Menjemput Subuh 23 Januari, oleh: Hasrul Eka Putra

Patriotik 23 Januari
banner 468x60

Bagi W.C. Roemer, malam itu hanyalah malam yang biasa.

Udara malam sedikit lembab. Jalanan lengang. Hanya terlihat beberapa Veldpolitie Belanda yang kelelahan di depan gedung Wilhelmina Societeit.


banner 468x60

Gedung itu berhadapan langsung dengan Kantor Assisten Residentie Gorontalo. Tempat orang nomor satu di afdelling tinggal dan memerintah tanah jajahan.

Dari situ, Kantor Pos dan Telegrap cukup terlihat dalam cahaya kuning yang remang.

Di seberang jalan, sepertinya hanya tinggal beberapa orang saja di dalam Kantor Pos dan Telegrap. Di teras kantor, tiga penjaga sedang duduk bercerita.

Melawan dingin dan rasa bosan melewati giliran jaga. Sesekali tertawa pelan tapi cukup untuk terdengar lantang di malam sunyi.

Di halaman yang tak seberapa luas, satu penjaga berpatroli. Mondar-mandir dengan ogah sambil memandang jalanan tak kalah membosankan. Hitam pekat. Hanya sesekali dilewati rombongan anjing kelaparan.

Para penjaga itu terlalu lelah untuk mempedulikan sepeda tua yang berhenti di samping kantor yang berbentuk huruf “L” itu. Warna sepedanya tidak kentara lagi.

Lalu, seorang pria, berbaju compang dengan caping petani, turun dan masuk ke dalam kantor. Jarang sekali ada petani datang mengirim surat atau telegram malam-malam begini.

Tapi para penjaga cuek saja. Barangkali ada keluarga petani ini yang tiba-tiba harus dikabari. Mungkin ada keluarganya yang tiba-tiba mati atau terjangkit beri-beri. Dasar inlander.

Tanpa suara, si petani masuk, terbungkuk-bungkuk.

“Aku tidak bisa lama-lama, Pedi.” Si petani bicara setengah berbisik pada seorang lelaki muda yang sedang tugas malam. Ia hanya membawa amplop kosong, ternyata.

Pedi Kalengkongan, si lelaki muda, tidak terlihat kaget. Ia sepertinya sudah tahu kalau malam itu ia akan kedatangan pengirim surat yang tidak biasa. Ia takzim mendengar.

Seluruh tubuhnya seolah-olah diciptakan hanya untuk mendengar setiap kata yang diucap oleh sosok di depannya.
“Tunggu hingga pasukan Ardani, Paat, dan Lasut datang. Saat mereka datang, putuskan jalur telegrap dan telepon ke luar kota. Lalu bantu mereka. Mengerti?” suara Si petani nyaris tidak terdengar, namun itu sudah cukup bagi telinga Pedi.

Malam makin lengang. Si Petani dan sepedanya telah melenggang. Menuju rumah W.C. Roemer.

Apa yang terjadi jika mereka gagal. Apa tanah ini akan benar-benar jadigoterdammerung.Kiamat?

Ia tidak bisa benar-benar berkonsentrasi. Pertanyaan-pertanyaan itu seakan menembaki kepalanya terus menerus. Ia tahu, kekuatan kolonial sekarang telah sedang terpuruk. Kolonialisme tengah sekarat.

Sementara, politik bumi-hangus Belanda sudah tidak bisa ditolerir. Tujuh buah gudang kopra dan ikan kaleng, pelabuhan Gorontalo dan Kwandang, Kapal KM Kololio, rumah-rumah penduduk, semua telah menjadi abu, ulah pasukan vernielingscrops Belanda. Rakyat sedikit lagi dikepung kelaparan.

Apalagi, beberapa hari lalu, bahan bakar di gedung Wedloop Societeit Gorontalo (WSG) diangkut oleh vernielingscrops lalu dibuang begitu saja ke laut dekat Kampung Pabean.Keparat.

Ia tahu, bahwa pasukan perjuangan Komite Dua Belas ini tidak main-main. Nani Wartabone dan pasukannya terlalu tangguh untuk ditaklukkan Belanda yang kini tergopoh menghadang Jepang.

Ia tahu betul hal itu. Maka ia bersedia membantu Komite Dua Belas, meski resiko untuk kalah, dipecat, dan disiksa sebagai penghianat veldpolitieBelanda tetap menganga di depannya.

Ah, pertanyaan-pertanyaan itu kembali memenuhi kepalanya. Bagaimana jika Pak Nani dan Pak Koesno gagal menyerang dan menyergap para pejabat Kolonial? Bagaimana jika Beny Corn, sang Asisten Residen, dan kontrolir Gorontalo, Dancona, sudah tahu lebih dulu soal rencana malam ini? Atau mungkin saja istri W. C. Roemer yang telah berjanji membantu Pak Koesno berhianat: lebih memilih suaminya dibanding janjinya dengan Koesno Danoepojo yang sama-sama orang Jawa.

Atau mungkin saja Achmad Tangahu dan laskar pemuda tidak mampu menerobos penjara dan membebaskan para tahanan pribumi. Mereka harus berhadapan dengan TeDamango, si Besar komandan polisi kota, E. Couper.

Ia sangat mengenal Couper. Sebagai komandannya, Couper dikenal cekatan juga beringas. Bagaimana jika Couper terlalu kuat untuk dikalahkan? Ah, jangan. Jangan.

M. Th. Tumewu memandang sangat jauh menembus kegelapan. Ia perlu mengusir rasa khawatir di kepalanya. Ia, yang dtugaskan untuk menjaga dan menyambut para tahanan, harus bisa mengerahkan rakyat dan sekelompok kecil temannya anggota polisi yang kini menunggu aba-aba darinya.

Asrama veldpolitie itu sepi. Hanya debar dan perasaan was-was yang membuatnya riuh. Salah sedkiti saja, malam 22 Januari ini akan dicatat sebagai malam lautan api.

Di luar terdengar bunyi barang jatuh. Seperti tubuh manusia. Pedi Kalengkongan pura-pura tidak mendengar. Waktu sudah lewat tengah malam.

Beberapa temannya yang bertugas sudah lebih dulu kalah oleh kantuk. Dari balik kegelapan muncul sosok-sosok yang dikenalnya. Ardan Ali mula-mula muncul, membawa sepucuk pistol di tangannya. Wajahnya menyiratkan rasa lega.

“ayo segera! Putuskan jalur telepon sekarang juga…”

Tanpa menunggu perintah kedua. Pedi segera memutus jalur telepon. Ardan tersenyum puas. Di luar pasukannya berjaga-jaga dalam sunyi. Seseorang telah diutus untuk kembali ke pos komando di Ipilo, di rumah Koesno Danoepojo, untuk membawa kabar gembira: komunikasi telah dikuasai!

Pagi hampir tiba. Pukul 05.25.

Kota tetap lengang. Subuh terasa gerah. Ada ketegangan yang maha dahsyat di udara. Ruas-ruas jalan dan simpang-simpang jalan kota telah dikuasai oleh laskar-laskar pemuda dan massa rakyat. Pos-pos jaga juga telah dikuasai, dijaga ketat. Harapan dan was-was menyatu di dada para pasukan.

Sementara, dari arah Ipilo, massa rakyat bergerak tanpa suara. Langit mulai berwarna kelabu. Wajah-wajah mereka mulai bisa kelihatan. Pak Nani dan Koesno Danoepojo memimpin pasukan yang terbagi menjadi beberapa kelompok kecil. Tidak ada gurat kelelahan di wajah mereka.

W. C. Roemer masih tidur pulas. Ia sedikit terganggu oleh bunyi ribut-ribut di sudut jalan menuju Kampung Pabean. Disitu ada kantor tangsi polisi Belanda. Tanpa perlawanan sengit, ternyata pasukan Nani Wartabone dan Koesno Danoepujo telah berhasil menguasai pusat kendali keamanan di Gorontalo itu.

Para polisi ditawan. Pasukan kian agresif: selangkah lagi, Belanda kita usir! Eya lopobarakati olanto yingonti.

Roemer setengah bangun saat mendengar suara ribut-ribut itu kian keras—dan mendekat.

Apa yang terjadi? Ia segera memakai baju polisinya. Mungkin saja ini ada kaitannya dengan surat Nani Wartabone kepada Asisten Residen Corn dan Controlir Dancona.

Ia yang juga diberitahu isi surat itu, masih ingat sekali dengan ancaman Nani Wartabone. Atas nama rakyat: jika Belanda masih tetap mengadakan penghancuran, maka rakyat siap melakukan perlawanan. Surat itu adalah reaksi. Gara-gara Benny Corn yang memerintahkan untuk membakar pelabuhan, kapal, dan bahan bakar. Roemer diliputi keyakinan yang mengerikan: kini Nani Wartabone benar-benar menunaikan gahamnya.Pakaiannya sudah dibadan. Ia tidak sempat menjawab ketika istrinya bertanya hendak kemana,karena disaat yang sama terdengar hentak kaki di teras rumahnya. Bunyi langkah dua orang. Lalu semuanya tiba-tiba berlangsung begitu cepat: di tangannya sudah tergenggam pistol, ia berjalan ke arah pintu, mendengar bunyi ketukan, membuka pintu perlahan, dan… “menyerah atau Anda kami tembak?”

Suara itu dalam bahasa Belanda yang kurang fasih. Ia mengenal dua sosok di depannya. Mereka telah masuk dalam top list orang-orang dibawah pengawasannya. Tapi, sial, bukan hanya mereka berdua ternyata. Di bawah sana, di halaman yang mulai terang ada puluhan orang memegang pistol dan senjata tajam. Dimana para pasukan veldpolitie?!

Roemer berniat melawan. Di tariknya pelatuk pistol. Lalu,

“Tuan Roemer,”dari belakang suara istrinya terdengar takut dan memohon, “menyerah saja. Aku takut, Tuan. Aku takut disiksa. Rakyat nembe duka ageng.”

Rakyat tengah marah. Rakyat tengah pitam. Belanda tengah terpuruk oleh Jepang dan kebringasan mereka sendiri. Roemer pun berhasil dipaksa mengeluarkan surat perintah menyerah.

Fajar tiba. Gunung Tilongkabila sudah terlihat jelas. Sejelas kemenangan yang tinggal sejengkal lagi.

Pasukan lalu bergerak ke arah Kampung Cina. Disana ada kediaman orang nomor dua, perpanjangan tangan Asisten Residen: kontrolir Dancona.

Rumahnya masih terlihat tenang. Cuma ada satu pembantu yang tengah menyapu halaman di samping beranda.Ia bingung melihat gerombolan orang sebangsanya datang sepagi itu dengan raut marah tapi bahagia. Belum sempat ia lari memanggil tuannya, pasukan langsung mengepung rumah itu.

Lalu terdengar bunyi langkah sepatu dari dalam rumah. Pelan dan samar.

Ardani Ali, yang telah bergabung dengan pasukan utama, maju, hendak mengetuk pintu rumah Dancona. Dengan langkah yang sangat percaya diri, ia menuju teras Dancona.

Selangkah. Dua langkah. Tiga langkah. Empat langkah. Masih ada sekitar dua meter jarak Ardan Ali dengan pintu rumah kontrolir Dancona. Lima langkah. Klik. Pintu rumah kontrolir tak dinyana tiba-tiba terbuka. Sosok tinggi berkumis keluar dengan wajah begitu kaget.

Ardan segera menodong sosok itu dengan pistol tua ditangannya. Dancona tidak berkutik. Dia tidak punya pilihan apa-apa selain bertekuk dan patuh.

Sekitar setengah kilo dari tempat itu, sebuah sepeda Fongers diayuh cepat. Di sadel sepeda itu, duduk pria eropa berperawakan Besar: Couper. Tidak seperti biasa, ia ingin datang lebih pagi hari itu. Ia mendengar sumir kabar bahwa ada kekacauan di kantor pos dan kantor polisi.

Sebagai Hoofdagent Stadpolitie, komandan polisi kota, ia harus memastikan bahwa daerah kekuasaannya aman. Belanda boleh kalah dari Jepang, namun Afdeling ini harus steril dari orang-orang Asia Timur sialan itu.
Ia mengayuh sepeda lebih kencang.

Tidak sampai lima menit, ia hampir tiba di depan rumah Kontrolir Dancona. Ada kerumunan orang di depan rumah itu. Mungkin kabar itu benar. Rakyat tengah berontak.

Ia mengayuh sepeda ke arah yang berbeda: ke arah kantor pos dan telegrap.

Ardani Ali baru saja kembali ke pos nya, di kantor pos dan telegrap. Dancona telah dibawa dan ditawan di barak kantor polisi. Di kantor pos dan telegrap itu suasana sedikit gaduh. Udara kemenangan telah berhembus dan memenuhi ruangan pusat komunikasi itu.

Ardani Ali, Pahi, Jusuf Abas, Nadjamudin, dan Temey Ariani masih berjaga-jaga di halaman kantor. Seseorang yang tiba dengan ngos-ngosan telah memberitahu mereka bahwa: Couper menuju kesini! Couper menuju kesini!

Kemana semua penjaga kantor? Godverdomme!Disaat seperti ini mereka malah tidur! Aku harus memberitahu Manado bahwa ada keributan di Gorontalo.

Couper memarkir sepeda Fongersnya asal-asalan. Ia berpacu dengan waktu. Ia tahu beberapa saat lagi kerumunan di depan rumah Dancona akan tiba disini. Ia tahu bahwa di antara pasukan itu ada sosok-sosok yang ia kenal. Yang ia benci.

Ia berjalan tergesa menuju kantor pos dan telegrap. Halaman depan kosong. Ia masuk. Dan…
Sepucuk senjata karaben telah menunggunya, siap meledakkan kepalanya. Dalam keterperangahan itu, Pahi dan Jusuf Abas pun mencabut pedang dan pistol. Dengan sigap, Nadjamudin dan Temey Ariani mengunci tangan Couper. Couper terdesak. Terkunci.

Di menit kemudian ia dibawa ke ruang tempat penerimaan telegram.

07.00.

23 Januari 1942. Matahari telah sempurna muncul.
Koesno Danoepojo tidak ikut lagi dengan massa rakyat yang bergerak ke rumah Corn, Sang Assiten Residentie. Ia telah menyerahkan sepenuhnya penyergapan Benny Corn pada pasukan Nani Wartabone dan H.U. Katilie.
Roman kelegaan terbaca di wajahnya yang mulai keriput. Ia tak sabar ingin segera tiba di kantor pos. Disana ia telah menyiapkan sesuatu.

07.11
Koesno tiba di depan kantor pos dan telegrap. Kantor tidak sehingar tadi. Beberapa orang telah pegi ke kantor tangsi kepolisian, mengiring Couper yang telah menjadi tawanan.

Di kepalanya lalu lalang semua cita-cita yang selama ini ia pikul.Perjuangan panjang dari tanah Jawa ke Tondano ke Gorontalo.Penderitaan yang tidak terperi lagi.Semua seolah hadir menumpuki kepalanya, menyisakan bibir yang bergetar, tanpa suara.

Orang-orang melihat apa yang sedang dikerjakan oleh Koesno: ia mengeluarkan sebuah kain. Merah. Lalu putih. Dibentangkannya kain itu. Sebuah tulisan terpampang.

“Indonesia Berparlemen”. Dipajangnya dengan tatapan tak percaya. Matanya berkaca-kaca.

Dua jam sebelum sholat Jum’at. Di hari yang sama. Dua ratus enam puluh lima tahun Belanda di Afdeeling Gorontalo.

Para rakyat yang jadi tahanan telah di bebaskan. . M. Th. Tumewu dan massa rakyat menyambut mereka dengan suka cita di asrama kepolisian. Mereka berkumpul di lapangan.

Tidak perlu lagi ada rasa takut. Semua Belanda telah ditangkap. Pribumi, Jawa, Sangir, Partai Arab Indonesia, Partai Tionghoa Indonesia, barisan pemuda larut jadi satu: pergi kau kolonial!

Di depan Kantor Pos dan Telegrap bendera itu berkibar. Ditiup angin lirih dari muara Sungai Bone. Tanpa tahu apa yang akan menunggunya di hari esok. Tanpa tahu apa siapa yang akan memekik untuknya di warsa-warsa setelahnya.

Catatan Penulis: Roman ini pernah terbit sebelumnya di Tanggomo.com edisi 23 Januari 2013. Disunting dan ditayangkan kembali untuk memperingati semua nama yang juga berjuang di hari itu.

Baca berita kami lainnya di


banner 468x60
banner 728x90