Oleh: Rifki Taufik Haluti
Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Gorontalo (UNG)
Setelah lebih dari lima puluh tujuh tahun sejak didirikan dan beberapa kali mengalami eskalasi status, perguruan tinggi yang kini menyandang nama Universitas Negeri Gorontalo (selanjutnya akan disingkat UNG), telah mengantongi reputasi yang baik.
Pencapaian ini setidaknya diafirmasi oleh terus meningkatnya jumlah pendaftar di perguruan tinggi ini setiap tahunnya. Terakhir di 2020 kemarin, UNG sanggup menampung 5831 mahasiswa baru, dari pendaftar yang jumlahnya nyaris dua kali lipat melebihi angka tersebut. Fakta ini mengukuhkan UNG sebagai salah satu kampus favorit di Gorontalo.
Merawat citra baik tersebut, UNG di bawah kepemimpinan Rektor Eduart Wolok, senantiansa berupaya optimal dalam setiap inovasi dan pelayanannya. Terbukti dalam beberapa waktu terakhir, UNG tak pernah luput dari pemberitaan-pemberitaan positif.
Sebagaimana kampus dan instansi-instansi lain, untuk lini keamanan dan ketertiban, UNG turut mengandalkan satuan pengaman (satpam), dengan pos penjagaan yang disebar di beberapa area kampus. Selain lantaran mempunyai jam kerja sehari penuh, jumlahnya yang terbilang banyak menjadikan personel-personel satpam dapat dengan mudah ditemui di setiap kawasan kampus.
Demi mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang tak diinginkan, ketatnya pengamanan di lingkungan kampus merupakan hal yang lumrah. Sayangnya, alih-alih memberikan rasa aman, aksi maupun sikap personel satpam tidak jarang justru mengundang situasi sebaliknya.
Kerap berlaku teritorial, personel satpam dalam menjaga kawasan yang ia tempati, dapat bertindak begitu ofensif terhadap mahasiswa dan siapa pun yang mendekat atau dianggap mengganggu kawasannya selain para pejabat kampus. Beberapa mahasiswa yang tidak terima, sering kali terlibat cekcok hingga berujung perselisihan dengan mereka.
Tak hanya kerap bertingkah arogan, sejumlah personel satpam di UNG juga sewaktu-waktu bereaksi intimidatif terhadap mahasiswa. Terima atau tidak, saban menginjakkan kaki di kampus, mahasiswa harus menghadapi gestur tengil dan kurang komunikatifnya mereka.
Nada yang tidak bersahabat, bahkan cenderung meremehkan lawan bicara, biasa diperagakan oleh personel-personel ini jika bertanya atau ditanyai sesuatu. Pertanyaan mengenai hanya kepada siapa mereka sedia melayani sebagai halnya khadam kepada bendoro, sejauh ini sekiranya telah bisa disimpulkan.
Jika Terpaksa Ungkit-mengungkit Kedudukan
Bagian ini hendak saya awali dengan dua pertanyaan sederhana. Pertama, akan seperti apakah sebuah kampus jika tak ada satu pun mahasiswa yang terdaftar di dalamnya?
Kedua. Bagaimanakah kondisi sebuah kampus yang tidak mempekerjakan satu personel satpam pun di dalamnya? Dengan sedikit membuat jarak dari aturan-aturan konvensional perguruan tinggi tentang elemen-elemen internal berikut klasifikasinya, kedua pertanyaan tersebut agaknya dapat terjawab secara jernih dan tidak kaku.
Supaya penjelasan tetap terperinci, subjek pada dua pertanyaan di atas akan dibedakan berdasarkan pengertian masing-masing. Mahasiswa selaku subjek pada pertanyaan pertama—yang eksistensinya diandaikan tiada di dalam kampus selaku objek—umumnya dipahami sebagai kalangan yang tengah mengenyam pendidikan pada sebuah perguruan tinggi.
Berikut personel satpam selaku subjek pada pertanyaan kedua—yang juga diandaikan tidak berada di dalam kampus selaku objek—dalam kasus ini akan mudah dipahami sebagai kelompok yang mengemban tugas membantu universitas dalam menyelenggarakan dan memelihara keamanan serta ketertiban lingkungan.
Lebih dalam lagi, mahasiswa merupakan esensi dari tiap-tiap perguruan tinggi. Al-Ghazali menerangkan konsepsi esensi di dalam Mantiqnya yang tersohor sebagai hal-hal yang membentuk sesuatu, yang jika hal-hal ini tidak terdapat di dalam sesuatu tersebut, maka sesuatu tersebut telah kehilangan identitasnya sebagai sesuatu itu sendiri.
Tidak akan ada perguruan tinggi jika tidak ada mahasiswa, atau perguruan tinggi bukanlah perguruan tinggi apabila tiada mahasiswa yang terdaftar di dalamnya, sebab perguruan tinggi memperoleh identitasnya sebagai perguruan tinggi, tak lain daripada kehadiran mahasiswa di dalamnya.
Selanjutnya jika sebuah perguruan tinggi “telah jadi”, atau tidak lagi bermasalah dengan keharusan hadirnya mahasiswa, berikut elemen-elemen lain, dan aturan-aturan operasionalnya, penugasan satuan pengaman untuk menjaga lingkungan bukanlah sesuatu yang perlu untuk dipertanyakan. Pekerjaan ini merupakan sesuatu yang niscaya.
Ghazali menerangkannya sebagai lazim, yakni hal-hal yang bukan merupakan bagian dari esensi, tetapi melekat atau dipastikan adanya di dalam sesuatu. Memahami perbedaan antara esensi dengan lazim sekiranya akan sedikit mudah dengan memikirkan sebuah aktivitas makan.
Dalam ilustrasi ini, “makanan” merupakan esensi, sedangkan “menggunakan tangan sendiri” ialah lazim. Makan bukanlah makan kalaulah tanpa makanan, berikut menggunakan tangan sendiri adalah aktivitas yang melekat—dan tak perlu dipertanyakan—saat seseorang sedang makan.
Ketidaksamaan akan lebih kentara dengan menjawab pertanyaan dapatkah Anda membayangkan seseorang makan tanpa makanan? Berikut bolehkah ia makan dengan tidak menggunakan tangan sendiri? Sekali lagi agar tidak dilupakan, pengertian-pengertian di atas telah membuka jarak dari aturan-aturan perguruan tinggi yang kaku dan preskriptif, tentang klasifikasi elemen-elemen internalnya, serta tidak berusaha menjelaskan hubungan kausal antara dua subjek, mahasiswa dengan personel-personel satpam, melalui pertanyaan mengenai eksistensi keduanya di dalam kampus.
Meskipun bukan semuanya, cara berinteraksi yang kurang baik dari sejumlah oknum satuan pengamanan dengan mahasiswa, jika terus didiamkan, tidak hanya akan mendatangkan penilaian yang buruk bagi kesatuan ini, melainkan juga kelak berdampak pada reputasi UNG. Kendati harus diakui, sinergitas antara semua elemen kampus bukanlah kondisi yang mudah untuk dicapai, tetapi perlu diketahui, ia tidak termasuk hal yang tidak mungkin bila didudukkan sebagai cita-cita bersama.
Antara mahasiswa dengan satuan pengamanan kampus—atau oknum-onum di dalam kesatuan ini—tak mesti dijadikan sebagai dua opsi yang saling bertentangan, yang harus disingkirkan salah satunya untuk mempertahankan yang lainnya. Tetapi apabila realitasnya telah benar-benar seperti demikian, maka siapa yang akan memilih makan tanpa makanan ketimbang makan dengan tidak menggunakan tangan sendiri?
Tabik.
Semoga hal-hal baik senantiasa meliputi kita semua.