Penulis: Makmun Rasyid
READ.ID – Saham agama di bumi pertiwi ini amat besar. Keterlibatan agama-agama dalam mengembangkan kemajuan negara pun cukup kuat. Sebab itu, Soekarno berucap, “nasionalisme kita ialah nasionalisme yang menerima rasa hidupnya sebagai suatu wahyu”. Diksi wahyu melambangkan sebuah nilai yang berdimensi luas; dimensi internasionalisme. Dimana wahyu akan memancarkan cahaya-cahaya hingga di kegelapan malam. Cahaya itu menjadi pusat perhatian manusia. Satu persatu kerap mendongakkan wajahnya ke langit, demi mencari cahaya bintang tempat sinar berpancar saat gelap menerpa. Begitulah, manusia yang haus akan kebenaran. Tak kenal lelah untuk menggapainya.
Memang kala terang, manusia terbius oleh pernak-pernik penampilan yang menjadi penghalang kebenaran dimiliki. Hanya mereka yang aktif “basyirah”-nya yang mampu melihat kebenaran; kala terang maupun gelap. Pandangan umum benar adanya, jika ingin mengetahui karakter dan watak seseorang, lihatlah dia dalam kesendirian dan kegelapan. Akan tampak ke mana wajahnya berpaling dan laku apa yang diperbuat.
Manusia dan kebenaran laksana perempuan saudara kandung laki-laki. Keduanya satu dalam alam eksistensi. Manusia dan kebenaran memang dibedakan; tapi ia bersumber dari yang satu. Ya, manusia sejatinya mencintai kebenaran. Di setiap tempat-tempat persinggahan dalam hidupnya, ia mengingat romantisme masa lalu; sewaktu diturunkan ke muka bumi—dalam keadaan suci. Terkadang saat jiwa tak lagi stabil, air matanya menetes satu-satu. Diiringi dengan mata yang sendu dan seakan ada luka di relung sanubari.
Ketika di sekeliling ada canda ria dan celoteh, terasa sungguh gemas. Begitu pula teriakan di luar rumahnya, matanya bak mata rusa yang menatap tajam. Menunggu rangkulan hangat dan bisikan yang meneduhkan. Sungguh tak sadar, kala gelisah melanda, Tuhan hadir. Pelukannya tak terasa tapi berbekas. Ia tak bisa dilihat oleh mata lahiriyah tapi kehadiran-Nya dirasakan. Sebab itulah, tak ada manusia yang bisa hidup tanpa-Nya. Dialah yang memancarkan kebenaran, laksana air mengalir menembus pokok dahan-dahan.
Kecintaan manusia pada kebenaran itu menandakan manusia suka akan titik temu. Satu manusia dengan lainnya, akan menekankan aspek sentripental daripada sentrifugal. Sentripetal itu selalu bermuara pada titik pusat; kebenaran. Menuju ke sebuah ruang yang memartabatkan manusia satu dengan lainnya. Inilah saripati dari firman-Nya yang didaraskan miliaran manusia di penjuru dunia; bismillâhi al-Rahmân al-Rahîm. Saripati itu melahirkan kata cinta dan lemah lembut sebagai jantung kitab suci umat Islam (Qur’an).
Maka manusia yang mampu mengumandangkan kebenaran harus berpijak pada cinta dan welas asih. Bermodal itu, kita bisa menembus batas keyakinan, ideologi, ras dan etnis. Kini, upaya mencari titik temu ibarat mencari jarum di kedalaman lumpur. Yang ada, upaya-upaya mengail di air keruh. Kemudian yang tampak ke publik adalah kehidupan umat yang tercerai berai tanpa komando yang jelas.
Betul kiranya almarhum KH. Hasyim Muzadi berpesan. Dalam keadaan demikian, rumusnya hanya satu: “Indonesia membutuhkan orang tua”. Bukan hanya tua umurnya, tapi orang tua yang mengerti, memahami, mengayomi seluruh masyarakat Indonesia dan tidak berpihak kemana-mana. Ia teguh menyerukan cinta penuh ketulusan. Cinta dan ketulusan menyatu akan menjadi indah. Kita di takdirkan bukan seperti kertas putih polos. Kita di takdirkan seperti lukisan. Sebab itu semboyan kita, bhinneka tunggal ika.
Pluralisme (keberagaman) adalah hal niscaya dalam kehidupan (Qs. Al-Hujurât [49]: 13). Meniadakan pluralisme berarti melawan kehendak doktrin langit. Strategi sosio-institusional, kultural dan teologis harus terus diupayakan tanpa kenal lelah. Adanya kemacetan disebabkan oleh kenyataan bahwa inisiatif dialog yang mengarah pada pusat kebersatuan tidak didasari dari suatu keinsyafan alamiah, yang benar-benar menginginkan kehidupan yang rukun dan damai. Ironisnya, terkadang menjelma menjadi kerutinan ritual yang hampa tanpa bekas dan jejak keluhuran.
Arogansi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus kita preteli satu persatu dalam Ramadan ini. Sungguh malu! Diri kita setiap tahunnya dicuci, dibongkar pasang dan diperbaiki ulang, tapi satu dari banyak tujuan persatuan tak bersemai dalam jiwa kita bersama. Bukankah, bersemainya kebajikan menjadi sebab terlaksananya ragam ide?
Aku pun teringat akan kisah Rabi’ah Al-Adawiyah ketika ditanya, apakah engkau membenci Iblis? Sontak ia menjawab, “cintaku sudah memenuhi semua ruang dalam tubuhku. Sehingga tidak ada lagi tempat untuk membenci pada siapa pun”. Cinta inilah bekal utama dan hikmah yang harus dipetik selama kita Ramadan. Cinta ini merupakan doktrin penting dari langit.
Sampai-sampai Allah bersemanyam di langit dunia untuk menunggu kehadiran para kekasih-Nya. Kekasih-Nya adalah mereka yang tak pandai berbual dalam menjalin tali kasih dengan siapa pun, sesama mahluk Tuhan. Anehnya, kala Tuhan menunggu, manusia terlelap seperti bangkai. Membiarkan Allah berada dalam penantian. Sampai Dia berikan ‘sepotong surga’-Nya agar gelap tiba, manusia menyapa-Nya penuh kesantunan dan kelembutan.
Di tengah kebebalan manusia. Allah terus hadir dengan cintanya agar manusia mendapatkan pancaran cinta, yang kemudian ia berikan kepada sesamanya. Allah kerap menugaskan para malaikat untuk menjaga hamba-hamba-Nya, memerintahkan angin untuk menyelimuti jika panas, bahkan menebarkan kepadanya aroma surga. Begitulah cinta-Nya pada kita. Bisakah kita meminjamnya sedikit?
Sebagaimana Rabi’ah tidak menempatkan benci sedikit pun dalam dirinya. Begitu pulalah seharusnya kita semua. Kita terus belajar menuju perbaikan dan di Ramadan ini mematangkan diri dalam beragama dan bernegara. Keseimbangan laku antara syariat dan makrifat harus menghasilkan kedewasaan, kebijaksanaan dan keluhuran perangai. Kita keluar seperti perbuatan Allah yang sungguh tiada tanding. Cinta Allah menyertai kita dalam hidup hingga kelak ke alam akhirat.
Doktrin langit ini pasti bisa digapai walau tidak seutuhnya, sebab kita manusia dan Dia adalah Tuhan seru sekalian alam. Banyak contoh, manusia-manusia yang tidak lagi memperdagangkan kebencian dalam hidupnya. Namun problem mendasar kita adalah memfaktakan iman menjadi ketakwaan dan bunyi ajaran menjadi tingkah laku. Disamping itu pula, tradisi keberagamaan kita terjebak pada kenaifan dan fanatik. Dua bentuk kesadaran yang mendangkalkan makna agama di ruang sosial, juga membuat agama tidak tampil prima dan optimal.
Memang harus kita sadari. Umumnya kita hanya melihat sebatas tahi lalat di paras seorang perempuan. Laki-laki selalu terfokus pada gumpalan hitam yang ada. Ia tak mampu melihat keseluruhan diri sang perempuan. Sebab itulah, ia tak menemukan keindahan. Mungkin itu sebabnya, cobaan Allah berikan pada kita bersama, sebagai celah yang dibuka Tuhan agar manusia bisa mengenal-Nya lebih dekat dan memahami doktrin langit yang luhur dan agung.
Terakhir, penting aku mendaraskan kembali dawuh KH. Hasyim Muzadi, “Tuhan seringkali memberesi masalah kita di saat kita sibuk memberesi masalah orang”. Maka tak ada celah dan alasan, kita tak bisa bergotong royong menuju persatuan hakiki; persatuan Indonesia.