READ.ID – Dalam beberapa bulan terakhir, masyarakat di sejumlah daerah turun ke jalan dengan tuntutan keras: “Bubarkan DPR! Bubarkan DPRD!”. Bahkan di beberapa tempat, insiden yang merusak gedung parlemen daerah terjadi sebagai luapan kekecewaan.
Fenomena ini tidak dapat dilihat sekadar sebagai peristiwa spontan, melainkan sebagai tanda adanya krisis kepercayaan publik yang semakin dalam terhadap lembaga perwakilan rakyat.
Kepercayaan publik, yang seharusnya menjadi modal utama demokrasi, kini tergerus oleh berbagai faktor. Rakyat merasa wakilnya jauh dari denyut kebutuhan sehari-hari. Mereka menilai parlemen lebih sibuk dengan urusan politik internal dibanding memperjuangkan aspirasi. Krisis kepercayaan inilah yang kemudian memantik ekspresi protes di jalanan, sebuah tanda serius bahwa jarak antara rakyat dan wakilnya semakin melebar.
Kritik yang Sahih
Kritik yang disampaikan publik sesungguhnya memiliki alasan yang kuat. Masyarakat melihat bagaimana sidang paripurna kerap tidak dihadiri dengan penuh, kegiatan reses sering dirasakan hanya sebagai rutinitas administratif, dan fungsi pengawasan dinilai belum berjalan maksimal. Selain itu, berbagai persoalan etik yang muncul di ruang publik menambah beban citra lembaga legislatif. Semua ini memperkuat kesan bahwa DPRD masih belum sepenuhnya memenuhi harapan masyarakat.
Penelitian kontemporer (Halim et al., 2018) menegaskan bahwa representasi politik tidak berhenti pada kehadiran simbolik di lembaga, melainkan pada tindakan nyata dalam memperjuangkan kepentingan konstituen. Artinya, yang dibutuhkan masyarakat bukan sekadar formalitas, melainkan keterlibatan substansial wakil rakyat dalam setiap proses legislasi, pengawasan, maupun penganggaran.
Ukuran Kinerja yang Terlupakan
Selama ini, penilaian terhadap kinerja DPRD lebih banyak didasarkan pada aspek kuantitatif. Misalnya, jumlah peraturan daerah yang disahkan atau tingkat kehadiran rapat. Ukuran ini tentu penting, tetapi belum cukup menjelaskan apakah wakil rakyat benar-benar menjawab persoalan masyarakat. Pertanyaan yang lebih mendasar sering terabaikan: apakah perda yang dibuat relevan dengan kebutuhan publik, apakah rekomendasi pengawasan ditindaklanjuti, dan apakah aspirasi hasil reses masuk dalam APBD.
Beberapa studi (Prabowo & Cooper, 2016; Sofyani et al., 2022) menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan outcome nyata sebagai ukuran kinerja sektor publik. Tanpa kerangka evaluasi yang lebih komprehensif, publik hanya menilai DPRD dari permukaan. Dari ruang penilaian yang kabur inilah krisis kepercayaan publik terus tumbuh, meninggalkan luka dalam hubungan antara rakyat dan lembaga legislatif.
Menuju Kerangka Evaluasi Baru
Prinsip good governance yang diperkenalkan UNDP dan terus dikembangkan dalam penelitian tata kelola publik menekankan lima hal: transparansi, akuntabilitas, responsivitas, efektivitas, dan partisipasi masyarakat. Kelima prinsip ini selayaknya menjadi landasan membangun kerangka evaluasi wakil rakyat di tingkat daerah. Dengan fondasi ini, kinerja legislatif dapat dinilai secara lebih menyeluruh dan adil.
Kerangka evaluasi baru perlu menyoroti aspek kualitas legislasi, efektivitas pengawasan, keberpihakan dalam penganggaran, serta integritas dan keterbukaan personal anggota DPRD. Dengan instrumen semacam ini, masyarakat dapat menilai wakilnya secara objektif, sementara DPRD sendiri memiliki cermin yang jujur untuk melakukan pembenahan internal. Transparansi tidak lagi menjadi jargon, melainkan bukti yang nyata dan dapat diverifikasi.
Menutup Jurang Kepercayaan
Demonstrasi yang menuntut pembubaran parlemen sesungguhnya adalah alarm yang tidak boleh diabaikan. Namun, solusinya bukan dengan menghapus lembaga perwakilan yang dijamin konstitusi, melainkan dengan memperkuat mekanisme evaluasi. Hanya dengan pengawasan dan penilaian yang jujur, lembaga legislatif dapat meraih kembali legitimasi di mata rakyat.
Sebagai Ketua DPRD sekaligus mahasiswa administrasi publik, saya meyakini bahwa demokrasi lokal hanya bisa dipulihkan bila wakil rakyat berani diukur dengan standar yang transparan dan akuntabel. Krisis kepercayaan publik harus dijawab dengan reformasi evaluasi kinerja, bukan dengan pembubaran lembaga. Hanya melalui akuntabilitas, parlemen daerah dapat kembali memperoleh kepercayaan dan menjadi benar-benar representatif.
Referensi
Halim, A., Abdullah, S., & Jusuf, J. (2018). Local legislative performance and public accountability in Indonesia. Journal of Accounting and Public Policy, 37(6), 476–489.
Mudrifah. (2020). Public Governance and Financial Performance of Indonesian local governments: Evidence from multiple stakeholder perspectives. International Journal of Advances in Social and Economics, 2(3), 31–40.
Prabowo, T. J. W., & Cooper, B. J. (2016). Accountability and performance measurement in Indonesian local government: A critical review. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, 20(2), 148–162.
Sofyani, H., Pratolo, S., & Saleh, Z. (2022). Do accountability and transparency promote community trust? Evidence from village government in Indonesia. Journal of Accounting & Organizational Change, 18(3), 376–396.
Widianingsih, I., & Juwono, V. (2017). Improving local governance in Indonesia: Lessons and challenges. Policy Studies, 38(4), 387–402.
Oleh: Irwan Hunawa,
Ketua DPRD Kota Gorontalo dan Mahasiswa S2 Administrasi Publik, Universitas Negeri Gorontalo.