditemukannya kasus ini, sampai dengan tanggal 28 April 2020 tercatat sebanyak 15 orang yang dinyatakan positif COVID-19. Artinya, hampir setiap hari ditemukan satu kasus positif. Cukup mencengangkan, sebagai daerah yang terakhir tetapi tingkat pertumbuhan kasusnya cukup mengkhawatirkan.

Keinginan untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sepertinya menjadi pilihan kebijakan yang harus ditempuh oleh pemerintah Provinsi Gorontalo guna mempersempit ruang gerak hingga memutus mata rantai penyebarannya. Pilihan pemberlakuan PSBB, akhirnya disetujui oleh Menteri Kesehatan melalui SK No. HK.01.07/MENKES/279/2020.

Pertimbangan Menteri Kesehatan dalam memberikan izin pemberlakuan PSBB di Provinsi Gorontalo didasarkan atas 2 (dua) hal, yakni: (1) telah terjadinya peningkatan dan penyebaran kasus COVID-19 yang signifikan dan cepat serta diiringi dengan kejadian transmisi lokal di Provinsi Gorontalo; dan (2) kajian epidemiologi dan pertimbangan kesiapan daerah dalam aspek sosial, ekonomi serta aspek lainnya. Pelaksanaan PSBB meliputi: peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, pembatasan kegiatan sosial dan budaya, pembatasan moda transportasi, dan pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.

Persoalan yang muncul adalah apakah PSBB di Provinsi Gorontalo akan berjalan dengan efektif? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis akan melihat dari perspektif hukum. Menurut Lawrence M. Friedman (2001) terdapat 3 (tiga) faktor yang sangat menentukan bekerja atau tidaknya sistem hukum yang dimiliki oleh sebuah wilayah (negara/daerah), yakni substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture).

Pertama, substansi hukum (legal substance). Substansi hukum meliputi materi hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Sejak awal melanda di Indonesia, pemerintah pusat langsung bergerak menerbitkan berbagai regulasi untuk melakukan penanganan COVID-19, meskipun telah ada regulasi yang terkait untuk itu, sebut saja UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan peraturan terkait lainnya.

Namun pemerintah masih merasa perlu untuk mengeluarkan regulasi akibat dampak COVID-19 dengan alasan agar kebijakan yang diambil dapat berjalan dengan baik. Masing-masing peraturan tersebut adalah Perpu No. 1 Tahun 2020, PP 21 Tahun 2020, Kepres No. 11 Tahun 2020, dan Permenkes No. 9 Tahun 2020. Hampir semua regulasi yang disebutkan tersebut menjadi landasan pijak diterbitkannya izin Menteri Kesehatan untuk pemberlakuan PSBB di Provinsi Gorontalo.

Pada konteks pemberlakuan di daerah, pemerintah daerah perlu menindaklanjuti izin Menteri tersebut dalam produk hukum daerah, produk hukum yang paling dimungkinkan untuk dikeluarkan dalam waktu singkat adalah Peraturan Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota). Hadirnya peraturan kepala daerah tersebut akan menjadi alas hukum pelaksanaan PSBB di daerah sebagai penjabaran dari regulasi yang telah saya sebutkan sebelumnya.

Dalam konteks penyelenggaraan otonomi daerah, dimana setiap susunan pemerintahan di daerah memiliki kewenangan masing-masing dalam penyelenggaraan urusan pemerintahannya. Berbagai hasil riset telah menunjukan adanya disharmoni antara pemerintah daerah tingkat provinsi dengan pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota. Hal ini terjadi akibat ego sektoral akibat pemahaman makna otonomi daerah dan perbedaan dalam pilihan warna politik.

Maka tak heran, produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi (baik Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur) terkadang tidak memiliki daya ikat pada daerah kabupaten/kota di wilayahnya. Apabila kondisi ini terjadi pada saat pemberlakuan PSBB di Provinsi Gorontalo, maka apapun kebijakan yang dikeluarkan oleh Gubernur, tidak akan memiliki dampak apapun terhadap aktivitas di daerah. Sehingganya, pilihannya ada dua, yakni: Gubernur melibatkan setiap stakeholder di dalam perumusan kebijakan dan/atau Bupati/Walikota secara “sukarela” mengikuti apa yang menjadi kebijakan Gubernur.

Kedua, struktur hukum (legal structure). Struktur hukum bertalian dengan perangkat pelaksana hukum. Dalam konteks penanganan COVID-19, Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan COVID-19 Daerah memiliki peran penting dalam memutus mata rantai penyebaran COVID-19. Sebagai perangkat yang memiliki peran penting, perangkat ini perlu membangun hubungan kemitraan dengan berbagai pihak, baik TNI/POLRI, perguruan tinggi, hingga pada level pemerintahan tingkat desa.

Ketiga, budaya hukum (legal culture). Budaya hukum bersinggungan dengan perilaku masyarakat. Faktor ketiga inilah, yang paling dominan memiliki pengaruh terhadap daya kerja sistem hukum. PSBB telah ditempuh oleh pemerintah daerah, maka hal yang paling penting untuk dilakukan adalah mengedukasi masyarakat untuk mentaati pemberlakuan PSBB hingga pada wilayah pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Tidak semua penduduk Gorontalo adalah pekerja kantoran, diantara kita ada yang menggantungkan hidupnya sebagai pekerja informal.

Bagi mereka, pilihannya adalah berdiam diri dirumah dengan beban hidup yang amat berat atau keluar rumah untuk mengais rezki dengan resiko tertular COVID-19. Belum lagi, keberadaan PSBB yang meminta adanya penutupan tempat ibadah. Soal penutupan tempat ibadah, akan menjadi pilihan yang sangat sulit untuk dilakukan ada yang setuju tapi tidak sedikit yang akan menolak meskipun telah keluar fatwa dari MUI.

Budaya hukum ini akan lebih diperburuk dengan atraksi politik para brokernya yang terus memecah konsentrasi massa dalam upaya perlindungan diri dari COVID-19. Masyarakat menjadi tak terarah akibat atraksi yang dimainkan oleh para broker politik, sebab sulit untuk melihat mana analisis/kerja yang berupaya meminimalisir penyebaran COVID-19 dan mana yang merupakan upaya untuk menjatuhkan citra pemerintahan guna melejitkan popularitas sang dalang.

Saatnya kita bersama, menyatukan semua kekuatan yang kita miliki dalam penanggulangan COVID-19. COVID-19 tidak hanya sekedar urusan kesehatan, pun tidak harus dipahami sebagai upaya meninggikan citra politik tetapi jauh dari itu ini urusan kemaslahatan umat. Jika COVID-19 tetap tidak dapat menyatukan kita lalu bencana apalagi yang perlu menyadarkan kita bahwa hidup bukan hanya tentang kita tetapi juga tentang orang lain.**

Baca berita kami lainnya di

banner 468x60