banner 468x60

Merdeka Belajar Atau Belajar Merdeka

Merdeka Belajar

READ.ID – Di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim,Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi memasuki paradigma baru ditandai pencanangan program merdeka belajar. Namun ada pertanyaan yang menggelitik saya, “Apakah kita betul-betul sudah merdeka belajar? Ataukah kita baru pada tahap belajar merdeka” Untuk menjawab pertanyaan yang barangkali memerahkan telinga dan muka para pembuat kebijakan dan para praktisi pendidikan seperti saya, marilah kita bahas dulu apa yang dimaksud dengan merdeka belajar.

Frase Merdeka Belajar terdiri dari dua kata, merdeka dan belajar. Kata merdeka dapat bermakna bebas dari dominasi kekuasaan pihak lain. Dalam konteks kebangsaan ini berarti bebas dari penjajahan bangsa lain. Dalam konteks individu berarti bebas dari dominasi orang lain atau organisasi lain. Maka bangsa yang merdeka adalah bangsa yang menentukan kebijakannya sendiri demi kemaslahatan bangsa itu. Individu yang merdeka adalah individu yang mampu menentukan keputusannya sendiri, yang sesuai dengan keadaannya, selama tidak melanggar aturan dan tidak merugikan orang lain.

Kata belajar  bermakna kegiatan untuk menguasai atau meningkatkan kompetensi diri. Ini mencakup kompetensi ilmu pengetahuan dan ketrampilan. Seorang murid yang telah tamat belajar diharapkan memiliki kompetensi ilmu pengetahuan dan ketrampilan tertentu.

Dari pembahasan di atas, dapat dipahami bahwa merdeka belajar adalah kondisi di mana seorang guru dan murid berada dalam kondisi bebas, di mana kedua belah pihak bebas menentukan apa yang harus dipelajari, bebas berpikir, bebas berpendapat dan berekspresi. Kedua belah pihak bebas dari intimidasi pihak lain. Guru bebas dari, misalnya, intimidasi untuk mencapai target kelulusan yang ditentukan oleh otoritas politik wilayah, bebas dari kewajiban adminitrasi yang telalu membebani. Murid bebas belajar subyek yang diinginkan dan bebas mengungkapkan pikirannya.

Ciri-ciri Merdeka Belajar

Berdasarkan pemaparan di atas, maka ciri-ciri merdeka belajar dirumuskan oleh Rosyidi dalam makalahnya sebagai berikut:  Pertama, guru dan murid bebas menilai hasil belajar. Penilaian berdasarkan pada asesmen. Kedua, mengutamakan kompetensi literasi dan numerasi sehingga tak memerlukan ujian nasional. Ketiga, guru memliki kebebasan dalam mengembangkan RPP. Keempat, RPP lebih singkat. Kelima, Sistem zonasi yang mengatasi kesenjangan akses kualitas pendidikan antar daerah. (2020)

Sementara itu Paulo Preire dalam bukunya Politik Pendidikan Kebudayaan Kekuasaan Dan Pembebasan. (2007) mengatakan bahwa murid wajib dibebaskan dari segala bentuk penindasan, baik penindasan oleh guru maupun penindasan oleh pengambil kebijakan. Murid wajib bebas dalam mengungkapkan pikiran maupun perasaannya, baik secara tertulis maupun lisan. Untuk itu guru harus meningkatkan literasi guru. Literasi di sini bukan saja kemampuan merangkai huruf menjadi kata, tapi juga kemampuan memahami diri dan kehidupan lalu menuliskannya..

Dengan pembahasan, baik oleh Rasyid maupun oleh Paulo Preire, maka merdeka belajar akan bergerak menuju apa yang dikatakan oleh Sartre, seorang filsof beraliran eksistensialisme, sebagai kesadaran reflekti. Apakah kesadaran reflektif itu. Kesadaran reflektif adalah kesadaran individu yang mencakup makna keberadaannya sebagai sebagai sebuah eksistensi. Kesadaran ini adalah hasil refleksi tentang makna keberadaannya, alasan keberadaannya di dunia, dan tujuan keberadaanya. Dengan demikian kesadaran ini adalah berbeda dengan kesadaran non-reflektif, kesadaran di mana individu hanya sadar bahwa dia ada, tapi belum sampai pada makna kesadaran pada kesadaran reflektif.

Kesadaran reflektif juga bermakna kebebasan individual. Kebebasan itu mencakup kebebasan berpikir dan kebebasan berekspresi. Maka seorang murid harus bebas untuk belajar apa saja yang mendukung keberadaannya sebagai sebuah eksistensi. Dengan kebebasannya ini, individu akan memiliki kesadaran lainnya, kesadaran eksistensial, sadar bahwa dia berada  di dunia dan bersama dunia. Dengan kesadaran ini, dia akan menjadi mengubah menjadi lebih baik. Maka pendidikan yang berbasis merdeka belajar akan mengubah murid, murid inilah yang akan mengubah dunia.

Indonesia adalah hasil mereka yang berubah melalui pendidikan dan kemudian mengubah dunia. Para pahlawan seperti Sukarno, Hatta, Haji Agus Salim, Haji Ahmad Dahlan, Hasyim Asyhari, Hamka, Ki Hajar Dewantoro, dan lain-lain adalah produk yang belajar dalam suasana merdeka belajar. Mereka berubah melalui pendidikan, dan kemudian mengubah mindset bangsa ini sehingga menjadi bangsa yang merdeka.

Peran Guru

Peran guru sangat penting dalam proses pembelajaran dalam suasana merdeka belajar. Peran guru dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, sebagai motivator. Peran sebagai motivator terasa sangat urgen terutama di era milineal ini di mana suasana merdeka belajar semakin dibutuhkan dan teknologi informasi teknologi sangat maju. Di masa lalu guru berperan sebagai satu-satunya sumber informasi. Kini peran itu diambil alih oleh  internet. Jadi bila ada guru yang masih beranggapan bahwa dia adalah satu-satunya sumber informasi, maka siap-siap ditinggalkan murid.

Kedua, membangun kesepakatan dengan murid mengenai apa bahan pelajaran. Di era merdeka belajar guru bukan satu-satunya penentu. Keputusan ditentukan berdasarkan kesepakatan dengan murid.

Ketiga, menciptakan suasana merdeka belajar di kelas dengan menciptakan interaksi kelas yang kondusif dengan membangun wacana kelas. Interaksi kelas yang kondusif bagi pembelajaran yang koopoeratif yang memicu kebebasan berpikir dan kebebasan berekspresi adalah wujud dari merdeka belajar. Hal ini telah terbukti dalam penelitian saya yang menjadi disertasi dengan judul Discourse Analysis on Classroom Interaction di program Studi Linguistik Terapan, Pascasarjanan UNG tahun 2021. Dalam penelitian itu terlihat bahwa tindak tutur guru sangat memicu kemampuan belajar dan berekspresi murid.

Peran Pemerintah

Pemerintah memegang peran  yang urgen bagi keberhasilan meredeka belajar. Peran itu secara garis besar terbagi dua. Yang pertama adalah sebagai regulator. Peran kedua sebagai fasilitator.

Sebagai regulator, pemerintah membuat peraturan perundang-undangan. Hal itu menjamin kemerdekaan guru dalam menjalankan profesinya, dan kemerdekaan murid dalam mengungkapkan pikirannya sekalipun pikiran itu berbeda dengan guru atau penguasa.

Sebagai fasilitator pemerintah berperan menyiapkan sarana dan prasarana pendidikan. Sarana meliputi segala fasilitas belajar, seperti buku, perangkat ICT segala fasilitas yang menunjang belajar. Prasarana meliputi gedung sekolah, listrik, jalan, dan transportasi ke sekolah. Pemerintah juga berperan memfasilitasi pengembangan diri guru untuk menjadi lebih berkualitas.

Penutup

Sebagai penutup,mari kita merefleksi, apakah kita sudah betul-betul merdeka belajar? Sebagai guru, apakah kita sudah membebaskan murid kita sebagai murid dalam memilih untuk belajar apa yang disukai mereka? Apakah kita memfasilitasi murid kita untuk berpikir bebas? Apakah siap bila murid kita berbeda pendapat dengan kita?  Apakah kita siap membangun kesepakatan dengan murid kita mengenai bahan dipelajari atau kita sebagai guru yang menentukan segalanya?

Apakah pemerintah sudah menjalankan  peran pemerintah sudah optimal? Apakah peraturan yang ada betul-betul menjamin terselenggaranya merdeka belajar? Apakah pemerintah sudah menyiapkan sarana dan prasasarana dan memfasilitasi pengembangan diri guru?

Bila semua pertanyaan di atas sudah terpenuhi, maka kita sudah menjalankan merdeka belajar. Bila belum terpenuhi, kita masih berada pada tahap belajar merdeka. (*)

Penulis adalah dosen FSB Universitas Negeri Gorontalo, alumni S3 Linguistik Terapan Pascasarjana UNG. Email: adriansyahkatili@ung.ac.id.

 

oleh : Adriansyah A. Katili

Baca berita kami lainnya di

banner 468x60