READ.ID,- Tanggal 6 april menjadi momentum hari nelayan nasional, dan untuk tahun 2019 ini, hari nelayan diperingati untuk ke-59 kalinya. Dalam momentum itu, salah satu awak media read.id mencoba menelisik lebih dekat perjuangan salah satu nelayan warga Kelurahan Leato Selatan, Kecamatan Dumbo Raya, Kota Gorontalo, dalam menggantungkan hidupnya menjadi seorang nelayan.
Kai (26), saat ditemui, Sabtu, (6/4), mengatakan bahwa tidak mudah menjadi seorang nelayan. Ia mengaku, selain harus punya modal yang tidak sedikit, seorang nelayan juga mesti mempertimbangkan cuaca saat hendak melaut.
“Sekali saya berangkat melaut itu, harus menyediakan modal yang tidak sedikit untuk membeli semua perlengkapan melaut. Seperti bahan bakar minyak (bensin), untuk mengisi tangki mesin, beras, obat-obatan, dan air mineral,” ujar Kai.
Dalam perjalanan dari tepian menuju rakit (tempat ikan), kata Kai, bisa ditempuh dengan waktu kurang lebih 8 jam.
“Saya biasanya pergi melaut itu pukul 01.00, dan tiba ditempat tujuan kira-kira pukul 07.00,” kata Kai.
Karena dengan perjalanan panjang dan modal yang besar tersebut kata Kai, memaksa dirinya untuk tidak boleh pulang tanpa membawa hasil tangkapan ikan.
“Ketika melaut, saya bisa 4 sampai 5 hari. Kadang pulang bisa dapat hasil yang memuaskan, kadang juga, bahkan untuk mengembalikan modal sangat susah,” kata Kai.
Apalagi kata Kai, saat-saat menyusahkan bagi para nelayan itu ketika menghadapi angin muson timur yang terjadi mulai dari bulan mei hingga september.
“Bulan-bulan itu, kami para nelayan sangat sulit untuk mendapatkan hasil tangkapan ikan, karena dibulan tersebut angin dan ombak yang besar sangat membahayakan keselamatan,” ujar Kai.
Sehingga dengan terpaksa katanya, para nelayan harus memutar otak bagaimana caranya bisa memenuhi kebutuhan keluarganya.
“Biasanya disaat angin muson timur warga sebagian disini harus pergi ke sulawesi tengah untuk melaut. Karena saat di Gorontalo angin muson timur berlangsung di Sulawesi Tengah tidak,” ujarnya.
Proses perjalanan menuju Sulawesi Tengah kata Kai, paling banyak menggunakan angkutan umum.
“Jadi ketika di Sulawesi Tengah, ada nelayan yang ikut melaut dengan perahu pajeko yang ada disana. Namun ada juga nelayan yang berani menerjang kuatnya angin muson timur untuk pergi melaut di Sulawesi Tengah,” tutupnya.****